Indonesia Naik Kelas, Pertumbuhan Ekonomi Belum Berkualitas
Hilirisasi di sektor mineral dan batubara yang belakangan ini diandalkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dinilai belum mampu mendorong pembangunan berkualitas, meski mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerjaan rumah Indonesia untuk naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi masih banyak. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang baru-baru ini membuat RI kembali menjadi negara berpendapatan menengah atas dinilai baru dinikmati segelintir kalangan. Perlu ada perbaikan dalam strategi hilirisasi untuk mendorong pembangunan ekonomi yang lebih berkualitas.
Dalam laporan terbaru yang dirilis pada 1 Juli 2023, Bank Dunia menyatakan Indonesia kembali ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas (upper middle-income country). Bank Dunia mencatat, pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita Indonesia sebesar 4.580 dollar AS pada tahun 2022, naik 9,8 persen dari tahun sebelumnya sebesar 4.170 dollar AS.
Dengan capaian itu, Indonesia kembali masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah atas yang PNB per kapita-nya berkisar 4.466-13.845 dollar AS. Sebelumnya, akibat terpukul pandemi Covid-19, Indonesia sempat turun kelas menjadi negara berpendapatan menengah bawah (lower middle-income country) pada tahun 2020.
Menurut Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, Selasa (4/7/2023), meningkatnya pendapatan per kapita Indonesia itu terjadi akibat pemulihan ekonomi yang cepat pascapandemi dan hilirisasi yang sedang digencarkan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah perekonomian. Di sisi lain, Indonesia juga mendapat berkah dalam bentuk ledakan harga komoditas pada tahun lalu.
Namun, ia menilai, pekerjaan rumah untuk mempertahankan status sebagai negara berpendapatan menengah atas itu masih banyak. Apalagi, untuk naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi (high income country). ”Kalau pendapatan per kapita kita tinggi, tetapi ketimpangan juga masih tinggi, sama saja sia-sia, karena pembangunan sekarang baru dinikmati oleh segelintir orang saja,” katanya.
Strategi hilirisasi di sektor mineral dan batubara (minerba) sejauh ini dinilai belum mampu mendorong pembangunan yang berkualitas meski mampu mendongkrak kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi.
”Hilirisasi ini kelemahannya karena itu manufaktur yang padat modal, sementara kita butuh lebih banyak investasi baru di manufaktur padat karya jika ingin ekonomi kita tumbuh secara berkualitas. Kalau saat ini, pembangunan memang baru dinikmati oleh segelintir orang,” kata Josua.
Kalau pendapatan per kapita kita tinggi, tetapi ketimpangan juga masih tinggi, sama saja sia-sia.
Perluasan hilirisasi
Ia mencontohkan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Utara dan Maluku Utara sebagai pusat hilirisasi nikel yang belakangan melejit tinggi, tetapi laju konsumsi rumah tangga masyarakat di daerah itu masih rendah. Tingkat kemiskinan pun masih tinggi. Itu karena pertumbuhan di sektor hilirisasi nikel belum mampu menciptakan banyak lapangan kerja untuk menyejahterakan masyarakat sekitar.
”Dulu, pertumbuhan ekonomi 1 persen bisa menyerap hingga kurang lebih 500.000 tenaga kerja baru, ini sudah tidak terjadi lagi sekarang,” katanya.
Josua menilai, perlu ada strategi baru dalam hilirisasi untuk menggerakkan sektor manufaktur padat karya. Hilirisasi jangan sampai hanya terjebak pada sektor minerba seperti saat ini yang sifatnya lebih padat modal dan teknologi. Melainkan sampai ke sektor agrikultur, seperti perkebunan, kelautan, dan pertanian, agar bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Ia juga menyoroti struktur hilirisasi yang belum terbentuk dari hulu ke hilir. Sebagai contoh, ore nikel (bijih nikel) baru diolah menjadi fero nikel sebelum diekspor ke negara lain. Produk itu belum diolah di dalam negeri menjadi barang jadi yang siap diekspor sehingga belum mampu mendorong pertumbuhan manufaktur yang padat karya.
”Saat ini, ibaratnya masih numpang lewat saja. Dari ore nikel menjadi ferro nikel, lalu langsung diekspor ke China, tidak dijadikan produk jadi plat stainless steel,” katanya.
Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, Bappenas sebenarnya sudah memperkirakan bahwa Indonesia tidak akan berlama-lama menjadi negara berpendapatan menengah-bawah. Prediksi Bappenas, Indonesia memang akan kembali menjadi negara berpendapatan menengah atas pada 2022.
”Ini sudah sesuai perhitungan kami, karena memang ekonomi kita sudah pulih dari pandemi sehingga konsumsi masyarakat meningkat. Sektor-sektor yang sebelumnya terpukul karena Covid-19 juga tumbuh tinggi. Selain itu, tahun lalu ada commodity boom yang membuat kinerja ekspor kita naik” ujarnya.
Amalia mengatakan, momentum pertumbuhan ekonomi itu harus dijaga. ”Kita sudah relatif solid sekarang, tetapi pertumbuhan ekonomi ini harus kita jaga terus. Jangan sampai pertumbuhan ekonomi melambat lagi,” kata Amalia.
Lebih dari itu, Indonesia tidak bisa melulu menjadi negara berpendapatan menengah atas. Untuk bisa lepas dari jerat negara berpendapatan menengah (middle income trap), pertumbuhan ekonomi dalam 20 tahun ke depan harus menyentuh rata-rata 6 persen sampai 7 persen. ”Kalau itu terjadi, pada tahun 2041 kita sudah bisa menjadi negara berpendapatan tinggi,” ujarnya.
Pemerintah menyadari bahwa strategi hilirisasi saat ini perlu diperluas lagi. Tidak hanya terbatas pada pengolahan produk minerba, tetapi juga sektor agrikultur yang lebih relevan dengan profil sosial masyarakat Indonesia. ”Kita juga harus mengembangkan industri dari hulu ke hilir supaya nilai tambahnya tidak hanya puluhan kali, tetapi bisa ratusan kali lebih tinggi.” kata Amalia.
Hilirisasi ini kelemahannya karena itu manufaktur yang padat modal, sementara kita butuh lebih banyak investasi baru di manufaktur padat karya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, peningkatan pendapatan per kapita Indonesia secara signifikan di tahun 2022 itu menjadi modal pijakan yang kuat untuk mengejar target menjadi negara berpendapatan tinggi.
”Kita akan melanjutkan agenda reformasi struktural dan transformasi ekonomi untuk membangun sektor-sektor yang bernilai tambah tinggi, inklusif, dan ramah lingkungan,” katanya.