Warga perdesaan masih banyak yang belum masuk dalam ekosistem inklusi keuangan. Rendahnya literasi keuangan di perdesaan juga menjadi hambatan. Kini, waktunya mereka bangkit dengan dukungan industri keuangan formal.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Jonefer (42) bersiap menangkap ikan di Danau Singkarak, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Kamis (22/6/2023) pagi. Ia memasukkan jala ke perahu kecil yang penuh tambalan. Tak lupa, dia membawa gayung untuk mengeluarkan air yang merembes ke perahu yang mulai melapuk itu. Dia bertahan dengan perahu itu karena tak punya uang untuk menggantinya.
”Sudah bertahun-tahun saya mau mengganti perahu ini. Tapi, uang saya belum cukup untuk menggantinya,” kata Jonefer, nelayan di Nagari (Desa) Sumpur, Kecamatan Batipuh Selatan, Tanah Datar. Jonefer sedikitnya memerlukan Rp 6 juta untuk memperbaiki perahunya.
Jonefer menjadi gambaran warga perdesaan yang kesulitan mendapat akses ke jasa keuangan formal. Ia juga hampir tidak pernah tersentuh produk industri keuangan. Beberapa tahun lalu, dia membuka rekening bank sebagai syarat mendapat pupuk bersubsidi. Namun, rekening itu tak pernah dipakai lagi setelah mendapat pupuk. Selain menjadi nelayan, Jonefer juga bertani.
Jonefer sebenarnya mempunyai pendapatan cukup dari hasil tangkapan ikan dan bertani. Dalam sehari, ia mendapat 3-4 kilogram ikan bilih yang dijual Rp 50.000 per kilogram. Ia juga mendapat tambahan penghasilan dari buah sawo yang dipanen musiman. ”Kami juga bertanam padi. Hasilnya cukup untuk kebutuhan keluarga, tidak ada untuk dijual,” kata Jonefer.
Meski penghasilannya mencukupi, Jonefer tidak punya dana segar untuk mengganti alat produksi utamanya, yakni perahu. Penghasilannya digunakan mencukupi kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan anak-anaknya. Setiap tahun, dia harus mengganti alat tangkap ikan berupa jala dengan biaya Rp 1,5 juta.
Jonefer tidak pernah mendapat edukasi tentang literasi keuangan. Dia tidak tahu produk jasa keuangan apa saja yang bisa ia manfaatkan untuk modal kerja mengganti perahunya. Dia pernah mendengar kredit usaha rakyat (KUR) dari bank, tetapi tidak memahami KUR adalah pinjaman berbunga rendah yang disubsidi pemerintah. Dia juga tidak mengerti perbandingan bunga KUR dengan bunga pinjaman komersial di bank atau di lembaga keuangan lain.
”Yang saya tahu, kalau meminjam ke bank bisa terlilit utang, bunga, dan denda. Meminjam ke bank juga harus mengagunkan tanah atau rumah yang bisa disita bank kalau terlambat bayar,” katanya.
Sarfini (60), nelayan lainnya di Nagari Sumpur, mengalami hal serupa. Setiap tahun dia mengutang ke warung untuk mengganti jalanya. Dia hanya membayar Rp 750.000 dan sisanya Rp 750.000 dihitung sebagai utang di warung.
Dia lalu mencicil sebesar Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per minggu, tergantung dari hasil tangkapan. Dia sendiri tidak tahu berapa bunga pinjaman itu. ”Biasanya sekitar enam bulan sudah lunas. Ada catatannya di buku pemilik warung,” kata Sarfini.
Sarfini juga belum pernah disentuh produk industri keuangan formal. Ia bahkan tidak mempunyai rekening bank. Ia juga tidak pernah mendapat edukasi atau informasi tentang literasi keuangan. ”Kalau meminjam di warung enggak perlu pakai surat-surat. Kalau ke bank, kan, repot,” kata Sarfini.
Jonefer dan Sarfini bisa disebut menggambarkan rendahnya literasi dan inklusi keuangan di wilayah perdesaan. Kisah mereka juga menunjukkan jurang (gap) literasi dan inklusi keuangan yang cukup lebar antara wilayah perdesaan dan kota.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi menyebut, peningkatan literasi dan inklusi keuangan di wilayah perdesaan saat ini menjadi prioritas OJK. ”Kami ingin membuka akses keuangan formal sebesar-besarnya kepada masyarakat desa. Karena itu, kami meluncurkan program Ekosistem Keuangan Inklusif di Wilayah Perdesaan,” katanya.
