Tantangan Memacu Penerimaan Negara
Penerimaan pajak tinggi akan percuma bila belanja negara masih ”business as usual” tanpa ada langkah inovatif dalam upaya imbal hasil balik pada penerimaan pajak. Silpa yang masih tinggi harus dievaluasi dan diperbaiki.
Pandemi Covid-19 kini menjadi krisis multidimensi: krisis kesehatan, ekonomi, sosial, hingga politik. Perlambatan ekonomi global berimplikasi serius pada penerimaan pajak negara, di saat anggaran belanja negara harus digenjot untuk meredam dampak krisis.
Upaya pemerintah dalam kebijakan counter cyclical economy berefek bumerang pada makin besarnya defisit fiskal. Besar pasak daripada tiang. Counter cyclical merupakan pendekatan sebaliknya, dalam arti mengurangi pengeluaran dan menaikkan pajak saat ekonomi booming, serta meningkatkan pengeluaran dan memangkas pajak saat ekonomi sedang resesi. Melalui kebijakan counter cyclical, pemerintah melindungi masyarakat yang paling rentan serta membantu dunia usaha terutama UMKM agar kegiatan ekonomi tetap berjalan.
Tingginya alokasi untuk meredam dampak pandemi membuat anggaran negara tekor. Defisit anggaran yang (terpaksa) dilonggarkan berisiko terhadap peningkatan utang negara jangka menengah-panjang. Perlu konsolidasi fiskal untuk menyehatkan keuangan negara.
Reformasi perpajakan mutlak dilakukan agar menambah pendapatan negara. Namun, menaikkan tarif pajak, seperti PPN, PPh orang kaya, pajak sembako dan pajak pendidikan, akan membawa konsekuensi negatif.
Berdasarkan data Kemenkeu, realisasi anggaran Penanganan Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) 2020 Rp575,8 triliun atau 82,83 persen dari alokasi Rp 695,2 triliun. Anggaran PC-PEN 2021 dari Rp 699,43 triliun naik jadi Rp 744,75 triliun. Terdiri dari anggaran kesehatan Rp 214,95 triliun (dari Rp 193 triliun), perlindungan sosial Rp 187,84 triliun (dari Rp 153,86 triliun), serta dukungan UMKM dan koperasi Rp 161,2 triliun (dari Rp 171,77 triliun). Alokasi dana insentif usaha dan program prioritas tetap Rp 62,8 triliun dan Rp 117,94 triliun.
Reformasi perpajakan mutlak dilakukan agar menambah pendapatan negara.
Defisit anggaran
Besarnya anggaran PC-PEN berdampak nyata pada defisit keuangan. Defisit anggaran pemerintah tahun 2020 mencapai Rp 956,3 triliun atau tiga kali lipat dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Defisit APBN terhadap PDB tahun 2020 sebesar 6,34 persen melonjak dibandingkan pada 2015 (defisit 2,59 persen), 2016 (2,49 persen), 2017 (2,51 persen), 2018 (1,82 persen), dan 2019 (2,20 persen).
Rendahnya penerimaan pajak akibat perlambatan ekonomi memaksa pemerintah berutang melalui penerbitan surat utang negara (SUN) yang mencapai Rp 1.177,2 triliun (terbesar sepanjang sejarah), perbankan (dipaksa) berkontribusi Rp 753,4 triliun.
Kebijakan fiskal pemerintah dalam PC-PEN patut diapresiasi dan mencegah kejatuhan ekonomi Indonesia ke dalam jurang resesi. Pertumbuhan PDB tidak sampai kolaps. Sempat anjlok hingga minus 5,32 persen secara tahunan (yoy) di kuartal II-2020 dari sebelumnya positif 2,97 persen yoy (kuartal I-2020), perlahan membaik menjadi minus 3,49 persen yoy dan negatif 2,19 persen yoy pada kuartal III dan IV-2020.
Pertumbuhan PDB kuartal I-2021 masih terkontraksi 0,74 persen yoy, tetapi pada kuartal II-2021 diproyeksi tumbuh positif 5-7 persen yoy dengan catatan kebijakan PPKM berhasil menurunkan angka kasus Covid-19 dan realisasi penyerapan anggaran PC-PEN dari pusat hingga daerah berjalan baik.
