Pemenuhan Kebutuhan Pangan Masyarakat Miskin Makin Menantang
Kebutuhan pangan dalam negeri diproyeksikan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Namun, peningkatan itu belum diimbangi produksi dalam negeri. Situasinya kian mengancam masyarakat miskin.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Pedagang bahan pangan melayani pembeli di Pasar Senen, Jakarta, Kamis (29/6/2023). Kenaikan harga pangan menjadi salah satu faktor pemicu meningkatnya pengeluaran per kapita penduduk Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Ketahanan pangan penduduk berpendapatan rendah dinilai semakin terancam di tengah tantangan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri yang meningkat pula. Kebijakan mengenai kemandirian dan kedaulatan pangan perlu terus didorong, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, guna mengatasi problem pangan di masa depan.
Hingga kini sebagian besar pengeluaran rumah tangga miskin di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, garis kemiskinan pada Maret 2022 mencapai Rp 505.469 per kapita per bulan. Dari jumlah itu, Rp 374.455 atau 74,08 persen merupakan komposisi garis kemiskinan makanan.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Mukhammad Faisol Amir, berpendapat, penduduk Indonesia tengah menghadapi tantangan yang cukup serius. Hal ini terkait dengan pemenuhan kebutuhan pangan di masa depan, terutama bagi mereka yang berpendapatan rendah.
”Produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi seluruh permintaan pangan di masa depan. Sepanjang tahun 2018 hingga 2021, permintaan pangan di Indonesia untuk komoditas beras, jagung, dan tepung gandum terus meningkat secara gradual,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (4/7/2023).
Berdasarkan data BPS, rata-rata permintaan ketiga komoditas tersebut selama periode tahun 2018-2021 terus meningkat. Di sisi lain, rata-rata produksi komoditas beras, pada periode yang sama, misalnya, justru cenderung menurun. Faisol menambahkan, pengaruh kenaikan permintaan tiga komoditas tersebut di masa depan terhadap penduduk miskin tecermin dari penelitian CIPS bertajuk ”Permintaan Pangan Masa Depan di Kabupaten Indonesia yang Miskin”.
”Studi terbaru CIPS memberikan gambaran terhadap kenaikan permintaan tiga komoditas ini di masa depan dari penduduk miskin di 20 kabupaten dengan tingkat kemiskinan tinggi Indonesia. Kenaikan permintaan pangan bagi penduduk berpenghasilan rendah mengancam keterjangkauan dan ketahanan pangan mereka,” lanjutnya.
Kemiskinan menjadi salah satu faktor permasalahan dalam mengakses pangan dan kemampuan memenuhi asupan gizi.
Penelitian yang dirilis pada Juli 2023 ini berfokus pada 20 kabupaten termiskin yang tersebar di enam provinsi, yakni Papua, Papua Tengah, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Dataran Tinggi, dan Nusa Tenggara Timur. Rata-rata pendapatan domestik regional bruto (PDRB) dari 20 wilayah tersebut pada tahun 2021 ialah Rp 33 triliun atau di bawah rata-rata nasional sebesar Rp 16.976,69 triliun dengan sepertiga penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.
Dengan kondisi tersebut, kebutuhan pangan bernutrisi melalui komoditas-komoditas tersebut terancam tidak akan terpenuhi pada tahun 2045. Oleh sebab itu, pemerintah perlu memperhatikan aspek pemenuhan kebutuhan pangan, terutama bagi 20 kabupaten yang tergolong miskin tersebut dalam memenuhi gizi standar.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Pedagang bahan pangan melayani pembeli di Pasar Senen, Jakarta, Kamis (29/6/2023).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menjelaskan, kebutuhan pangan pada komoditas yang mengandung karbohidrat akan bergeser pada kebutuhan pangan protein. Oleh sebab itu, kebijakan mengenai pangan perlu disesuaikan, terutama bagi penduduk miskin.
