Pemanfaatan pasir laut terus menuai sorotan. Ketentuan itu dinilai minim pengawasan dan tumpang tindih.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah tengah menyusun peraturan menteri terkait pemanfaatan pasir laut. Sejumlah kalangan menilai pemanfaatan pasir laut tidak perlu membuka keran ekspor pasir laut karena berpotensi disalahgunakan dan tumpang tindih.
Konsultasi publik untuk penyusunan aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, digelar secara terbatas, di Jakarta, Selasa (13/6/2023). PP 26/2023 yang diteken Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 itu memungkinkan pemanfaatan hasil sedimentasi yang berupa pasir laut dan lainnya untuk reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur, hingga ekspor.
Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Miftahul Huda, mengemukakan, tim kajian segera dibentuk untuk pengelolaan hasil sedimentasi laut.
Berdasarkan PP 26/2023, tim kajian yang terdiri lintas kementerian dan lembaga akan menyusun dokumen perencanaan yang memuat sebaran lokasi, jenis mineral dan volume hasil sedimentasi yang bisa dimanfaatkan, rencana pemanfaatan sedimentasi laut, dampak sedimentasi terhadap lingkungan, dan rencana rehabilitasi ekosistem dan pesisir.
Legal of Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Jeanny Sirait mengemukakan, konsultasi publik terkait pemanfaatan hasil sedimentasi laut belum sepenuhnya melibatkan masyarakat pesisir, padahal masyarakat pesisir paling terdampak kebijakan pengerukan pasir laut. Pihaknya meragukan aturan teknis PP No 26/2023 akan transparan terkait perencanaan, pengendalian, pemanfaatan dan pengawasan.
Dua tahun sebelum terbitnya PP No 26/2023, pemerintah telah mematok tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk pemanfaatan pasir laut. Acuan harga itu diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 82 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Pasir Laut dalam Penghitungan Tarif atas Jenis PNBP, yang diteken pada 18 September 2021. Berdasarkan ketentuan itu, tarif PNBP untuk pemanfaatan pasir laut dalam negeri sebesar Rp 188.000 per meter kubik (m3) dan untuk tujuan ekspor dipatok Rp 228.000 per m3.
Potensi Disalahgunakan
Sementara itu, Komisi VII DPR menyoroti kebijakan pemerintah membuka keran eksploitasi pasir laut yang berpotensi tumpang tindih dan disalahgunakan karena bertentangan dengan kebijakan pemerintah lainnya. Mereka meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM untuk meninjau ulang aturan yang terkesan dikebut tanpa alasan tersebut.
Dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (13/6/2023), sebagian besar anggota komisi mencecar esensi dari PP No 26/2023. Mereka menyinggung adanya potensi tumpang tindih aturan yang satu dengan lainnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman mengatakan, PP No 26/2023 tidak mewajibkan pengusaha yang ingin memanfaatkan pasir laut untuk membuat izin usaha pertambangan (IUP). Hal ini membuka ruang bagi pengusaha untuk mengeksploitasi pasir laut di sepanjang garis pantai Indonesia.
Wilayah yang diperbolehkan untuk memanfaatkan pasir laut, menurut PP No 26/2023, harus di luar kawasan IUP. Sementara itu, untuk pasir laut yang mengandung mineral harus mengajukan IUP terlebih dulu. ”Ini apa maksudnya, saya mohon agar aturan yang bertabrakan ini diklarifikasi. Sebab, seluruh aktivitas yang membutuhkan IUP harus di dalam wilayah IUP,” ujar Maman.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Nasdem Rico Sia menyebutkan, Pasal 36 Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, mengharuskan pelaku usaha untuk mengajukan IUP sebelum mengeksplorasi dan memproduksi. Sementara itu, PP No 26/2023 memperbolehkan pengusaha untuk mengeruk, jika menemukan mineral, baru mengajukan IUP.
Ia menilai, pengerukan sedimentasi berisiko terjadi penyalahgunaan. Jika dikeruk terlalu dalam, tentu akan ditemukan sejumlah jenis mineral. ”Dalam konteks ini, pengawasan pemanfaatan pasir laut akan sulit dilakukan,” ujarnya.
Tidak Diekspor
Sebelumnya, Komisi IV DPR dalam Rapat Kerja dengan Menteri Kelautan dan Perikanan, Senin, juga mempertanyakan urgensi kebijakan pemerintah untuk mengeruk dan mengekspor pasir laut. Pemanfaatan pasir laut untuk peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dinilai belum didukung sistem pengawasan sehingga dikhawatirkan memicu kerusakan ekologi. Di sisi lain, jika pasir laut ditujukan untuk kepentingan reklamasi di dalam negeri, seharusnya keran ekspor pasir laut tetap ditutup (Kompas, 13/6/2023).
Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB University Yonvitner, saat dihubungi terpisah, mengemukakan, kebijakan pengelolaan sedimentasi laut harus bermuara untuk kepentingan rakyat. Di beberapa negara, praktik pemanfaatan pasir laut dapat saja berbeda, tetapi pemanfaatannya diutamakan memperkuat pembangunan nasional.
”Tujuan dari PP No 26/2023 harus dilengkapi dan disempurnakan, yaitu sedimentasi laut diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan nasional tanpa harus ada narasi ekspor,” ujarnya.
Yonvitner menambahkan, Australia telah memfokuskan pengerukan pasir laut untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri seperti perluasan pelabuhan, pembangunan di pesisir, dan rehabilitasi kawasan pesisir. Di samping itu, pemanfaatan pasir laut memperhatikan dampak terhadap lingkungan dan ekosistem, serta pemahaman bersama tentang proses teknik yang akan digunakan. Zona lokasi pengambilan pasir laut di sekitar muara sungai atau mulut pelabuhan juga memperhatikan sistem manajemen lalu lintas di sekitarnya.
”Pengerukan pasir laut di Australia memperhitungkan biaya perbaikan konservasi sebagai biaya dari kegiatan pengambilan pasir laut, ketika kawasan konservasi, ekosistem dan masyarakat terdampak,” katanya.
Yonvitner menambahkan, kunci dari praktik pemanfaatan sedimentasi laut, termasuk pasir laut, adalah untuk tujuan nasional. Dengan demikian, ekspor pasir laut tidak masuk dalam kebijakan pemanfaatan pasir laut Australia. Belajar dari pengalaman itu, pemerintah dinilai perlu memikirkan kembali tujuan PP No 26/2023.