Kepastian Keandalan Jadi Pertimbangan Penerapan "Co-Firing"
Pemanfaatan biomassa dinilai berpotensi besar mengembangkan perekonomian masyarakat pemasok bahan baku. Namun, ekosistemnya perlu dibangun, termasuk keandalan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) penggunanya.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemanfaatan biomassa untuk co-firing atau pencampuran biomassa dengan batubara pada pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU perlu terus dikembangkan dalam rangka transisi energi. Selain harga dan keberlanjutan bahan baku, faktor kepastian keandalan PLTU menjadi perhatian saat tidak lagi menggunakan 100 persen batubara.
Biomassa ialah sumber energi terbarukan yang dihasilkan dari proses fotosintesis yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar padat. Sejumlah PLTU milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN sudah menerapkan metode co-firing atau pencampuran biomassa, seperti pelet sampah dan pelet kayu, dengan batubara.
Direktur Tropical Renewable Energy Centre Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) Adi Surjosatyo, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (6/7/2023) mengatakan, pencampuran langsung biomassa dengan batubara bisa menyebabkan penurunan tenaga pada PLTU. Hal itu telah diteliti mahasiswanya di Magister Teknik Sistem Energi UI pada PLTU berkapasitas 300 megawatt (MW).
"Dengan dicampur langsung, biomassa 3-5 persen (dengan batubara), ada dampak penurunan power pada PLTU. Untuk menjaga keandalan (agar tidak ada penurunan tenaga), perlu satu proses lain, yakni gasifikasi. Bahan bakunya tetap bisa dengan pelet sampah atau pelet sekam," kata dia.
Adi menambahkan, berbicara tentang pemanfaatan biomassa, termasuk dalam co-firing PLTU, memang diperlukan studi yang matang dalam jangka panjang. Regulasi akan dibutuhkan antara lain untuk kepastian suplai bahan baku dalam negeri hingga harga biomassa yang mesti lebih kompetitif dibandingkan batubara.
Pemanfaatan biomassa, kata Adi, berpotensi besar untuk turut mengembangkan perekonomian masyarakat sebagai pemasok bahan baku. "Hanya, saat ini, ekosistemnya masih belum siap. Jadi, masih mengandalkan PLN atau pembeli-pembeli di sekitarnya. Belum ada sistem yang baku. Ke depan, ini bisa berkembang," ujarnya.
Namun demikian, dengan segala tantangan yang ada, Adi berpendapat, sosialisasi dan implementasi pemanfaatan biomassa dalam rangka menekan emisi gas rumah kaca perlu digencarkan sejak sekarang. Pemahaman masyarakat akan potensi bioenergi tersebut perlu terus ditingkatkan.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana menerbitkan regulasi mengenai pemanfaatan biomassa untuk co-firing pada PLTU. Konsep rancangan aturan tersebut sudah ada di Biro Hukum Kementerian ESDM untuk kemudian dilanjutkan harmonisasi oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Regulasi itu, kata Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Edi Wibowo, Kamis, antara lain akan mengatur pelaksanaan dan peta jalan co-firing, harga standar, aspek teknis, dan bimbingan teknis.
37 PLTU
Menurut data PLN, per Juni 2023, implementasi co-firing biomassa telah dilakukan di 37 PLTU dengan berbasis ekonomi kerakyatan. Dari penerapan tersebut, penurunan emisi diperkirakan telah mencapai 1,2 juta ton karbondioksida (CO2). Adapun biomassa yang digunakan mencapai 1,5 juta ton.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, di kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (5/7/2023) mengatakan, sumber biomassa yang dapat digunakan dalam co-firing itu, antara lain pelet kayu dan refuse-derived fuels (RDF) yang merupakan teknologi pengolahan sampah.
"Kami masih (menggunakan biomassa untuk co-firing PLTU) sampai 10 persen. Kondisi pembangkit masih sangat prima dan tak ada dampak terhadap operasi. Dari keekonomian juga ringan bagi PLN, tetapi memberi dampak lingkungan," kata Darmawan.
Ia menambahkan, jika rantai pasok batubara berbasis korporasi, biomassa berbasis kerakyatan. Ekonomi daerah juga diharapkan terus meningkat. Saat ini, PLN tengah merumuskan program itu untuk skala nasional.
Namun, memang masih ada masalah teknis, termasuk tenaga kerja yang tidak terstandardisasi.
Pihaknya juga bekerja sama dengan pemerintah daerah, yakni terkait pengolahan sampah menjadi bahan baku biomassa dengan co-firing. Permasalahan lingkungan di daerah juga diharapkan teratasi.
"Namun, memang masih ada masalah teknis, termasuk tenaga kerja yang tidak terstandardisasi. Selain itu, ada disparitas produktivitas antartenaga kerja. Dalam mengatasi ini, harus ada pendampingan intensif dan kami upayakan hal tersebut," lanjut Darmawan.