Industri Belum Pulih Benar, Inovasi Bisa Bangkitkan Perbukuan
Kendati belum benar-benar pulih akibat tekanan pandemi Covid-19, industri perbukuan berpeluang bangkit melalui inovasi. Aspek konten, teknologi, dan komunitas pembaca penting untuk mengembangkan industri perbukuan.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri perbukuan dinilai belum benar-benar pulih kendati pandemi Covid-19 telah mereda. Namun, selain memberikan penekanan gerak usaha penerbitan buku, pandemi juga menjadi momentum bagi industri perbukuan untuk berinovasi. Mereka yang berinovasi terbukti mampu bertahan dan bahkan tumbuh lagi.
Hasil survei terhadap industri penerbitan buku di Indonesia oleh Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) menunjukkan, sedikitnya 58,2 persen penerbit mengalami penurunan penjualan lebih dari 50 persen akibat pandemi Covid-19. Selain itu, sebanyak 63,3 persen penerbit juga mengalami penurunan permintaan buku lebih dari 50 persen.
Selain penurunan penjualan, riset itu juga menemukan penurunan produktivitas karyawan seiring kebijakan bekerja dari rumah, penurunan surat pesanan dan permintaan buku, serta peningkatan pelanggaran hak cipta di tengah pandemi. Situasi itu berdampak pada kelangsungan usaha penerbitan.
Education and Publishing Manager Harian Kompas Patricius Cahanar berpendapat, secara keseluruhan, industri perbukuan masih belum pulih akibat dampak pandemi Covid-19. Namun, ada beberapa penerbit yang mulai bangkit dan pulih pada tahun 2021.
”Industrinya secara umum masih belum kembali normal. Ini seperti seleksi alam, penerbit yang bisa memilih judul-judul secara tepat dapat survive dan berkembang. Lalu, toko buku yang bisa efisien dan memiliki kreativitas dapat bertahan,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Senin (22/5/2023).
Penerbit Buku Kompas (PBK) menjadi salah satu pelaku usaha dalam industri perbukuan yang mampu kembali pulih akibat pandemi Covid-19. Patricius menyebut, selama dua tahun terakhir, hasil penjualan buku PBK meningkat lebih dari 10 persen.
Menurut Patricius, terdapat tiga aspek penting dalam mengembangkan industri perbukuan di tengah era disrupsi digital, yakni konten, teknologi, dan komunitas pembaca. Dalam hal konten, penerbit harus mencari tema-tema yang yang tengah diminati dan dibutuhkan oleh masyarakat.
”Dari segi teknologi, kami menyesuaikan dengan menerbitkan dua versi buku, yakni cetak dan digital. Namun, pendapatan dari digital belum bisa menggantikan cetak. Teknologi tidak hanya soal teknik produksi, tetapi mencakup promosi melalui website dan media sosial untuk menjangkau pembaca baru,” ujarnya.
Selain itu, peran komunitas pembaca juga turut berpengaruh dalam penjualan buku. Oleh sebab itu, penerbit harus menjaga komunitas-komunitas yang sejak awal menyukai buku-buku yang diterbitkannya.
General Manager PT Elex Media Komputindo Wahyu Raharjo menyebutkan, tingkat pemulihan toko dan penerbit Gramedia masih berada di rentang 70 persen sampai 80 persen dibandingkan dengan tahun 2019. Walakin, dari segi jumlah toko, hampir tidak ada perubahan.
”Meski belum pulih sepenuhnya, kami optimistis semuanya akan pulih pada tahun ini. Memang ada beberapa toko yang tutup setelah pandemi, tapi kami juga membuka toko baru sehingga jumlah toko tidak menurun, yakni tetap 120 toko,” kata Wahyu.
Menurut Wahyu, pandemi menjadi momentum bagi Gramedia untuk memperbaiki diri. Salah satunya dengan mengembangkan fitur pesan, bayar, dan antar untuk mempermudah konsumen membeli buku.
Sekarang toko buku sebaiknya menaruh perhatian kepada pembaca atau masyarakat. Walaupun ’e-book’ semakin berkembang, pengalaman membaca buku konvensional masih lebih tinggi. ’E-book’ hanya memudahkan sehingga toko buku tetap megoptimalkan kedua versi buku tersebut.
