Disrupsi teknologi digital tidak bisa dihindari. Karena itu, guna melindungi pekerja, sistem jaminan sosial dinilai perlu beradaptasi menjadi bersifat universal yang mudah diakses pekerja.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem jaminan sosial perlu beralih menuju sistem yang universal sehingga pekerja, apa pun jenis pekerjaan dan hubungan kerjanya, bisa dengan mudah mengaksesnya. Peralihan ini diyakini bisa merespons disrupsi teknologi di dunia kerja yang terus berlanjut pada masa mendatang.
Ekonom Bank Dunia, Putu Sanjiwacika Wibisana, berpendapat, perkembangan teknologi yang pesat memaksa perusahaan untuk beradaptasi dengan cepat. Situasi ini sering kali membuat perusahaan tidak bisa mempertahankan proses bisnis atau keterampilan pekerja mereka secepat perkembangan teknologi. Solusi jangka pendek yang kerap diambil manajemen perusahaan adalah merekrut pekerja jangka pendek, termasuk pekerja gig, yang memiliki karakteristik hubungan kerja fleksibel.
”Memang, tengah terjadi perubahan nature of work di seluruh dunia. Tidak tertutup kemungkinan, tren itu (perekrutan pekerja jangka pendek) akan terjadi di Indonesia,” kata Putu pada Forum Kajian Pembangunan yang diselenggarakan The SMERU Research Institute, di Jakarta, Rabu (7/6/2023).
Saat ini pun, lanjut Putu, orang sudah bisa berpindah (jenis dan tempat) kerja dengan mudah. Pola bekerja dari mana saja atau remote working sudah jamak terjadi. Disrupsi teknologi tidak bisa dihindari dan dari tahun ke tahun terjadi kecenderungan perubahan kebutuhan keterampilan pekerja. Pekerja yang ingin meneruskan studi lanjut ke luar negeri untuk menambah keterampilan biasanya akan mengorbankan waktu dan sumber pendapatan. Pekerja seperti ini membutuhkan dana jaminan sosial untuk menutup opportunity cost lost.
”Jadi, menurut saya, akan sulit menggantungkan sistem jaminan sosial yang hanya dari hubungan industrial karyawan tetap dengan manajemen perusahaan di satu perusahaan. Perlu beralih menuju sistem jaminan sosial yang bersifat universal. Indonesia tidak perlu reaktif dengan membuat sistem jaminan sosial untuk merespons terminologi hubungan/jenis pekerjaan baru, seperti pekerja gig, karena ada kemungkinan muncul terminologi baru,” kata Putu.
Di Indonesia, sistem jaminan sosial ketenagakerjaan saat ini telah menyediakan skema untuk pekerja bukan penerima upah (BPU). Kategori BPU mencakup pekerja gig ekonomi. Definisi pekerja gig ekonomi ialah pekerja mitra platform teknologi digital, pekerja kontrak, pekerja serabutan, pekerja lepas, pekerja borongan, pekerja subkontraktor, dan pekerja alih daya. Putu memandang, tantangan skema BPU terletak pada tingkat aktif kepesertaan dan pendaftaran.
Pekerja rentan
Sesuai data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik pada tahun 2019, peneliti senior SMERU, Palmira Permata Bachtiar, menyampaikan, proporsi jumlah pekerja gig ekonomi di Indonesia mencapai 1,8 persen dari total angkatan kerja. Sebanyak 62,2 persen di antaranya bekerja menggunakan teknologi, sedangkan sisanya tidak memanfaatkan teknologi.
Setiap kategori pekerja gig ekonomi memiliki kerentanan. Misalnya, rentan terhadap ketidakpastian dan guncangan ekonomi, kejahatan siber dan pencurian data, jebakan keterampilan, algoritma aplikasi, serta bias jender.
”Belum ada data pasti berapa banyak pekerja hubungan kerja jangka pendek, termasuk pekerja gig ekonomi, karena ada karyawan tetap tetapi punya sambilan sebagai pekerja lepas. Ada juga orang sudah pensiun, tetapi bekerja sebagai mitra pengemudi ojek daring,” ujarnya.
Menurut Palmira, prinsip jaminan sosial seharusnya mudah diakses. Prinsip berikutnya, kolektif atau bisa dipastikan terdapat berbagai skema perlindungan dan bantuan yang disediakan oleh berbagai aktor, bukan hanya pemerintah. Kedua prinsip ini akan mampu melindungi semua pekerja, termasuk pekerja gig ekonomi.
Deputi Direktur Bidang Project Management Office Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Eka Kartika pada forum yang sama mengatakan, pihaknya sedang menginisiasi pembuatan Satu Data Ketenagakerjaan. Saat ini, BPJS Ketenagakerjaan sedang berkoordinasi dengan Kementerian Sosial. ”Tantangan terbesar dalam pembuatan Satu Data Ketenagakerjaan adalah tata kelola data yang berbeda,” katanya.
Di luar proses itu, Eka menceritakan, masih ada upaya lain yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk merespons perubahan dunia kerja akibat disrupsi teknologi. BPJS Ketenagakerjaan, misalnya, bekerja sama dengan lokapasar untuk memudahkan pendaftaran peserta dan pembayaran iuran. BPJS Ketenagakerjaan juga telah memiliki agen program Penggerak Jaminan Sosial Indonesia (Perisai).