Di tengah berbagai tantangan, seperti fluktuasi harga, kelembagaan yang bermasalah, dan tengkulak, para petani kecil harus mengadopsi regulasi dari Uni Eropa. Aturan ini seyogianya diberlakukan secara bertahap.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para petani swadaya membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan kebijakan Undang-Undang Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR. Sebab, sertifikasi produk komoditas berkelanjutan yang diatur dalam kebijakan tersebut berbeda dengan sertifikasi yang selama ini telah diberlakukan di Indonesia.
EUDR merupakan regulasi yang mensyaratkan dokumen uji tuntas dan verifikasi sebagai bentuk jaminan oleh eksportir bahwa produknya tidak berasal dari kawasan hasil penggundulan hutan (deforestasi) dengan batas maksimal akhir tahun 2020. Kebijakan ini akan diundangkan pada akhir bulan Juni 2023 dengan mandat implementasi 18 bulan.
Produk-produk ekspor yang dimaksud ialah minyak sawit dan produk turunannya, arang, kopi, kedelai, kakao, daging sapi, dan kayu. Selain itu, karet, kertas, kulit, dan produk turunannya juga masuk dalam kategori tersebut. Salah satu ketentuan dalam EUDR mengatur mengenai country benchmarking atau penerapan label high risk, standard, dan low risk kepada negara tertentu.
Ketua Sekretariat Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Forstabi) Rukaiyah Rafiq mengatakan, para petani swadaya tidak menolak EUDR. Namun, penerapan aturan tersebut seyogianya mengedepankan kondisi petani di lapangan dan dilakukan dengan pendekatan secara bertahap.
”Kami setuju dengan EUDR, tetapi setidaknya itu diberlakukan dengan pendekatan secara bertahap. Petani swadaya tidak bisa langsung ke tahap legal dan keterlacakan (tracebility). Paling tidak hal itu dapat diterapkan mulai dari skala desa, tidak bisa langsung per plot,” ujarnya, saat ditemui di Jakarta, Rabu (7/6/2023).
Badan Pusat Statistik pada tahun 2020 menyebutkan, dari 16,38 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia, sebanyak 45,5 persen adalah perkebunan rakyat. Tercatat ada sekitar 6,9 juta petani di hulu dan 16,2 juta pekerja di hilir.
Menurut Rukaiyah, ketentuan sertifikasi EUDR seharusnya dapat disesuaikan dengan standar yang sudah diberlakukan di Indonesia, seperti roundtable sustainable palm oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Sementara perkembangan sertifikasi RSPO terhadap para petani swadaya, lanjut Rukaiyah, cenderung melambat.
Selama ini, apakah kita pernah mempertanyakan produk yang mereka ekspor kepada kita, alat kesehatan, misalnya, bahan-bahannya dari mana asalnya? Sebaliknya, komoditas yang kita ekspor justru dipertanyakan. Dari sisi ekonomi perdagangan, ini tentu tidak adil.
Melansir dari laman resmi RSPO, terdapat 10,675 petani swadaya di Indonesia dengan luas total 26,191 hektar yang memiliki sertifikasi RSPO. Adapun RSPO yang dibentuk pada tahun 2004 bertujuan untuk mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan produk kelapa sawit berkelanjutan dengan standar global.
”Saat petani tengah berusaha memahami RSPO dan ISPO, tiba-tiba datang kebijakan baru lagi seperti EUDR, seolah tidak diberi napas. EUDR bisa diterapkan, tetapi sebaiknya merekognisi standar-standar yang sudah ada karena para petani swadaya ini di sisi lain juga masih berjuang dengan fluktuasi harga, kelembagaan yang bermasalah, dan tengkulak,” lanjutnya.
Rukaiyah menjelaskan, ISPO dan RSPO memiliki standar yang lebih tinggi ketimbang EUDR. Standar tersebut di antaranya mengatur mengenai hak masyarakat adat, hak asasi manusia, hak pekerja, dan kesetaraan jender.
Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Bidang Perekonomian Khadikin menambahkan, penerapan EUDR tidak menjadi masalah apabila komunitas dalam perkebunan kelapa sawit sudah siap. Namun, kebijakan tersebut dinilai tidak adil lantaran hanya berlaku untuk produk yang diimpor oleh pihak Uni Eropa, khususnya kelapa sawit.
”Selama ini, apakah kita pernah mempertanyakan produk yang mereka ekspor kepada kita, alat kesehatan, misalnya, bahan-bahannya dari mana asalnya? Sebaliknya, komoditas yang kita ekspor justru dipertanyakan. Dari sisi ekonomi perdagangan, ini tentu tidak adil. Lalu, setelah menjalankan regulasi tersebut, apa imbal hasil dari mereka,” katanya.
Petani kecil atau petani swadaya dinilai mampu beradaptasi dengan situasi pasar. Hal ini disampaikan oleh Dewan Direksi InfoSAWIT sekaligus pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Edi Suhardi dalam forum diskusi sawit berkelanjutan bertajuk ”Integrasi Industri Hulu Hingga Hilir Sawit Berkelanjutan”, di Jakarta, Rabu.
Menurut Edi, terdapat tiga jenis produsen kelapa sawit di Indonesia, yakni produsen tradisional atau petani kecil (small holder), produsen yang berusaha mengadopsi keberlanjutan, dan produsen yang berorientasi pasar premium. Oleh sebab itu, perlu dilakukan diferensiasi sebagai arah bagi pemerintah dalam membangun kebijakan dan kelembagaan mengenai kelapa sawit di Indonesia.
”Ketiga produsen ini harus mulai ditampung dengan mengembangkan pasar dalam tiga kategori, yakni pasar premium untuk kebutuhan ekspor ke negara lain yang mengedepankan keberlanjutan. Kemudian, pasar transisi atau progresif untuk mengakomodasi mereka yang sedang berupaya dalam keberlanjutan, dan pasar tradisional yang khusus menampung petani kecil,” katanya.
Edi menambahkan, penolakan terhadap EUDR muncul lantaran terdapat sentimen akibat dampak dari kolonialisme. Selama ini, Eropa dinilai arogan dan berpengaruh dalam menentukan harga.
Selain itu, EUDR juga berdampak terhadap bertambahnya alokasi biaya terhadap administrasi dan birokrasi. Hal ini terutama akan berdampak bagi petani kecil yang justru membuat ISPO semakin tertinggal.