Dalam percaturan global, kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor mineral mentah oleh Indonesia menuai berbagai respons. Sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar, Indonesia seharusnya punya daya tawar tinggi.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Investasi mempertegas penerapan kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor mineral mentah tetap menjadi prioritas negara meskipun menuai pro dan kontra di dunia internasional. Hilirisasi dan pelarangan ekspor mineral mentah diyakini sebagai upaya untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi sekaligus bentuk kedaulatan negara.
”Langit runtuh pun, hilirisasi tetap akan menjadi prioritas negara. Lalu, larangan ekspor akan tetap dipertahankan. Kalau mau (gugat) ke WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), ke WTO saja,” kata Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (30/6/2023).
Pernyataan Bahlil tersebut merespons pernyataan Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam dokumen IMF Executive Board Concludes 2023, Article IV Consultation with Indonesia, yang dirilis Senin (26/6), IMF menyambut baik kebijakan hilirisasi Indonesia sebagai upaya transformasi ekonomi dengan meningkatkan nilai tambah, menarik investasi asing, dan transfer teknologi. Namun, kebijakan itu harus didasari oleh analisis biaya-manfaat dan pertimbangan untuk meminimalkan limpahan lintas batas.
Menurut Bahlil, laporan IMF itu mengandung standar ganda dalam menilai kebijakan hilirisasi Indonesia. Meski mendukung tujuan hilirisasi di satu sisi, IMF menentang kebijakan larangan ekspor karena dapat mengurangi penerimaan dan berdampak negatif bagi negara lain.
”Jadi, hilirisasi ini bukan hanya soal nilai tambah, melainkan sebagai bentuk kedaulatan bangsa. Siapa pun yang mengatakan hilirisasi merugikan, patut dipertanyakan nasionalismenya. Apabila merugikan negara lain, apakah mereka memikirkan saat negara kita merugi?” ujarnya.
Langit runtuh pun, hilirisasi tetap akan menjadi prioritas negara. Lalu, larangan ekspor akan tetap dipertahankan.
Bahlil menambahkan, hilirisasi dan larangan ekspor mineral justru memberikan banyak manfaat. Berkaca dari nikel, misalnya, nilai ekspor produk nikel meningkat hampir 10 kali lipat dari tahun 2017 sebesar 3,3 miliar dollar AS menjadi 29 miliar dollar AS pada tahun 2022.
Di sisi lain, imbuh Bahlil, investor global masih percaya kepada arah kebijakan Pemerintah Indonesia. Hal ini tampak dari penanaman modal asing pada triwulan I-2023 mencapai Rp 328,9 triliun atau tumbuh 16,5 persen secara tahunan.
Menanggapi laporan IMF tersebut, Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman berpandangan, terdapat unsur kepentingan dari negara maju mengingat paradigma global kini mulai bergeser pada kendaraan listrik. Oleh karena itu, Indonesia sebaiknya memosisikan diri sebagai negara dengan daya tawar tinggi di mata dunia.
”Sekarang pinjaman negara bukan dari bank dunia dan IMF, melainkan investor global. Apalagi kita punya aturan main sendiri yang sudah diatur dalam Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” ucap Ferdy saat dihubungi di Jakarta.
Tantangan konsistensi
Kendati demikian, menurut Ferdy, selama ini pemerintah tidak konsisten dalam menerapkan kebijakan hilirisasi. Padahal, Indonesia memiliki daya tawar tinggi sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, yakni 72 juta ton cadangan nikel atau 52 persen dari 139 juta ton nikel dunia.
”Hilirisasi harus dilakukan secara konsisten dan harus sudah mulai berjalan semua. Bila perlu, perusahaan yang tidak mau bangun smelter ditutup saja,” katanya.
Secara historis, hilirisasi sudah dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 2010 dan mulai diterapkan pada tahun 2014. Tiga tahun berselang, kebijakan tersebut dicabut karena penurunan produksi nikel, lambatnya pembangunan smelter, dan defisit neraca perdagangan.