Walaupun penangkapan kapal-kapal ikan asing ilegal oleh aparat cenderung menurun, masuknya kapal-kapal ilegal itu masih menjadi ancaman utama di wilayah perairan perbatasan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau IUU Fishing dinilai masih mengancam perairan Indonesia. Pelanggaran tidak hanya dilakukan oleh kapal ikan asing, tetapi juga kerap dilakukan kapal-kapal ikan Indonesia.
Selama Januari-Mei 2023, aparat pengawasan kelautan dan perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan menangkap kapal ikan ilegal sebanyak 70 kapal, terdiri dari 61 kapal ikan Indonesia dan 9 kapal ikan asing. Dari sembilan kapal ikan asing yang ditangkap, lima kapal perikanan berbendera Filipina, tiga kapal perikanan berbendera Malaysia, dan satu kapal perikanan berbendera Vietnam.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan, Senin (5/6/2023), di Jakarta, mengemukakan, peringatan Hari Internasional Perlawanan IUU Fishing tanggal 5 Juni masih menyisakan pekerjaan rumah dalam mengatasi praktik perikanan ilegal itu. Walaupun penangkapan kapal- kapal ikan asing ilegal oleh aparat cenderung menurun, masuknya kapal-kapal ilegal itu masih menjadi ancaman utama di wilayah perairan perbatasan. Ancaman itu antara lain oleh kapal berbendera Vietnam di Laut Natuna Utara dan kapal berbendera Malaysia di Selat Malaka.
Di sisi lain, pelanggaran oleh kapal-kapal ikan Indonesia juga terus marak, antara lain berupa pelanggaran penggunaan alat tangkap dan pelanggaran wilayah tangkap. Upaya menekan pelanggaran oleh kapal-kapal dalam negeri memerlukan koordinasi pemerintah pusat dan daerah serta dukungan teknis dan anggaran pemerintah provinsi. Saat ini, alokasi dana pemerintah provinsi untuk pengawasan dinilai sangat rendah, yakni Rp 50 juta-Rp 100 juta per tahun.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Adin Nurawaluddin dalam keterangan terpisah menjelaskan, kapal perikanan kecil berukuran kurang dari 30 gros ton (GT) diperbolehkan menangkap ikan di atas 12 mil laut (22 kilometer), sepanjang telah memperoleh izin dari pemerintah pusat.
”Masalahnya, banyak kapal- kapal berukuran di bawah 30 GT ini yang belum mengantongi izin dari pusat, tetapi sudah jalan menangkap ikan di atas 12 mil laut (22 km). Ini sama saja dengan praktik illegal fishing yang dapat menimbulkan penangkapan ikan berlebih,” kata Adin dalam keterangan pers peringatan Hari Internasional Perlawanan terhadap IUU Fishing, Senin.
CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa menambahkan, praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur turut berdampak pada degradasi lingkungan menimbulkan kerugian ekonomi bagi masyarakat kecil dan termarjinalkan yang penghidupannya bergantung dari laut. Perlawanan terhadap IUU Fishing membutuhkan kerja sama seluruh pemangku kepentingan, termasuk organisasi lintas negara dan masyarakat pesisir.
Berdasarkan pantauan IOJI, nelayan kecil di Laut Natuna Utara semakin terdesak ke selatan, di tengah intrusi kapal ikan berbendera asing di wilayah tangkap nelayan Natuna. Intrusi itu terdeteksi di wilayah sengketa dan nonsengketa pasca-perjanjian batas zona ekonomi eksklusif RI-Vietnam pada Desember 2022.
Keterbatasan anggaran
Menurut Adin, banyak kasus kapal ikan asing ilegal masuk di area abu-abu (grey area) batas wilayah. Area abu-abu kerap dimanfaatkan karena belum ada justifikasi legal formal terkait penentuan batas laut. Di sisi lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berupaya memperkuat pengawasan, antara lain menambah jumlah armada kapal pengawas.
Saat ini, jumlah kapal patroli pengawasan KKP sebanyak 31 kapal. Pada tahun 2023, KKP merencanakan penambahan dua kapal pengawas yang merupakan hibah dari Pemerintah Jepang, serta pembangunan dua kapal pengawas baru. Adapun jumlah hari operasional pengawasan pada tahun 2023 diperkirakan 70 hari dari target awal 90 hari. Kendalanya, anggaran operasional pengawasan terbatas dan harga bahan bakar minyak terus meningkat.
Keterbatasan anggaran membuat patroli bersama pada tahun 2023 masih terbatas, yakni berjumlah 60 hari dari yang awalnya direncanakan 90 hari. Tahun 2024, jumlah hari patroli bersama, menurut rencana, ditingkatkan menjadi 120 hari. Wilayah sasaran patroli bersama tahun ini 2023 meliputi Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Natuna Utara, perairan Kalimantan Utara, Selat Makassar dan Laut Arafura.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengemukakan, pemerintah berkomitmen memerangi praktik IUU Fishing melalui kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota dan pengawasan terintegrasi berbasis teknologi.
Pengaturan penangkapan ikan di laut terus dibenahi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Dalam peraturan itu, kegiatan penangkapan ikan di laut Indonesia diatur dalam sistem kuota dan zonasi sehingga mampu mencegah terjadinya tindakan perikanan ilegal.
”Melalui penangkapan ikan terukur, kegiatan penangkapan ikan di laut Indonesia diatur dalam sistem kuota dan zonasi sehingga mampu mencegah terjadinya tindakan IUU Fishing, sekaligus mempromosikan praktik penangkapan ikan yang bertanggung jawab,” ujar Trenggono.