Pemerintah Dorong Masyarakat Berinvestasi pada Surat Berharga Negara
Sebagai salah satu instrumen investasi di pasar modal, obligasi menawarkan imbal hasil tetap dan relatif minim risiko. Namun, masih banyak masyarakat yang belum mengenal instrumen investasi tersebut.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah investor obligasi atau surat berharga negara dianggap belum optimal. Padahal, dengan potensi penduduk yang besar, Indonesia dapat mencapai kemandirian pembiayaan pemerintah dan masyarakat dapat memperoleh distribusi kekayaan melalui instrumen investasi tersebut.
Mengacu pada data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah investor surat berharga negara mencapai 887.801 orang. Jumlah tersebut setara dengan 8,1 persen jika dibandingkan dengan jumlah investor pasar modal yang sudah mencapai 10,8 juta orang.
Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Deni Ridwan menjelaskan, dari data tersebut, potensi masyarakat untuk berinvestasi melalui pembelian surat berharga negara (SBN) masih sangat besar. Namun, masih banyak masyarakat yang cenderung belum mengenal instrumen investasi tersebut.
”Mungkin selama ini masyarakat masih nyaman menaruh dana di instrumen deposito dengan bunga 2 persen sampai 3 persen. Padahal, bunga SBN jauh lebih besar,” ujarnya di Jakarta, Rabu (24/5/2023).
Terdapat berbagai jenis obligasi, yakni obligasi pemerintah atau SUN, obligasi korporasi, dan obligasi ritel. Obligasi ritel ada yang disebut obligasi negara ritel (ORI) dan obligasi berbasis syariah (sukuk). Adapun sukuk tabungan (ST) merupakan bentuk kepemilikan atas aset negara untuk pendanaan hijau (green economy).
Sebelumnya pemerintah membuka penawaran seri ST010 dalam dua jenis, yakni dengan tenor 2 tahun (T2) dan tenor 4 tahun (T4) untuk periode 12 Mei 2023 sampai 7 Juni 2023. Untuk jenis T2, pemerintah menetapkan imbal hasil sebesar 6,25 persen per tahun. Sementara untuk jenis T4, pemerintah menetapkan imbal hasil sebesar 6,40 persen.
Secara keseluruhan, lanjut Deni, pemerintah juga memberikan insentif fiskal berupa penetapan pajak penghasilan (PPh) sebesar 10 persen pada imbal hasil SBN atau dua kali lebih rendah dibandingkan dengan deposito, yakni 20 persen. Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga menargetkan penerbitan SBN Ritel sebesar Rp 130 triliun hingga Rp 150 triliun.
SBN Ritel menjadi sarana bagi pemerintah untuk mendistribusikan kekayaan. Artinya, semakin banyak masyarakat yang dapat menikmatinya tanpa perlu perantara lembaga keuangan.
Pada tahun 2022 Kemenkeu telah menerbitkan SBN Ritel sebesar Rp 107 triliun yang sekaligus menjadi pencapaian terbesar. Walakin, kata Deni, jumlah tersebut tidak seberapa jika dibandingkan dengan dana masyarakat di perbankan atau dana pihak ketiga (DPK) yang mencapai lebih dari Rp 8.006 triliun.
”Tahun ini Menteri Keuangan mengarahkan agar investor ritel ditingkatkan, yakni dengan target penerbitan mencapai Rp 130 triliun hingga Rp 150 triliun. Kami berharap SBN Ritel menjadi sarana bagi pemerintah untuk mendistribusikan kekayaan. Artinya, semakin banyak masyarakat yang dapat menikmatinya. Apalagi, sekitar 40 persen investor SBN Ritel adalah kaum milenial,” ujar Deni dalam diskusi bertajuk ”Peran Perbankan dalam Mendukung Perekonomian Indonesia Melalui Pasar Modal” yang diadakan UOB Indonesia, di Jakarta.
Deni menambahkan, sebagian besar obligasi pemerintah diharapkan dapat dimiliki oleh investor ritel sehingga nantinya pemerintah akan mencapai kemandirian pendanaan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menetapkan jumlah minimum pembelian SBN Ritel sebesar Rp 1 juta dan membatasi jumlah maksimal pembelian dari sebelumnya Rp 3 miliar menjadi Rp 2 miliar.
Global Markets Director UOB Indonesia Sonny Samuel menyebut investor domestik kini cenderung mendominasi instrumen investasi obligasi. Hal ini ditunjukkan dengan porsi pendanaan dari investor asing yang sekitar lima tahun lalu mencapai 30 persen, kini turun menjadi 15 persen.
”Dependensi Indonesia ke investor asing di obligasi sudah jauh lebih turun dan diganti oleh domestik. Oleh sebab itu, kita perlu menjaganya,” tuturnya.
Meningkatnya jumlah investor di pasar modal tidak sebanding dengan tingkat literasi sektor keuangan pasar modal. KSEI mencatat, jumlah investor pasar modal per April 2023 telah meningkat hampir 4 kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang mencapai 2,48 juta investor.
Sementara hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan, tingkat literasi pasar modal justru mengalami penurunan dari 4,97 persen pada 2019 menjadi 4,11 persen pada 2022. Di sisi lain, tingkat inklusi keuangan di pasar modal mencapai 5,19 persen atau meningkat hampir lima kali lipat jika dibandingkan dengan posisi periode 2019 sebesar 1,55 persen.
Head of Office and Wealth Management UOB Indonesia Vera Margaret mengatakan, tingkat inklusi dan literasi sektor pasar modal tidak berjalan beriringan. Dengan kata lain, tingkat pemahaman masyarakat mengenai instrumen investasi perlu diperhatikan.
”Dikhawatirkan jika nasabah tidak mengerti dengan benar apa yang mereka beli,” katanya.
President Director UOB Asset Management Indonesia Ari Adil menambahkan, salah satu kontributor atas bertumbuhnya investor di pasar modal Indonesia adalah generasi milenial. Sementara jika dilihat dari tingkat literasi keuangan, pasar modal menempati tempat ketiga setelah perbankan dan pegadaian.
”Ini menggambarkan kondisi yang kurang sehat karena artinya masyarakat kurang begitu berminat untuk berinvestasi. Oleh sebab itu, edukasi secara luas mengenai berinvestasi dan risikonya perlu dilakukan. Salah satunya dimulai dari usia dini mengenai pelajaran personal finance dan investasi,” ucapnya.