Rasio Pajak Masih Rendah, Upaya Mencegah Kebocoran Diperkuat
Rasio pajak Indonesia cenderung terus turun, tidak seimbang dengankinerja perekonomian yang bertumbuh. Ini terjadi karena rendahnya tingkat pemungutan pajak dan banyaknya kebocoran pajak.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Rasio pajak Indonesia termasuk yang paling rendah di antara negara-negara Asia Tenggara. Upaya reformasi serta penguatan kerja sama perpajakan internasional terus dipacu untuk mencegah kebocoran, meningkatkan pemasukan pajak, dan menopang pemulihan ekonomi.
Menurut data Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada tahun 2022, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) di negara-negara Asia Tenggara terhitung rendah, yakni sebesar 13,6 persen. Kondisi itu di bawah level rata-rata rasio pajak di kawasan Asia Pasifik sebesar 17,6 persen.
Posisi Indonesia juga masih jauh dari ideal. Di ASEAN, Indonesia menduduki golongan terendah bersama Laos dengan rasio pajak 10,4 persen pada tahun lalu. Meski naik dari tahun 2020 (8,33 persen) dan 2021 (9,12 persen), angka itu tetap terhitung rendah di bawah rata-rata kawasan.
Adapun negara ASEAN yang rasio pajaknya tercatat melampaui level ideal adalah Kamboja (20,2 persen), Vietnam (15,8 persen), Thailand (15,5 persen), dan Filipina (15 persen).
Menurut Direktur Southeast Asia for Public Management, Financial Sector and Trade di Bank Pembangunan Asia (ADB) Jose Antonio Ramos Tan, Rabu (3/5/2023), negara-negara berkembang seperti Indonesia dan mayoritas negara ASEAN seharusnya memiliki rasio pajak minimal 15 persen.
“Itu untuk memastikan mereka punya uang yang cukup untuk mengantisipasi ketidakpastian global dan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Sayangnya, tren itu belakangan terus menurun di kawasan,” katanya dalam acara Asia Pacific Tax Forum (APTF) yang digelar oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta.
Rasio pajak (tax ratio) terhadap PDB adalah perbandingan antara penerimaan pajak secara kolektif dengan PDB pada periode yang sama. Secara umum, rasio pajak merepresentasikan kinerja pajak dan perekonomian suatu negara.
Di ASEAN, Indonesia menduduki golongan terendah bersama Laos dengan rasio pajak 10,4 persen pada tahun lalu.
Mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, dalam satu dasawarsa terakhir, rasio pajak Indonesia cenderung terus menurun, tidak seimbang dengan kinerja PDB yang trennya meningkat. Menurutnya, hal itu terjadi karena rendahnya tingkat pemungutan pajak dan banyaknya kasus kebocoran pajak.
Berbagai langkah reformasi pajak yang dilakukan pemerintah beberapa tahun terakhir ini untuk memperluas basis pajak pun belum berdampak pada peningkatan rasio pajak. “Kita memungut pajak lebih kecil dari seharusnya karena ada loophole besar dalam sistem pajak internasional melalui base erotion profit shifting (BEPS),” ujar dia.
BEPS adalah praktik usaha yang kerap dilakukan perusahaan multinasional melalui memindahkan profit usahanya (transfer pricing) ke negara dengan kebijakan tarif pajak rendah atau nihil (surga pajak) untuk menekan biaya pajak yang harus dibayar. Akhirnya, terjadi kebocoran penerimaan pajak dan rasio pajak tetap rendah meski ekonomi bertumbuh.
“Inilah mengapa sektor besar seperti perusahaan sawit bisa mencatat profit yang rendah dengan kontribusi pajak yang rendah di sini. Tetapi, di negara-negara surga pajak itu, mereka mencatat profit besar,” katanya.
Penguatan
Bambang mengatakan, salah satu cara untuk mengurangi kebocoran pajak tersebut dan meningkatkan rasio pajak adalah melalui perjanjian pertukaran informasi keuangan atau automatix exchange of information (AEoI). Implementasinya sudah dilakukan sejak 2018, tetapi belum optimal.
Penguatan kerja sama untuk menegakkan isu pajak internasional ini yang perlu ditingkatkan untuk memperbaiki rasio pajak Indonesia dan negara berkembang lainnya.
“AEoI adalah satu terobosan sistem yang baik, tapi urusan implementasinya adalah masalah lain lagi. Banyak negara yang sudah menandatangani komitmen tapi enggan menegakkannya. Ketika pemerintah kita mengirim surat untuk meminta AEoI, ada banyak syarat tambahan yang perlu dipenuhi,” kata Bambang.
Senada, Direktur Pajak Internasional di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Mekar Satria Utama mengatakan, AEoI sudah mulai diimplementasikan meski informasinya tetap terbatas. Saat ini, Indonesia sudah bisa mendapat informasi transaksi keuangan dari 87 negara atau yurisdiksi.
“Ini sangat menguntungkan untuk kita, program tax amnesty yang kita lakukan di 2016 terhitung sukses karena AEoI yang kita terima dari negara lain. Kita sekarang juga menerima informasi perbankan lebih lancar terkait transaksi korporasi kita di negara lain. Meski masih terbatas informasinya, tapi sudah ada landasannya,” katanya.
AEoI adalah satu terobosan sistem yang baik, tapi urusan implementasinya adalah masalah lain lagi.
Melalui keketuaan tahun ini, Indonesia dan negara-negara ASEAN sepakat melakukan peningkatan kapasitas untuk mendorong penguatan pertukaran informasi keuangan serta mempersiapkan implementasi Solusi Dua Pilar dalam proyek BEPS Action Plan. Proyek itu rencananya berlaku mulai tahun depan.
Melalui Pilar 1 yang bersifat wajib, negara yang menjadi pasar atas transaksi barang dan jasa digital bisa memungut pajak atas penghasilan yang diperoleh perusahaan multinasional tertentu, meski korporasi itu tidak memiliki kehadiran fisik di negara bersangkutan.
Sementara, dengan Pilar 2, perusahaan multinasional harus membayar tarif pajak minimum di semua negara tempatnya beroperasi. Namun, ini berupa pilihan yang tidak bersifat wajib.
Mekar mengatakan, Pilar 2 lebih memungkinkan untuk diterapkan karena aturan dasarnya sudah disepakati. Namun, untuk Pilar 1 masih terus dibahas. Indonesia sendiri sudah siap untuk mengadopsi Solusi Dua Pilar itu.
“Secara prinsip sebenarnya sudah ada kesepakatan, tinggal teknis mekanismenya mau seperti apa, itu yang masih jadi perdebatan dan kita masih menunggu konsensusnya, mau seperti apa pemajakan di sektor ekonomi digital ini,” katanya.