”Kota Dollar” adalah julukan yang disematkan kepada Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, beberapa dekade lalu. Itu lantaran kawasan ini tersohor sebagai sentra produk tekstil yang membuana.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA, MEDIANA
·4 menit baca
Beberapa dekade lalu, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, pernah tersohor sebagai sentra produsen tekstil di Tanah Air. Produksi tekstil dari kawasan ini tak hanya terkenal hingga ke seluruh penjuru Tanah Air, tetapi juga menembus pasar dunia. Saking melimpahnya permintaan dan omzet, kawasan ini bahkan sempat dijuluki ”Kota Dollar”. Namun, kini semua itu tinggal kenangan.
Berdasarkan pengamatan Kompas beberapa pekan sebelum Lebaran 2023, lalu lintas di Jalan Rancajigang, Majalaya, Kabupaten Bandung, lengang. Padahal, di ruas jalan sepanjang sekitar 3,4 kilometer itu terdapat setidaknya lima pabrik tekstil produk tekstil (TPT). Semestinya, jalan dengan lebar sekitar 7 meter itu dipadati kesibukan hilir mudik truk pengangkut barang ataupun kendaraan pribadi pekerja pabrik.
Kondisi serupa juga tampak di dalam pabrik, yang minim aktivitas. Hanya sebagian mesin pabrik yang dioperasikan, selebihnya dalam kondisi mati. Lorong pabrik pun sebagian gelap dan ”dingin” karena penerangan dimatikan. Lampu hanya dinyalakan untuk membantu pekerja di bagian mesin yang dipakai produksi.
”Bukannya rusak, tetapi memang tak beroperasi karena sedang sepi order,” kata seorang pimpinan perusahaan tekstil tersebut, yang enggan disebut namanya.
Padahal, saat itu sedang menjelang Lebaran. Sebelum-sebelumnya, kegiatan di pabrik yang memproduksi kain motif untuk garmen ini selalu luar biasa sibuk menjelang Lebaran. Bahkan, para karyawan harus lembur. Semua mesin bekerja siang dan malam dengan kapasitas maksimal 100 persen. Bahkan, kesibukan itu biasanya sudah terjadi mulai 3-6 bulan sebelum Lebaran. Kini, utilitas produksi pabrik tersebut tidak sampai 60 persen.
”Tiga puluh tahun saya berkecimpung di industri ini, rasanya baru kali ini mau Lebaran, tetapi sepi produksi,” ujarnya.
Ia meminta agar identitas dan nama perusahaannya tidak disebutkan lantaran khawatir kepercayaan pemasok, perbankan, dan calon pembeli bakal makin tergerus dengan situasi yang tengah dihadapinya.
Kondisi serupa juga dialami pengusaha lain di Majalaya. Asep (bukan nama sebenarnya) juga mengeluhkan masa menjelang Lebaran tahun 2023 ini yang sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Alih-alih memproduksi kain baru, stok kain lama masih ada sebanyak 40.000 meter dari 120.000 meter yang diproduksi 1,5 tahun sebelumnya. Stok itu belum habis terjual.
Asep yang telah berkecimpung di dunia tekstil dan produk tekstil (TPT) sejak 1973 ini mengeluhkan, baru kali ini dia merasa begitu kesulitan. Pabriknya pernah kebanjiran hingga merendam mesin dan barang produksinya. Tak hanya itu, pabriknya pun pernah terbakar rata tanah sehingga rugi miliaran rupiah. Namun, ia masih bisa bertahan.
Semua tantangan itu, menurut Asep, tidak sesulit saat ini. Sebab, dia masih tetap berjualan lantaran pasar dalam negeri masih besar, begitu pula dengan pasar ekspor. Semua ini membuat kerugian yang diterimanya bisa dengan cepat tertutupi.
Namun, saat ini, dia betul-betul tidak bisa berjualan lantaran pasar dalam negeri dibanjiri oleh produk impor, baik yang didatangkan secara resmi maupun ilegal. Tak hanya jumlahnya yang berjejalan memenuhi pasar, harga produk impor pun lebih murah ketimbang produk dalam negeri.
