Pemerintah Dorong Usaha Mikro dan Kecil Naik Kelas
UMKM mampu menyerap 97 persen tenaga kerja dan memberikan sumbangsih yang besar pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Walakin, UMKM harus naik kelas agar Indonesia dapat menjadi negara maju.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Melalui program inkubasi, pemerintah mendorong para pelaku usaha mikro dan kecil dapat naik kelas. Program tersebut juga diharapkan dapat melahirkan wirausaha hingga mencapai rasio 4 persen terhadap jumlah penduduk pada 2024.
Saat ini, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih didominasi para pelaku usaha mikro. Dari total 64,2 juta pelaku UMKM, 99,6 persen merupakan pelaku usaha mikro.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop dan UKM) Teten Masduki memaparkan, inkubasi atau pendampingan secara terus-menerus dapat memperkuat pelaku UMKM. Dengan inkubasi tersebut, para pelaku UMKM dapat meningkatkan skala ekonomi dan mengembangkan inovasi produk.
”Saat ini, UMKM sudah cukup tangguh. Namun, mereka masih terperangkap dalam skala yang kecil. Oleh sebab itu, pengembangan UMKM harus dilakukan dengan pendampingan-pendampingan,” katanya dalam acara Kick-off Pendampingan Mikro Mandiri 2023 di Gedung Kemenkop dan UKM, Jakarta, Jumat (19/5/2023).
Program inkubasi tersebut diberikan kepada 300 pelaku usaha terseleksi dari total 7.390 pelaku usaha mikro yang telah mengikuti pelatihan pada tahun 2021 dan 2022. Selama enam bulan ke depan, para pelaku usaha tersebut akan dilatih mulai dari cara membuat produk, memasarkan, hingga mengakses pendanaan.
Selain dengan inkubasi, para pelaku UMKM juga didorong untuk memanfaatkan potensi sumber daya di Indonesia. Menurut Teten, Indonesia memiliki sumber daya yang cukup besar, baik di sektor kelautan maupun sektor pengolahan hasil perkebunan.
Namun, kekayaan alam tersebut belum cukup optimal dimanfaatkan oleh para pelaku usaha. Padahal, produk olahan laut dan perkebunan, seperti rumput laut, ikan, dan minyak sawit mintah (CPO), memiliki permintaan yang tinggi di dunia.
Teten menjelaskan, UMKM juga harus mulai terhubung dengan rantai pasok industri. Namun, saat ini tercatat baru 4,1 persen UMKM yang masuk ke dalam rantai pasok.
Wirausaha
Salah satu indikator agar Indonesia dapat menjadi negara maju adalah dengan meningkatkan persentase sektor wirausahanya. Sementara saat ini tercatat baru 3,47 persen wirausaha dari total penduduk Indonesia.
Untuk memberikan pembiayaan 30 sampai 50 persen dari perbankan akan sulit selama UMKM bergerak di sektor mandiri dan tidak menjadi bagian industrialisasi. Ini karena tidak ada jaminan pada pasar dan tidak terhubung dengan offtaker sehingga ada risiko NPL ( nonperforming loan) atau kredit macet.
”Pelaku UMKM ini harus dinaikkan levelnya lewat pendekatan inkubasi. Selama ini, mayoritas UMKM bergerak di sektor kuliner, seperti keripik, seblak, dodol, dan wajik, itu-itu saja. Kita harus melahirkan produk-produk baru yang inovatif, misalnya dengan menghubungkan pelaku usaha sayur dan buah-buahan ke supermarket modern," tutur Teten.
Deputi Bidang Usaha Mikro Kemenkop dan UKM Yulius menyampaikan, program-program pelatihan sudah mulai ditinggalkan karena tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Oleh sebab itu, program inkubasi dilakukan agar dapat mendampingi para pelaku usaha secara penuh (end to end).
Teten menambahkan, pembiayaan UMKM melalui penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) baru sekitar 20 persen. Pada tahun 2024, pemerintah menargetkan porsi penyaluran kredit UMKM perbankan bisa mencapai 30 persen.
”Di negara-negara lain, UMKM yang masuk rantai pasok mendapatkan 60 hingga 80 persen pendanaan dari perbankan. Di Indonesia, untuk memberikan pembiayaan 30 sampai 50 persen dari perbankan sulit selama UMKM bergerak di sektor mandiri dan tidak menjadi bagian industrialisasi. Ini karena tidak ada jaminan pada pasar dan tidak terhubung dengan offtaker sehingga ada risiko NPL (nonperforming loan) atau kredit macet,” ujarnya.
Secara terpisah, Program Director Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyebutkan, kemampuan (skill) dari sumber daya manusia masih menjadi kendala dalam pengembangan UMKM. Hal ini mengakibatkan produk UMKM cenderung ala kadarnya dan hanya menyasar pasar domestik lantaran minimnya inovasi dan penguasaan teknologi sehingga produk tidak berstandar internasional.
Selain itu, keterbatasan modal juga menjadi permasalahan di sektor UMKM. Para pelaku UMKM cenderung mengandalkan modal dari sumber pendanaan informal, seperti teman atau keluarga.
”Di sisi lain, akses kredit ke sumber pendanaan formal masih terbatas karena terbatasnya kolateral (agunan) dan laporan keuangan yang tidak rapi, serta tidak layak untuk mengajukan kredit ke bank. Kemudian, keterbatasan akses pasar karena tingkat pengetahuan dan kemampuan marketing lewat pasar online yang masih minim juga menjadi tantangan para pelaku UMKM,” kata Sri Astuti saat dihubungi dari Jakarta.