Friderica memaparkan, Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2022 menunjukkan adanya kesenjangan desa-kota tersebut meskipun setiap tahun terus menurun. Inklusi keuangan di perkotaan mencapai 86,7 persen, tetapi di perdesaan baru 82,7 persen, terdapat gap sebesar 4 persen. Inklusi keuangan ini menunjukkan seberapa banyak warga sudah menggunakan produk industri keuangan formal.
Adapun literasi keuangan perkotaan mencapai 50,5 persen dan di desa 48,4 persen, terdapat gap 2,1 persen. Literasi keuangan ini menunjukkan seberapa banyak masyarakat mampu memahami dan memilih penggunaan jasa industri keuangan. Jarak ini menurun dari tahun ke tahun. Pada 2019, gap inklusi keuangan desa-kota mencapai 15,1 persen dan gap literasi keuangan menyentuh 6,9 persen.
Desa Sumpur saat ini menjadi proyek percontohan program Ekosistem Keuangan Inklusif di Wilayah Perdesaan. OJK akan membuat program serupa di wilayah perdesaan lainnya di Indonesia melalui Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) di 494 kabupaten/kota.
Program ini akan meningkatkan literasi keuangan masyarakat desa pada lembaga, produk, dan layanan jasa keuangan di perbankan, lembaga pembiayaan, pegadaian, asuransi, investasi, pinjaman online, dan perencanaan keuangan. ”Masyarakat yang butuh akses jasa keuangan jangan malah kena sama rentenir. Harus ada program khusus melawan rentenir,” kata Friderica.
Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Aman Santosa menyebutkan, program ini sangat penting agar semakin banyak masyarakat perdesaan mendapat edukasi literasi keuangan dan masuk ekosistem keuangan inklusif.
”Jangan sampai masyarakat desa lebih banyak terpapar informasi pinjaman online ilegal ketimbang literasi keuangan dari industri keuangan formal,” katanya.
Menurut Bupati Tanah Datar Eka Putra, masyarakat perdesaan di wilayahnya banyak yang memilih meminjam ke rentenir atau lembaga keuangan informal lainnya karena literasi keuangan yang rendah. Ekonomi daerah pun sulit bertumbuh karena akses masyarakat perdesaan ke jasa keuangan formal rendah.
”Padahal, masyarakat Tanah Datar yang berada di sekeliling Danau Singkarak punya potensi ekonomi sangat besar dari pariwisata, ikan bilih yang endemik Danau Singkarak, dan buah sawo yang melimpah. Dengan akses ke industri keuangan yang lebih baik, kami yakin ekonomi daerah bisa berkembang pesat,” katanya.
Eka menyebutkan, usaha mikro kecil dan menengah, seperti pengolahan ikan bilih, buah sawo, dan jasa pariwisata, akan berkembang dengan adanya modal usaha memadai. Nilai tambah yang dinikmati daerah juga lebih tinggi.
Sejumlah masyarakat di Desa Sumpur sudah menikmati hal itu setelah menggunakan jasa industri keuangan formal beberapa tahun ini. Pelaku UMKM, Hidayati (50), misalnya, tidak lagi menjual ikan bilih segar. Dia memproduksi ikan bilih goreng yang dikemas sebagai oleh-oleh khas Sumbar setelah mendapat pendampingan dari program BRIncubator.
Saat usahanya mulai menggeliat, dia memperbesar kapasitas produksi dengan pinjaman KUR sebesar Rp 10 juta. Modal kerja itu digunakan untuk membeli kompor, kuali, dan kemasan produk yang lebih baik. Sebelumnya, dia menjual ikan bilih segar Rp 60.000 per kilogram. Setelah digoreng dan dikemas, harganya meningkat menjadi Rp 60.000 per kemasan 250 gram atau Rp 240.000 per kilogram.
”Omzet saya sekarang berkisar Rp 5 juta sampai Rp 10 juta per bulan, jauh lebih besar dibandingkan menjual ikan bilih segar yang hanya sekitar Rp 3 juta,” kata Hidayati.
Warga Nagari Sumpur lainnya, Yetmi Idris (48), juga beralih dari menjual ikan bilih rebus menjadi ikan bilih goreng dalam kemasan. Bersama 18 anggota kelompoknya, Yetmi memanfaatkan pinjaman Mekaar (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera) dari PT Permodalan Nasional Madani. Omzet berbagai jenis usaha anggota kelompok ini pun meningkat setelah mendapat bantuan modal usaha Rp 2 juta sampai Rp 5 juta per orang.
Hidayati dan Yetmi menjadi contoh berkembangnya ekonomi masyarakat perdesaan setelah memasuki ekosistem keuangan inklusif dan mendapat literasi keuangan yang baik. Ekonomi masyarakat desa bisa naik kelas dan menjadi motor ekonomi baru daerah.