Saatnya Toko Buku Berbenah agar Dapat Terus Bertahan
Di tengah gempuran teknologi, industri perbukuan menjadi salah satu sektor yang terdampak karena adanya disrupsi digital. Cara berpikir konvensional dalam memasarkan buku perlu disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Toko buku membutuhkan terobosan baru agar dapat terus bertahan di tengah gempuran teknologi dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Perubahan tersebut menjadi kesempatan bagi generasi muda untuk melakukan inovasi dalam konsep toko buku.
Hal ini disampaikan oleh pengamat Pemasaran Managing Partner Inventure Yuswohady saat dihubungi di Jakarta, Selasa (23/5/2023). Menurut Yuswohady, faktor internal perusahaan, perubahan perilaku customer, dan disrupsi digital menjadi pemicu kegagalan toko buku bertahan, seperti yang dialami oleh PT Gunung Agung (GA) Tiga Belas atau Toko Buku Gunung Agung.
Melalui keterangan resminya, Sabtu (20/5/2023), PT GA Tiga Belas memutuskan untuk menutup semua gerai bukunya pada akhir 2023. Keputusan itu diambil oleh perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1953 lantaran beban biaya operasional tidak sebanding dengan pencapaian penjualan usaha setiap tahun.
”Perusahaan besar yang pernah sukses besar di masa lalu cenderung sulit untuk mengubah mindset. Lalu, perilaku masyarakat pun telah berubah. Mereka tidak lagi membaca buku sebagai sumber pengetahuan, tetapi lebih kepada tradisi menonton,” ujar Yuswohady.
Melansir data dari laman explodingtopics.com, rata-rata orang di dunia menghabiskan waktu 6 jam 58 menit per hari pada layar yang terhubung internet. Secara khusus, penduduk Indonesia rata-rata per hari menghabiskan waktu 8 jam 37 menit dengan alokasi 1 jam 19 menit untuk menonton video gim dan 3 jam 17 menit untuk bermedia sosial.
Sementara Perpustakaan Nasional RI mencatat, tingkat kegemaran membaca masyarakat sebesar 63,90 persen pada 2022. Jika dihitung secara harian, masyarakat menghabiskan waktu 1 jam 37 menit atau lima bahan bacaan per tiga bulan.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman juga mengatakan, pandemi Covid-19 telah mengubah perilaku masyarakat dari yang semula membeli buku langsung di toko menjadi memesan buku secara daring. Hal ini kemudian memengaruhi pemasaran dan penjualan buku sehingga berdampak pada keuntungan serta kelangsungan usaha (Kompas.id, 23/5/2023).
Oleh sebab itu, lanjut Yuswohady, toko buku perlu menyiasati perubahan gaya hidup masyarakat saat ini melalui berbagai inovasi. Pertama, toko buku tidak hanya sekadar menjual buku, melainkan turut menjajakan berbagai produk ritel lainnya sebagai pemasukan tambahan.
”Namun, inovasi tersebut sifatnya hanya sementara dan tidak sustainable karena space buku kian tergerus. Tawaran kedua adalah dengan membuat toko buku berkonsep coffee shop, restoran, workspace, eventspace, dan lifestyle center. Konsep itu dikenal dengan retail-tainment,” katanya.
Ini adalah momentum bagi generasi muda untuk ambil andil dalam industri perbukuan. Mereka yang masih start up (merintis) cenderung dapat bereksplorasi dengan leluasa karena risikonya minim. Sementara perusahaan-perusahaan besar sulit untuk berubah lantaran aset mereka sudah besar dan cenderung berisiko.
Selanjutnya, toko buku dapat menciptakan ekosistem perbukuan melalui komunitas pembaca. Menurut dia, toko buku akan memiliki daya tarik jika peran komunitas pembaca digalakkan melalui forum diskusi, temu penulis, peluncuran buku, kelas penulisan, dan baca puisi.
Keempat adalah konsep destinationbookstore. Yuswohady berpendapat, toko buku akan lebih efisien dengan menyediakan produk-produk spesifik tematik, seperti sastra, musik, kuliner, anak, dan sains. Dengan inventori terbatas dan tempat yang mengecil, toko buku akan dicari oleh pembaca dengan segmentasi tertentu.
Kelima adalah konsep immersivebookstore. Dengan memanfaatkan teknologi seperti digital teknologi, augmented reality (AR), virtualreality (VR), kecerdasan buatan (AI), dan metaverse, toko buku dapat memulai jenjang modernisasi sehingga konsumen dapat merasakan personalizedexperience.
”Ini adalah momentum bagi generasi muda untuk ambil andil dalam industri perbukuan. Mereka yang masih start up (merintis) cenderung dapat bereksplorasi dengan leluasa karena risikonya minim. Sementara perusahaan-perusahaan besar sulit untuk berubah lantaran aset mereka sudah besar dan cenderung berisiko,” tutur Yuswohady.
Kejayaan silam
Selama 70 tahun, Toko Buku Gunung Agung sempat menjadi pilihan bagi masyarakat untuk mencari buku-buku bacaan. Salah satu gerai yang masih beroperasi saat ini terletak di bilangan Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat.
Pada Selasa (23/5/2023) sore, tidak lebih dari 10 pengunjung menyambangi gerai berlantai empat tersebut. Satrio (25), warga DKI Jakarta, menceritakan, Toko Buku Gunung Agung adalah salah satu dari tiga toko buku terbesar di Jakarta pada era kejayaannya.
”Dibandingkan dengan toko buku lainnya, Gunung Agung lebih variatif dan lengkap. Kalau di toko buku lain seperti Gramedia atau Kharisma tidak ada, biasanya di Gunung Agung ada,” katanya.
Pengajar Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Negeri Padang Yona Primadesi menyampaikan, toko buku perlu mengikuti pola konsumsi masyarakat yang kini cenderung mulai merambah pada e-buku. Meski e-buku terus bertumbuh, buku konvensional juga tetap diminati oleh masyarakat sehingga kedua jenis buku tersebut perlu dioptimalkan (Kompas.id, 22/5/2023).