Distribusi Alat Bantu Tersendat, Migrasi Penyiaran Bisa Terhambat
Pelaksanaan komitmen penyaluran alat bantu penerima siaran digital terestrial atau ”set top box” ke rumah tangga miskin belum optimal. Jika tidak ada percepatan distribusi, migrasi penyiaran dikhawatirkan terhambat.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendistribusian subsidi alat bantu penerima siaran televisi digital terestrial atau set top box kepada rumah tangga miskin hingga kini belum tuntas. Permasalahan ini, jika tetap dibiarkan, akan menjadi penghambat selesainya migrasi sistem penyiaran analog ke digital terestrial.
Migrasi sistem penyiaran analog ke digital terestrial atau analog switch off(ASO) merupakan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kini merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang. Regulasi ini, antara lain, mengamanatkan pembagian jatah dan distribusi subsidi alat bantu penerima siaran televisi digital terestrial.
Jatah jumlah alat bantu penerima siaran televisi digital dari sisi pemerintah mencapai 1.311.760 unit. Sementara jatah jumlah alat bantu penerima siaran yang menjadi komitmen stasiun televisi penyelenggara multipleksing mencapai 4.330.760 unit.
Untuk jatah pemerintah, pemerintah menyatakan telah menyalurkan lebih dari 96 persen dari total alokasi nasional. Sementara porsi pendistribusian bantuan yang menjadi tanggung jawab penyelenggara multipleksing masih di bawah 10 persen dari total komitmen alokasi secara nasional.
Persoalan utama ASO tetap berkutat pada alat bantu penerima siaran digital terestrial bagi warga tidak mampu.
”Dalam beberapa rapat koordinasi, total alat bantu penerima siaran digital yang sudah disalurkan oleh penyelenggara multipleksing berkisar 5 persen. Kami mendorong agar penyelenggara multipleksing bekerja sama dengan pemerintah daerah sehingga mempercepat proses pembagian,” ujar anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Mohamad Reza, di Jakarta, Jumat (9/6/2023).
Menurut Reza, sekarang, persoalan utama ASO tetap berkutat pada alat bantu penerima siaran digital terestrial bagi warga tidak mampu. Jika pemerintah berani tegas kepada penyelenggara multipleksing, ASO dapat dilaksanakan serentak. Selain 11 kota yang biasa jadi pengukuran kepemirsaan Nielsen, kabupaten/kota wilayah siaran lain semestinya mendapat perlakuan yang sama dalam urusan distribusi subsidi.
Anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP), Bayu Wardhana, saat dihubungi secara terpisah berpendapat, ASO merupakan hal yang tidak terhindarkan karena perkembangan teknologi. Selain pemakaian spektrum frekuensi yang lebih efisien, siaran televisi digital terestrial menghasilkan tayangan lebih bagus. Apabila stasiun televisi tetap bersikeras mempertahankan siaran analog terestrial, peralatan penyiaran analog semakin langka dan membuat operasional tidak ekonomis.
”Permasalahan ASO sampai sekarang adalah pelaksanaan. Distribusi alat bantu penerima siaran televisi digital ke rumah tangga miskin belum tuntas. Kendalanya, tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab penuh pada distribusi alat,” ujarnya.
Menurut Bayu, belum optimalnya pembagian subsidi alat bantu penerima siaran berpotensi memengaruhi iklan. Pemasang iklan diyakini akan memilih menunda pemasangan iklan karena tahu jumlah penonton turun.
”Permasalahan subsidi alat bantu penerima siaran digital terletak pada proses distribusi beserta biaya kirim. Pemerintah bisa mengambil alih, seperti menanggung biaya distribusi. Sementara stasiun televisi swasta penyelenggara multipleksing tetap harus berperan dalam pengadaan,” katanya.
Problem data penerima
Wakil Ketua Bidang Regulasi Gabungan Pengusaha Elektronik Joegiyanto mengatakan, distribusi subsidi alat bantu penerima siaran digital mengandung sejumlah masalah. Kendati pemerintah pusat dan daerah sudah berusaha memperbaiki data calon penerima, penyaluran di lapangan tetap saja tidak mudah. Misalnya, alamat rumah calon penerima sudah pindah dan calon penerima sedang pergi ketika petugas distribusi datang.
Senada dengan Bayu, Joegiyanto juga berpendapat, siaran televisi terestrial masih akan tetap diminati oleh masyarakat. Hotel-hotel di Indonesia tetap memasang perangkat televisi yang memungkinkan tamu tetap bisa menonton siaran televisi terestrial, selain siaran televisi berbayar.
Infrastruktur multipleksing telah terbangun di 112 wilayah siaran yang terdiri atas 341 kabupaten/kota.
”Dari sisi masyarakat yang ditargetkan jadi penerima subsidi alat, mereka perlu proaktif, bukan menunggu. Pemerintah sudah membangun posko bantuan, nomor kontak yang bisa dihubungi,” ujar Joegiyanto.
Direktur Penyiaran Kementerian Komunikasi dan Informatika Geryantika Kurnia mengatakan, infrastruktur multipleksing telah terbangun di 112 wilayah siaran yang terdiri atas 341 kabupaten/kota. Infrastruktur ini dibangun oleh TVRI dan stasiun televisi swasta.
Sebanyak 591 stasiun televisi analog terestrial telah bersiaran digital terestrial. Selain itu, masih ada 94 stasiun televisi analog sedang proses migrasi. Kementerian Kominfo berharap, sebelum 17 Agustus 2023, semua stasiun televisi telah bersiaran digital secara penuh.
”Mereka (stasiun televisi swasta penyelenggara multipleksing) mengatakan masih mau menyelesaikan komitmen mendistribusikan subsidi alat bantu penerima siaran digital terestrial. Mereka sedang mencari solusi percepatan. Diusahakan tetap dari swasta (yang menyelesaikan pembagian subsidi alat bantu penerima siaran digital),” ujar Geryantika saat ditanya apakah ada kemungkinan pemerintah mengambil alih.