Para Petani Sawit Dirundung Harga Pupuk dan El Nino
Meski mampu bertahan saat cuaca panas ekstrem, bukan berarti sawit lolos dari dampak El Nino. Para petani seakan dipaksa untuk berpuasa memupuk kebunnya lantaran kondisi panas dan tingginya harga pupuk.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tidak hanya memicu kebakaran lahan, El Nino turut berdampak secara tidak langsung pada penurunan produktivitas kelapa sawit hingga 50 persen. Setelah para petani terpaksa tidak memupuk tanaman sawitnya akibat kenaikan harga pupuk pada tahun lalu, kini mereka harus berkutat dengan kenaikan suhu sekaligus anjloknya harga tandan buah segar kelapa sawit.
Seperti diberitakan Kompas.id pada Jumat (16/6/2023), kondisi El Nino yang lemah telah muncul ditandai dengan kenaikan suhu permukaan laut di atas rata-rata di sepanjang zona khatulistiwa Samudra Pasifik. Bahkan, kenaikan suhu rata-rata global pada awal Juni 2023 telah melampaui ambang batas 1,5 derajat celsius. Berdasarkan data Laporan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA), semua indeks El Nino mingguan terbaru tercatat lebih dari 0,5 derajat celsius.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP Apkasindo) Gulat Medali Emas Manurung mengatakan, sebagai tanaman kategori C4, kelapa sawit dapat beradaptasi di tengah tingginya intensitas matahari dan dapat memacu proses fotosintesis. Namun, di tengah kondisi kering akibat El Nino, para petani kelapa sawit direkomendasikan untuk tidak memupuk tanamannya dengan pupuk kimia lantaran dapat membuat tanah semakin panas dan berbahaya bagi akar tanaman.
”Fotosintesis yang meningkat akibat El Nino tanpa diimbangi dengan pupuk membuat pertumbuhan tanaman sawit tidak optimal sehingga berdampak pada produktivitas panen kelapa sawit. Dampak tersebut biasanya baru terasa setelah sembilan bulan. Oleh sebab itu, petani dianjurkan untuk menggunakan pupuk organik,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (16/6/2023).
Sebagai gambaran, Badan Pusat Statistik pada tahun 2020 mencatat, dari 16,38 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia, sebanyak 45,5 persen adalah perkebunan rakyat. Sementara tercatat ada sekitar 6,9 juta petani di hulu dan 16,2 juta pekerja di hilir.
Sebelum El Nino terjadi, para petani kelapa sawit sempat mengalami kendala dalam hal pemupukan akibat lonjakan harga pupuk pada Juni 2022. Gulat menyebut, hampir 85 persen petani tidak memupuk tanamannya lantaran tingginya harga pupuk kimia atau pupuk yang mengandung natrium, fosfor, dan kalium (NPK).
Hal ini kemudian mengakibatkan produktivitas kebun kelapa sawit milik para petani menurun 25 persen hingga 35 persen. Apalagi, El Nino juga membuat para petani menghindari pupuk NPK sehingga produktivitas kelapa sawit petani tahun depan diproyeksikan menurun hingga 50 persen.
Memang benar pada waktu El Nino kita tidak dapat melakukan pemupukan. Hal ini otomatis akan menurunkan produksi pada tahun berikutnya. Kalau El Nino berlangsung panjang, dampaknya bahkan bisa sampai dua tahun. Apalagi, jika sampai terjadi kebakaran lahan, pengaruhnya akan semakin besar.
”Hampir setahun tidak memupuk karena harga pupuk naik 400 persen. Biasanya Rp 280.000 hingga Rp 300.000 per 50 kilogram (kg), jadi Rp 1,2 juta per zak (50 kg). Meski Februari 2023 turun jadi sekitar Rp 800.000 per 50 kg, tetap masih jauh dari harga semula. Dengan tidak memupuk, sawit jadi tidak maksimum dalam berproduksi,” lanjutnya.
Dalam pemberitaan Kompas.id (30/3/2023), Kementerian Pertanian menyebut, total kebutuhan pupuk subsidi yang diajukan sepanjang tahun 2023 sekitar 25 juta ton. Namun, dengan anggaran berkisar Rp 24 triliun hingga Rp 25 triliun, alokasi pupuk subsidi hanya mencapai 9 juta ton.
Secara terpisah, Ketua Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menjelaskan, apabila El Nino terjadi, dampaknya tidak akan langsung terasa pada tahun ini juga. Adapun produksi kelapa sawit yang sedikit menurun pada tahun ini terjadi akibat kematangan buah yang terlambat sehingga panen pun mundur.
”Memang benar pada waktu El Nino kita tidak dapat melakukan pemupukan. Hal ini otomatis akan menurunkan produksi pada tahun berikutnya. Kalau El Nino berlangsung panjang, dampaknya bahkan bisa sampai dua tahun. Apalagi, jika sampai terjadi kebakaran lahan, pengaruhnya akan semakin besar,” katanya.
Sementara Ketua Sekretariat Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Forstabi) Rukaiyah Rafiq menuturkan, El Nino menjadi tantangan terbesar bagi para petani kelapa sawit yang memiliki kebun di lahan gambut. Kendati para petani telah bersiaga, masih ada potensi kebun mereka terbakar dari lahan lain.
”Kami sudah mengingatkan para anggota, terutama mereka yang memiliki kebun di lahan gambut. Salah satu upayanya adalah dengan membangun kanal di sekitar kebun sehingga air selalu tersedia di lahan gambut mereka,” ucapnya ketika dihubungi di Frankfurt, Jerman.
Harga anjlok
Selain itu, pendapatan para petani makin turun akibat anjloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Apkasindo mencatat, harga TBS kini tercatat Rp 1.700-Rp 1.900 per kg dari sebelumnya Rp 2.800 per kg.
Menurut Gulat, anjloknya harga TBS ini bertentangan dengan kondisi produktivitas kelapa sawit yang menurun. Padahal, penurunan produktivitas kelapa sawit seharusnya turut mengurangi pasokan di pabrik olahan kelapa sawit sehingga membuat harga TBS naik.
”Permasalahan sawit saat ini bukan El Nino, melainkan harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) di KPBN (PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara) yang tidak kompetitif. Padahal, harga TBS petani mengacu pada harga tender KPBN. Kalau harganya rendah, tentu rendah pula harga TBS-nya,” tutur Gulat.