Mending Jadi ”Trader” Tekstil daripada Punya Pabrik…
Penjualan lesu yang dibarengi kenaikan ongkos produksi memusingkan pemilik pabrik tekstil. Terkadang, lebih mudah menutup pabrik dan beralih jadi ”trader”. Namun, industriawan tulen justru tetap bertahan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA, MEDIANA
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pemilik dan Direktur PT Bentara Sinarprima Kwee Liang Cing mengecek kain yang diproduksi mesin tekstilnya di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (29/3/2023). Pabrik yang berdiri sejak tahun 1996 ini memproduksi kain untuk mode dan kain seprai untuk memenuhi pasar domestik.
Pemilik pabrik tekstil dan produk tekstil kini sedang pusing tujuh keliling. Mereka tertekan dari berbagai sisi, baik dari sisi penjualan yang lesu maupun ongkos produksi yang terus menanjak. Di sisi lain, mereka tetap harus berusaha menjaga keberlangsungan pabriknya karena banyak nasib karyawan yang bergantung kepadanya. Terkadang mereka berpikir, lebih baik menutup pabriknya dan menjadi pedagang saja....
”Semua pemilik pabrik tekstil hari ini saya yakin sedang pusing,” ujar pemilik dan Direktur PT Bentara Sinarprima Kwee Liang Cing ditemui di pabriknya di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, awal April lalu.
Pria berusia 71 tahun yang lebih akrab dipanggil Lilik ini mengatakan, industri tekstil hari ini diimpit tekanan dari sejumlah pihak. Dari segi penjualan, saat ini produknya sulit terjual. Pasar dalam negeri sedang dijejali produk impor, baik legal maupun ilegal.
Perusahaannya menjual kain seprai dengan banderol harga Rp 14.500 per meter. Namun, produk impor bisa menjual Rp 1.000-Rp 2.000 lebih murah. Tak hanya lebih murah, jumlah produk impor serupa jumlahnya membanjiri pasar. Ini membuat produk Lilik sulit laku.
Lilik mengatakan, harga jual produknya sulit turun lagi karena ongkos produksi yang kian naik. Ia memberi ilustrasi upah pekerja yang tiap tahun selalu naik sehingga membuat komponen upah dalam struktur ongkos mencapai 20 persen.
Harga bahan baku produksi, yakni kain, juga terus naik. Mereka harus impor karena industri kain dalam negeri belum bisa memasok kain yang kualitasnya sesuai dengan kriteria. Bahan baku kain mencapai 30-35 persen dari struktur ongkos produksi.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja pabrik tekstil PT Bentara Sinarprima di Dayeukolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, mengecek kain yang diproduksi, Rabu (29/3/2023). Pabrik yang berdiri sejak tahun 1996 ini memproduksi kain untuk mode dan kain seprai untuk memenuhi pasar domestik.
Ongkos lainnya, yakni batubara, untuk keperluan penguapan dalam proses produksi juga berfluktuasi. Biaya batubara bisa mencapai 20-25 persen dari ongkos produksi.
Adapun biaya lainnya adalah obat pewarna atau celup yang berkisar 14-15 persen dari ongkos produksi. Ini digunakan untuk memberi warna pada kain seprai yang akan diproduksi. Sisanya biaya listrik 7-8 persen dari total struktur ongkos produksi.
”Kalau kondisinya begini, kan, mending jadi trader tekstil daripada punya pabrik,” ujarnya.
Lilik mengatakan, hal itu sudah dilakukan beberapa koleganya. Ia bercerita, ada beberapa temannya yang sebelumnya pemilik pabrik tekstil akhirnya menutup pabriknya dan beralih jadi trader atau importir tekstil.
Sebab, menurut koleganya itu, seperti ditirukan Lilik, menjadi trader lebih mudah karena hanya tinggal impor dan berjualan saja. Sudah begitu, untungnya lebih besar. Itu tentu lebih enak ketimbang menjadi pemilik pabrik yang harus repot mengurus urusan bahan baku, produksi, pengolahan limbah, hingga ketenagakerjaan.
Bertahan
Namun, Lilik enggan menyerah begitu saja. Dia memilih tetap mempertahankan pabriknya dengan segenap kemampuan yang bisa dia lakukan. Pertimbangannya tak lain adalah para karyawannya. Saat ini masih ada 260 karyawan yang masih bertahan di perusahaannya.
Selain itu, Lilik yang sudah berkecimpung di dunia tekstil sejak 1971 ini mengatakan, tidak ada masalah yang tak ada solusinya. Menurut dia, sikap ulet dan pantang menyerah akan membuat seseorang menjadi industriawan sejati.
”Industriawan yang sesungguhnya pasti bertahan. Memikirkan bagaimana caranya keluar dari persoalan dan tetap berupaya memberikan nilai lebih kepada masyarakat. Pola pikir ini yang tetap saya pegang,” ujar Lilik.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Aktivitas produksi garmen PT Pan Brothers Tbk di Kota Tangerang, Banten, Senin (27/3/2023). Dengan jumlah pekerja sebanyak 30.000 orang, Pan Brothers mempunyai kapasitas produksi mencapai 117 juta potong garmen setara kaus polo per tahun. Dari jumlah tersebut, 97 persen untuk memenuhi pangsa ekspor.
Hal senada dikemukakan oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nurdin Setiawan. Ia mengatakan, sesulit apa pun kondisinya, seorang industriawan akan tetap berusaha bertahan.
Industriawan sudah terbiasa ulet dan memikirkan jalan keluar dari berbagai persoalan. Selain itu, industriawan terbiasa memikirkan dampak yang lebih besar dari kehadiran pabriknya, baik kepada masyarakat maupun industri keseluruhan.
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, saat dihubungi pertengahan April lalu, berpendapat, kondisi daya saing industri padat karya, seperti tekstil produk tekstil (TPT) dan alas kaki di Indonesia, dipengaruhi oleh siapa kompetitor yang bermain di pasar domestik ataupun pasar luar negeri. Untuk industri padat karya berorientasi ekspor, mereka memang amat tergantung dari brand. Situasi yang dialami oleh brand di tingkat global akan memengaruhi pesanan yang harus mereka produksi.
”Belum lagi, mereka harus berhadapan dengan produsen TPT dan alas kaki dari negara lain yang mungkin punya cara produksi lebih efisien dan canggih,” ujarnya.
Sebagai sektor industri yang padat karya karena bisa menyerap banyak tenaga kerja, mesti ada solusi nyata dari pemerintah. Misalnya, pemerintah mulai menghitung biaya produksi yang dikeluarkan oleh para perusahaan padat karya dengan perusahaan sejenis di negara lain. Lalu, pemerintah keluarkan insentif fiskal dan nonfiskal terkait energi, peralatan, sampai ketenagakerjaan.
”Serbuan impor (baik legal maupun ilegal) memang bukan faktor utama menekan pelaku industri TPT dan alas kaki, tetapi serbuan impor berpengaruh signifikan. Kami mengamati, pemerintah membuat biaya impor mahal untuk pelaku di hulu, sedangkan di hilir dibuat biaya impor yang murah,” kata Ahmad.