Ketersediaan Energi Terbarukan Dorong Daya Tarik Investasi
Tak sekadar ketersediaan listrik, investor kini juga dinilai mempertimbangkan ketersediaan listrik yang ramah lingkungan. Pengembangan ”listrik hijau” dianggap dapat meningkatkan daya saing investasi di daerah.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan energi terbarukan perlu terus dipacu seiring meningkatnya tuntutan menekan emisi karbon dalam seluruh rantai pasok produksi produk-produk ekspor. Upaya itu dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan potensi energi terbarukan di sejumlah daerah di Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, dalam Central Java Renewable Energy Investment Forum 2023 di Semarang, Jawa Tengah, yang juga disiarkan daring, Selasa (4/7/2023), berpendapat, saat ini ada pergeseran faktor ketersediaan energi di satu wilayah terkait investasi.
”Pada 2015 kita dengar ease of doing business (kemudahan berusaha) yang dikeluarkan Bank Dunia. Saat itu, daya tarik bisnis adalah ketersediaan listrik. Namun, hari ini, tak sekadar listrik, tetapi listrik yang hijau. Maka, jika ingin meningkatkan daya saing investasi, ketersediaan pasokan energi hijau menjadi hal penting," ujar Fabby.
Ia menambahkan, penerapan carbon border tax (pengenaan pajak karbon lintas yuridiksi) seperti di Eropa, yang juga akan dilakukan di beberapa negara lain yang menjadi tujuan ekspor Indonesia, perlu mendapat perhatian. Ketentuan tersebut, di antaranya, mengharuskan penurunan carbon footprint (jejak karbon) dalam produksi barang yang diekspor.
Menurut Fabby, Jawa Tengah adalah provinsi yang memiliki potensi besar dalam menyediakan energi terbarukan sekaligus mengintegrasikannya dengan kebutuhan industri. Jika dipasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), 42 waduk yang ada di Jawa Tengah bisa menghasilkan listrik 723 megawatt (MW).
”Kami (IESR) menghitung, total potensi energi terbarukan di Jawa Tengah, baik itu pembangkit listrik tenaga bayu, mikrohidro, dan biomassa (di luar PLT panas bumi) mencapai 198 gigawatt (GW). Ini potensi besar. Di sisi lain, industri di Jawa Tengah makin tumbuh dan pasar internasional menuntut adanya integrasi ESG (environment, social, and good governance) di seluruh rantai pasok produksi,” kata Fabby.
Menurut data Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, ada sejumlah proyek yang siap ditawarkan di sektor energi terbarukan. Itu, antara lain, pembangkit listrik (PLT) minihidro Banjaran dan Logawa di Banyumas; pembangunan PLTS terapung Waduk Wadaslintang; PLT Panas Bumi di Candi Umbul Telomoyo; dan PLT Panas Bumi Baturaden, Banyumas.
Jalur strategis
Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen menuturkan, upaya penyediaan energi terbarukan tidak sekadar mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga agar memberi dampak ekonomi bagi daerah serta lembaga-lembaga yang memasang PLTS atap. Dengan PLTS atap, biaya energi dapat ditekan 30-40 persen.
Di sisi lain, imbuh Yasin, Jawa Tengah juga menjadi salah satu jalur strategis pengembangan industri dengan dibangunnya sejumlah industri, seperti Kawasan Industri Kendal dan Kawasan Industri Terpadu Batang. Kendati listrik dari PLN di Jateng surplus, ia berharap bisa digantikan dengan energi terbarukan agar beban listrik dapat dikurangi.
”Energi terbarukan menjadi peluang baru di Jawa Tengah, mengingat manufaktur butuh energi dalam pemenuhan produksinya. Ini yang harus dikelola bersama-sama serta dikampanyekan. Energi terbarukan ini diminati banyak orang dan nantinya bisa dikerjasamakan terkait dengan bisnis-bisnis di Jawa Tengah,” ujar Yasin.
Catatan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, realisasi investasi di provinsi itu pada 2022 mencapai Rp 58,89 triliun atau meningkat dari 2021 yang tercatat Rp 52,71 triliun. Adapun pada triwulan I-2023, realisasinya mencapai Rp 12,79 triliun. Negara dengan realisasi investasi terbesar adalah Hong Kong, disusul Korea Selatan, Luksemburg, Singapura, dan China.
Direktur Promosi Wilayah Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah dan Afrika Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Cahyo Purnomo mengemukakan, investasi di sektor energi terbarukan didorong. Itu merupakan bagian dari upaya menuju ekonomi nol karbon.
Akan tetapi, kata Cahyo, beralih dari ekonomi yang kurang ramah lingkungan menjadi ramah lingkungan membutuhkan proses. ”Di sisi lain, komitmen perlu terus dijaga. Misalnya, terus menjaga hutan di Kalimantan maupun beberapa pulau besar lain sekaligus juga mendorong pemanfaatan energi terbarukan,” katanya.