Salah satu upaya inheren dalam transformasi distribusi elpiji 3 kg ialah dengan pendataan konsumen oleh pemerintah dan PT Pertamina (Persero). Secara bertahap, sejak awal 2023, pembeli didata.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Pembeli menata elpiji 3 kilogram di motornya di agen elpiji bersubsidi di kawasan Gedong, Pasar Rebo, Jakarta, Senin (19/6/2023). Pemerintah berupaya mencari cara agar harga gas elpiji 3 kilogram atau elpiji subsidi wajar di tingkat pengecer mengingat di sejumlah lokasi kerap ada jarak lebar antara harga yang dijual pangkalan dan pengecer. Pendataan konsumen menjadi salah satu upaya yang juga sudah dimulai dan masih berlangsung.
Persoalan menahun penyaluran elpiji kemasan 3 kilogram atau elpiji bersubsidi yang tidak tepat sasaran belum juga menemui ujungnya. Sistem distribusi ”gas melon” yang masih bersifat terbuka memberi celah potensi penyelewengan di lapangan. Tata kelolanya makin rumit tatkala di setiap rantai pasoknya menjadi sumber pendapatan bagi banyak orang.
Pendistribusian elpiji bersubsidi berukuran 3 kilogram sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Elpiji 3 Kilogram. Selain itu, ada pula Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 28 Tahun 2008 tentang Harga Jual Eceran Elpiji 3 Kilogram untuk Keperluan Rumah Tangga dan Usaha Mikro.
Berdasarkan regulasi tersebut, harga jual eceran elpiji 3 kg di titik serah atau agen/penyalur adalah Rp 4.250 per kg atau Rp 12.750 per tabung. Pada tahap selanjutnya, di pangkalan/subpenyalur, harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan oleh tiap-tiap pemerintah daerah. Sampai titik ini, distribusi elpiji bersubsidi seharusnya bisa terawasi secara optimal.
Warga semestinya bisa membeli langsung ”gas melon” di pangkalan resmi sesuai HET. Namun, praktiknya tidak sederhana. Mulai dari ketiadaan barang hingga kebiasaan membeli di pengecer terdekat. Belum lagi biaya tambahan jika elpiji ingin diantar ke tempat pembeli. Bahkan, temuan Kementerian ESDM beberapa waktu lalu, elpiji 3 kg dijual seharga Rp 55.000 per tabung di sebuah wilayah di Kalimantan Tengah, melebihi HET yang Rp 22.000 per tabung.
Masih kerap ditemukannya harga elpiji 3 kg yang jauh di atas HET di beberapa daerah menjadi perhatian Menteri ESDM Arifin Tasrif. Beberapa pekan lalu, Arifin mengatakan, pihaknya terus mencari cara agar tata niaga komoditas subsidi pengganti minyak tanah itu bisa membaik. Perbedaan harga (HET dengan harga di pembeli akhir) seharusnya dalam batas wajar.
Pendataan
Salah satu upaya inheren dalam transformasi distribusi elpiji 3 kg ialah dengan pendataan konsumen oleh pemerintah dan PT Pertamina (Persero). Secara bertahap, sejak awal 2023, pembeli didata. Saat membeli di pangkalan resmi, nomor induk kependudukan (NIK) pembeli dicatat. Data itu lalu dicocokkan dengan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE).
Menurut data PT Pertamina Patra Niaga, per Rabu (14/6/2023), pendataan pembeli elpiji 3 kg sudah dilakukan di 276 kota/kabupaten. Lantaran masih dalam tahap pencocokan data pembeli dengan P3KE, belum ada penerapan pembatasan pembelian elpiji 3 kg di masyarakat.
Kendati masih tahap awal, upaya tersebut patut diapresiasi setelah bertahun-tahun kalangan warga mampu bisa turut menikmati secara bebas elpiji 3 kg. Namun, hal tersebut pun harus disertai komitmen pengawasan ketat serta tahapan yang jelas dalam transformasi penyaluran subsidi ”gas melon”.
Melalui pendataan, ke depan elpiji 3 kg diharapkan disalurkan secara terbatas hanya kepada mereka yang berhak. Kalaupun distribusi belum bisa dilakukan secara tertutup (dengan identitas khusus bagi penerima subsidi), bukan tidak mungkin nantinya elpiji 3 kg hanya bisa dibeli di pangkalan resmi. Sistem pengawasan dan sanksi penting dalam penerapan itu.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja membongkar muat elpiji bersubsidi ukuran 3 kilogram di agen penjualan elpiji di kawasan Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta, Senin (15/5/2023). Alokasi APBN untuk subsidi elpiji 3 kilogram pada tahun 2023 mencapai Rp117,85 triliun. Untuk menekan potensi pembengkakan, elpiji bersubsidi akan disalurkan secara tertutup mulai tahun 2024.
Namun, sekali lagi, tantangannya tidak mudah, tetapi juga bukan mustahil dilakukan. Gas 3 kg sudah jadi komoditas penting bagi banyak kalangan, khususnya bagi para pelaku usaha mikro, karena dikenal praktis dan ekonomis. Pergantian sistem dalam satu rantai bisnis memerlukan penghitungan cermat, tepat, dan berorientasi pada kualitas subsidi.
Sayangnya, riak ketidaktepatan sasaran subsidi elpiji 3 kg kerap kali nyaring di saat harga energi sedang melambung, yang dirasa membebani APBN (untuk subsidi elpiji). Hal itu tak terlepas dari kenyataan bahwa lebih dari 75 persen kebutuhan elpiji dalam negeri dipenuhi lewat impor. Namun, saat harga komoditas energi cenderung landai, narasi bahwa subsidi energi tidak tepat sasaran acapkali menyurut sendirinya.
Sayangnya, riak ketidaktepatan sasaran subsidi elpiji 3 kg kerap kali nyaring di saat harga energi sedang melambung, yang dirasa membebani APBN (untuk subsidi elpiji).
Tentu, melalui subsidi, daya beli masyarakat harus dijaga. Aksesibilitas harus dijamin. Akan tetapi, ketika subsidi salah sasaran terjadi menahun, muncul pertanyaan: Siapa yang sebenarnya menikmati subsidi tersebut? Perlu kemauan politik yang kuat untuk memperbaikinya.
Karena itu pula, sejumlah pengamat ragu terhadap pembenahan tata niaga elpiji 3 kg secara radikal, agar 100 persen tepat sasaran, bisa terjadi sebelum Pemilu 2024. Sensitivitas tinggi komoditas subsidi energi acapkali menghantui karena dianggap bisa ”digoreng” oleh lawan politik.
Padahal, kebijakan di sektor energi seharusnya berorientasi pada kualitas dan kepentingan jangka panjang. Kalaupun terlalu dekat dengan tahun politik, sejatinya banyak waktu sudah terlewatkan untuk membenahi tata niaga distribusi gas 3 kg. Saat subsidi tidak tepat sasaran, jelas ada warga yang berhak yang dirugikan.