Wahyu menambahkan, penerbit Gramedia juga menemukan arah baru penerbitan, yakni menjadi penerbit konten. Hal itu dilakukan dengan alih wahana melalui berbagai kegiatan, seperti pelatihan, event, merchandise, dan film.
Sementara itu, PT Gunung Agung Tiga Belas atau Toko Buku Gunung Agung yang berdiri sejak tahun 1953 berencana menutup semua toko/outlet-nya pada akhir 2023. Selain akibat terdampak pandemi, keputusan itu diambil lantaran beban biaya operasional yang tidak sebanding dengan pencapaian penjualan usaha setiap tahunnya.
”Keputusan ini harus kami ambil karena kami tidak dapat bertahan dengan tambahan kerugian operasional per bulannya yang semakin besar. Dalam pelaksanaan penutupan toko/outlet sejak 2020 sampai dengan 2023, kami melakukannya secara bertahap dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tulis Direksi PT Gunung Agung Tiga Belas dalam keterangan resmi, Sabtu (20/5/2023).
Berdasarkan Laporan Hasil Riset Perbukuan Indonesia tahun 2020 Ikapi, jumlah judul buku yang diterbitkan oleh penerbit di Indonesia rata-rata masih sangat sedikit, yakni di bawah 50 judul per tahun dengan selisih yang cukup lebar antara penerbit besar dan kecil. Sebagai contoh, PT Gramedia menerbitkan 4.000 judul per tahun, sedangkan ada penerbit yang hanya menerbitkan di bawah 10 judul buku setiap tahunnya.
Di sisi lain, jumlah penerbit yang menerbitkan versi digital terus bertumbuh secara signifikan. Namun, penjualan penerbit selama tiga tahun sejak tahun 2017 masih terhitung fluktuatif dan cenderung menurun. Hal ini menandakan adanya dampak dari bacaan yang tersedia secara digital.
Menanggapi hal itu, pengajar Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Negeri Padang, Yona Primadesi, menyampaikan, pandemi Covid-19 tidak begitu berpengaruh terhadap kondisi industri perbukuan. Namun, adanya perubahan pola masyarakat yang kini cenderung lebih mudah mengakses buku menggunakan peralatan teknologi membuat toko buku fisik harus beradaptasi.
”Justru, saat pandemi penjualan buku meningkat karena orang jadi dimudahkan. Saat ada pembatasan, mereka membutuhkan aktivitas, salah satunya membaca,” katanya.
Menurut Yona, sudah saatnya toko buku tidak hanya menjual buku, tetapi turut membangun ikatan di antara pembacanya. Upaya untuk menjalin hubungan dengan pembaca dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan, seperti mendatangkan penulis buku dan forum diskusi mengenai buku.
Sebagai media distribusi, lanjut Yona, toko buku perlu mengikuti pola konsumsi masyarakat. Meski buku elektronik kini terus bertumbuh, buku konvensional juga tetap diminati oleh masyarakat.
”Sekarang, toko buku sebaiknya menaruh perhatian kepada pembaca atau masyarakat. Walaupun e-book semakin berkembang, pengalaman membaca buku konvensional masih lebih tinggi. E-book hanya memudahkan sehingga toko buku tetap megoptimalkan kedua versi buku tersebut,” ujar Yona yang juga aktif sebagai pelaku usaha di penerbitan, yakni Penerbit Gorga.
Selain itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, menjelaskan, salah satu faktor yang membuat industri perbukuan goyah adalah mahalnya biaya produksi sebuah buku. Di sisi lain, adanya pandemi turut mendorong masyarakat untuk memanfaatkan platform digital, seperti e-book.
Oleh sebab itu, para pelaku industri perbukuan sebaiknya mulai beradaptasi dengan teknologi yang ada. Salah satunya dengan membuat forum diskusi secara daring untuk menjangkau pembaca secara luas.
”Media sosial juga bisa menjadi media pemasaran yang strategis, misalnya membuat konten mengenai sinopsis buku. Selain itu, bisa juga memanfaatkan influencer untuk mempromosikan buku,” ujarnya.