Peningkatan Kerja Sama Dagang RI-Iran Menguntungkan Sekaligus Berisiko
Peningkatan kerja sama RI-Iran menguntungkan sekaligus berisiko. Perdagangan RI bisa semakin tumbuh. Namun, di sisi lain, bisa menuai hambatan atau berbiaya tinggi mengingat sejumlah negara mengembargo Iran.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia telah menandatangani perjanjian tarif preferensial dengan Iran di tengah sejumlah negara mengembargo Iran. Peningkatan kerja sama dagang itu berpotensi menumbuhkan kinerja ekspor Indonesia sekaligus memiliki risiko ekonomi dan politik.
Kedua negara telah menandatangani perjanjian tarif preferensial (PTA) kala Presiden Iran Ebrahim Raisi berkunjung ke Indonesia. Selasa (23/5/2023). PTA RI-Iran itu antara lain mencakup kesepakatan fasilitas tarif yang lebih rendah untuk sejumlah komoditas kedua negara dan kerja sama imbal dagang antarpebisnis RI-Iran.
Peningkatan kerja sama perdagangan itu terjadi di tengah sejumlah negara mengembargo Iran. Iran memang telah terbebas dari sanksi internasional berupa embargo senjata yang dilakukan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 18 Oktober 2020.
Namun, Iran masih terkena sejumlah sanksi dari beberapa negara, terutama Amerika Serikat (AS) dan negara-negara anggota Uni Eropa (UE). Hingga kini, AS masih menerapkan sanksi terhadap Iran di sektor perminyakan, perbankan, dan transportasi.
Bahkan, pada Maret 2023, AS memberikan sanksi kepada perusahaan, termasuk yang berdomisili di China, Vietnam, dan Uni Emirat Arab, yang melanggar pembatasan AS. Sanksi tersebut menargetkan 11 perusahaan dan 20 kapal yang berafiliasi dan memfasilitasi perdagangan minyak dan petrokimia Iran.
Tak hanya itu, AS juga memberikan sanksi kepada beberapa perusahaan Iran yang menjadi bagian jaringan logistik Rusia-Iran. Sanksi itu diberikan setelah AS mengetahui Iran mengirimkan pesawat pengebom nirawak Rusia.
Adapun UE memberi sanksi kepada Iran atas pelanggaran hak asasi manusia dan menyuplai pesawat pengebom nirawak ke Rusia. Hingga 22 Mei 2023, UE telah membatasi akses dan pergerakan 216 individu atau tokoh dan 37 perusahaan Iran atas pelanggaran hak asasi manusia.
Sanksi itu antara lain berupa pembekuan aset, larangan masuk UE, larangan menyediakan dana atau sumber daya ekonomi bagi mereka yang masuk daftar UE. Selain itu, ada juga larangan ekspor sejumlah peralatan ke Iran yang berpotensi digunakan untuk represi internal dan memantau telekomunikasi.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W Kamdani, Selasa, berpendapat, lantaran embargo tersebut, Indonesia justru memiliki potensi dagang yang besar dengan Iran. Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang bisa mempertahankan relasi politik dan ekonomi dengan Iran tanpa ada retaliasi apa pun dari negara lain.
Indonesia juga tidak punya kewajiban internasional untuk ikut mengembargo atau bahkan mempertahankan embargo sejumlah negara lain atas Iran. ”Jadi, sah-sah saja jika Indonesia berdagang dengan Iran selama tidak menggunakan instrumen-instrumen yang saat ini terkena embargo, seperti mekanisme transaksi pembayaran internasional atau SWIFT yang dikuasai AS atau negara lain yang mengembargo Iran,” katanya ketika dihubungi di Jakarta.
Menurut Shinta, potensi dagang RI-Iran juga relatif terbatas karena tingkat komplementer produk Indonesia dan Iran sangat tinggi. Artinya, Indonesia tidak memproduksi produk-produk yang diproduksi Iran, begitupun sebaliknya. Ini membuat tingkat kompetisi dagang secara intrinsik lebih rendah, termasuk kompetisi dengan produk asing lain di pasar Iran.
Meskipun begitu, Shinta menambahkan, risiko dagang atau ekonomi dengan Iran tetap masih tinggi, terutama terkait logistik dan transaksi finansial. Selama ini, Indonesia masih mengandalkan infrastruktur perdagangan tersebut yang dikelola negara lain.
”Kurangnya daya dukung infrastruktur perdagangan itu akan menyebabkan risiko perdagangan dan beban asuransi perdagangan menjadi tinggi sehingga perdagangan dengan Iran akan menjadi mahal dan kurang menarik bagi eksportir-eksportir skala kecil dan menengah,” katanya.
Risiko dagang atau ekonomi dengan Iran tetap masih tinggi, terutama terkait logistik dan transaksi finansial. Kurangnya daya dukung infrastruktur perdagangan itu akan menyebabkan biaya perdagangan menjadi tinggi dan kurang menarik bagi eksportir-eksportir skala kecil dan menengah.
Namun, untuk risiko politik, lanjut Shinta, diperkirakan akan relatif rendah asal Indonesia tidak berdagang atau membantu perdagangan Iran yang terkait dengan embargo negara lain. Risiko itu akan semakin rendah jika Indonesia tidak menggunakan infrastruktur perdagangan yang dikuasai oleh negara-negara pengembargo Iran.
Direktur Next Policy yang juga pengamat perdagangan internasional Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan, Iran tetap dapat menjadi mitra dagang potensial bagi Indonesia. Dengan PTA, Indonesia dapat meningkatkan ekspor tidak hanya ke Iran, tetapi ke negara-negara di kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah.
Risiko ekonomi dan politik Indonesia yang semakin intensif bekerja sama dengan Iran yang tengah diembargo sejumlah negara juga relatif kecil. Hal itu terutama disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, embargo terhadap Iran sudah bukan lagi embargo internasional, tetapi dilakukan oleh sejumlah negara, seperti AS dan negara-negara anggota UE.
Embargo terhadap Iran sudah bukan lagi embargo internasional, tetapi dilakukan oleh sejumlah negara seperti AS dan negara-negara anggota UE.
Kedua, dalam strata perjanjian dagang, PTA berada di level rendah karena hanya memberikan perlakuan khusus terhadap sejumlah produk potensial. Perjanjian tersebut masih di bawah level perjanjian perdagangan bebas (FTA) dan perjanjian ekonomi komprehensif (CEPA).
”Ketiga, di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, citra Indonesia di kancah internasional sangat positif. Dengan gaya diplomasinya yang khas, Jokowi pandai merangkul berbagai negara dan lembaga internasional,” katanya.
Hal itu, tambah Faisal, terlihat baik dalam berbagai acara internasional maupun bilateral. Indonesia mampu merangkul Rusia dan Ukraina yang tengah berkonflik. Indonesia juga mampu menjaga relasi bilateral dengan Iran sejak 1950 kendati negara tersebut kerap diberi sanksi oleh berbagai negara sejak 1979. (REUTERS)