”Kemiskinan menjadi salah satu faktor permasalahan dalam mengakses pangan dan kemampuan memenuhi asupan gizi. Variabel yang diduga menjadi penentu permintaan pangan masyarakat miskin adalah pengeluaran rata-rata per kapita untuk setiap komoditas, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, PDRB, dan Indeks Pembangunan Manusia,” ujarnya dalam diskusi CIPS bertajuk ”Permintaan Pangan di Masa Depan untuk Penduduk Miskin Indonesia”, Senin (3/7/2023).
Dari sisi permintaan, lanjut Ahmad, tingkat kesejahteraan masyarakat yang terproyeksi melalui pendapatan per kapita dan pengetahuan akan pentingnya asupan gizi serta protein menjadi penentu. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur untuk menunjang kesediaan pangan juga perlu dilakukan.
”Stabilitas harga perlu diperhatikan mengingat sebagian besar pendapatan masyarakat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehingga adanya kenaikan pangan akan membuat goncangan," lanjutnya.
Melalui kajian yang telah dilakukan, CIPS memberikan sejumlah rekomendasi. Terdapat empat langkah yang harus diambil oleh pemerintah untuk mengatasi kekurangan tersebut, yakni mendukung iklim investasi untuk meningkatkan akses pada teknologi pertanian, merampingkan transfer teknologi dan program pengetahuan, membuka perdagangan internasional untuk membantu memenuhi permintaan pangan, dan menjalin kerja sama dengan sektor swasta.
Sebagai sumber kehidupan, pangan juga berkontribusi terhadap kemiskinan. Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, terdapat banyak petani yang menerima bantuan sosial berupa bantuan pangan.
”Sayangnya, pemerintah masih cenderung lebih fokus menjaga stabilitas harga pangan untuk mengendalikan inflasi dan kemiskinan. Tentunya ini tidak cukup, tapi bagaimana penyediaannya? Ada persoalan yang kita hadapi terkait dengan lahan, air, sumber daya manusia, logistik, perdagangan, hilirisasi, dan diversifikasi pangan yang lambat," ujarnya.
Menurut Sutarto, diperlukan kebijakan strategis dan langkah operasional yang holistik, baik melalui pemerintah daerah maupun pusat. Tujuannya bukan hanya kecukupan, kemerataan, dan keterjangkauan pangan, melainkan lebih pada kemandirian dan kedaulatan pangan.
Diperlukan kebijakan strategis dan langkah operasional yang holistik, baik melalui pemerintah daerah maupun pusat. Tujuannya bukan hanya kecukupan, kemerataan, dan keterjangkauan pangan, melainkan lebih pada kemandirian dan kedaulatan pangan.
Akan tetapi, lanjutnya, terdapat sejumlah permasalahan pangan yang dihadapi, yakni budidaya, pengolahan, distribusi, tata niaga perdagangan, dan pasar. Salah satu yang perlu dipertimbangkan adalah aspek produsen, yakni terkait pebisnis kecil yang terlibat dalam rantai pangan.
Sementara Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) Rachmi Widiriani memaparkan, terdapat kebijakan pangan yang secara khusus dipersiapkan untuk masa depan. Pengelolaan cadangan pangan pemerintah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Buruh tani mengumpulkan gabah kering panen dari mesin perontok padi dalam panen padi Inpari 32 di areal persawahan di Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Minggu (20/2/2022).
”Tahun 2023, NFA memberikan bantuan berupa beras 10 kilogram per penerima manfaat per bulan. Bantuan itu diberikan kepada 21,3 juta penerima bantuan dalam tiga bulan. Selain itu, ada juga daging ayam dan telur bagi keluarga rawan stunting (tengkes),” tuturnya.
Rachmi menambahkan, bantuan pangan di masa depan bagi penduduk miskin dan rawan tengkesidealnya diberikan sesuai dengan kebutuhan. Kepada ibu hamil, misalnya, jenis bantuan pangan disesuaikan dengan gizi.