Sementara itu, permintaan dari pasar ekspor belum kembali pulih. Ini lantaran negara tujuan ekspor masih mengalami perlambatan ekonomi pascapandemi serta dampak dari perang Rusia dan Ukraina.
”Bertahun-tahun, berbagai tantangan bisa kami lewati karena kami yakin tekstil itu adalah kebutuhan pokok manusia. Jadi, pasti bisa kami jualan. Namun, kalau sekarang, mau jualan saja susah. Bagaimana kami bisa bertahan?” tutur Asep.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Majalaya Aep Hendar membenarkan adanya kondisi itu. Rata-rata pengusaha tekstil di Majalaya kini mengalami penurunan permintaan yang drastis.
Ia mengatakan, saat ini ada sekitar 200 pabrik berskala industri kecil menengah di kawasan Majalaya. Jumlah itu terus menyusut beberapa tahun terakhir lantaran banyak pabrik kecil yang kesulitan keuangan.
Dulu, pabrik-pabrik di Majalaya memproduksi berbagai jenis TPT, mulai dari pakaian, celana, jaket, sarung, handuk, sprei, sorban, gamis, hingga kaus kaki. Penjualan Majalaya pun pernah mencapai puncaknya, tak hanya ke seluruh penjuru Tanah Air, tetapi juga membuana lewat ekspor ke Asia Tenggara, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat.
Tiap pabrik rata-rata mempekerjakan 50-100 orang. Namun, saat ini jumlahnya terus menurun karena banyak pabrik yang harus melakukan efisiensi produksi dengan mengurangi jumlah hari produksi.
”Sudah lunturlah predikat Kota Dollar di Majalaya. Sekarang, jangankan panen foya-foya dollar AS, kami setengah mati menjaga agar pabrik ini bisa bertahan saja sudah bagus,” ujar Aep.
Kenangan
Dekade 80-90-an adalah masa keemasan Majalaya. Untuk memenuhi permintaan Lebaran, pabrik sudah sibuk sejak 6 bulan sebelumnya. Para pekerja lembur siang hingga malam. Antrean truk yang membawa barang mengular di sepanjang jalan Majalaya.
Kala itu, sangat mudah menjual tekstil. Permintaan terus-menerus datang setiap hari silih berganti. Pasar dalam negeri tak pernah kekurangan permintaan.
Menembus pasar ekspor pun bukan perkara sulit. Apalagi, pascagejolak moneter 1998, saat nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah berkali lipat. Dengan volume ekspor yang sama, para eksportir TPT Majalaya ini menikmati pendapatan berlipat.
”Kalau dulu Majalaya dijuluki Kota Dollar, ya, memang tidak berlebihan. Duitnya pengusaha tekstil itu dulu memang banyak,” ujar Aep.
Saking terkenal akan kemakmurannya, zaman dulu banyak orang yang berbondong-bondong ingin anaknya menikahi pengusaha TPT. Namun, saat ini, lanjut mereka, banyak orang justru khawatir menikahi pengusaha TPT karena industri ini terus terpuruk.
Fenomena menurunnya industri TPT mulai terasa di periode 2000-an. Saat itu negara-negara lain juga mulai kencang mengembangkan TPT-nya. Produk impor pun mulai merembes ke dalam negeri. Di sisi lain, berbagai ongkos produksi terus mendaki, mulai dari kenaikan upah, harga listrik, hingga bahan baku. Margin keuntungan pun kian menipis, industri ini pun perlahan, tetapi pasti, kian meredup.
Karena itu, perlu perlindungan pasar dalam negeri dari serbuan kain impor. Selain itu, pemerintah perlu membantu membuka hubungan dengan negara-negara baru tujuan ekspor saat negara-negara tradisional tujuan ekspor sedang lesu. Mereka pun berharap diberikan insentif yang bisa memperkuat daya saing TPT.
”Kami tentu ingin Majalaya dan TPT dalam negeri kembali berjaya seperti dulu,” ujar Aep.