Pemerintah dan semua pemangku kepentingan harus dalam koridor visi yang sama dalam meredam laju peningkatan kemiskinan dan pengangguran terdampak pandemi serta menjaga momentum pertumbuhan ekonomi ke zona positif. Harus ada langkah mengoptimalkan instrumen ABPN melalui belanja pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat.
Kepekaan terhadap krisis (sense of crisis) dan rasa tanggung jawab sosial (sense of social responsibility) harus ditingkatkan di semua lini, karena kita menghadapi musuh bersama yang tak kasatmata.
Upaya memperkuat APBN dan refocusing terhadap anggaran PC-PEN memang kritikal, tetapi penerimaan pajak harus juga ditingkatkan. Harus ada upaya ekstra pemulihan bisnis dan investasi.
Semakin banyak orang kembali bekerja dan berbisnis tentu berimplikasi positif pada penerimaan pajak, khususnya PPN dan PPh. Undang-Unadang Nomor 2 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan Covid-19 hanya membolehkan defisit anggaran hingga 6 persen terhadap PDB sampai tahun 2022. Selanjutnya defisit harus kembali di bawah 3 persen.
Realisasi penerimaan pajak tahun 2020 sebesar Rp 1.069,98 triliun terkontraksi 19,7 persen (yoy) atau hanya mencapai 89,25 persen dari target APBN 2020. Penerimaan pajak APBN 2021 ditargetkan Rp 1.229,6 triliun atau meningkat 2,6 persen (yoy) dari target pajak 2020.
Realisasi pajak per semester I-2021 mencapai Rp 557,8 triliun atau 45,36 persen dari target APBN 2021. Pendapatan negara periode Januari-Juni 2021 sebesar Rp 886,9 triliun dan belanja negara Rp 1.170,1 triliun. Terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 796,3 triliun serta transfer ke daerah dan dana desa Rp 373,9 triliun. Alhasil, defisit anggaran Rp 283,2 triliun.
Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, realisasi penerimaan pajak belum pernah mencapai target APBN. Tahun 2019, realisasi penerimaan pajak Rp 1.545,3 triliun, 86,5 persen dari target APBN 2019 Rp 1.786,4 triliun. Realisasi pajak 2018 (94,02 persen dari target), 2017 (91 persen), 2016 (83,3 persen), dan 2015 (83,5 persen). Pertumbuhan pajak tahunan 1,43 persen (2019), 14,3 persen (2018), 4,3 persen (2017), 4,13 persen (2016), dan 8,1 persen (2015).
Vaksinasi untuk mencapai kekebalan komunitas (herd immunity) harus dipercepat.
Titik kritis
Beberapa critical point dalam peningkatan penerimaan pajak di tengah pandemi adalah, pertama, harus ada langkah penanganan kasus Covid-19 secara cepat dan tuntas. Normalisasi kegiatan ekonomi dan bisnis sangat vital mendorong pertumbuhan sektor rill dan meningkatkan kepercayaan pasar, masyarakat, dan dunia usaha.
Bila daya beli dan konsumsi masyarakat terdongkrak, penciptaan lapangan kerja akan meningkat dengan sendirinya melalui ekspansi bisnis dan peningkatan industri pengolahan.
Vaksinasi untuk mencapai kekebalan komunitas (herd immunity) harus dipercepat. China, Inggris, dan Kanada menjadi contoh keberhasilan pencapaian target vaksinasi massal sehingga kegiatan ekonomi dan bisnis berangsur pulih. Tanpa pengendalian pandemi, sulit bagi pelaku usaha berekspansi. Modal usaha akan terus tergerus beban operasional, apalagi ada biaya tambahan, seperti sterilisasi ruang kerja, vaksinasi, dan tes Covid-19.
Kedua, meningkatkan rasio pajak (tax ratio). Reformasi perpajakan dengan memperluas basis pajak (tax basis) di tengah lesunya pertumbuhan ekonomi berdampak negatif terhadap iklim bisnis dan investasi Tanah Air, tetapi bermanfaat jangka panjang. Pandemi telah membuat APBN bekerja ekstra keras menopang perekonomian nasional. Peningkatan penerimaan pajak jadi jalan terbaik dalam mengurangi beban utang.
Tax ratio berkolerasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan berkolerasi negatif terhadap rasio utang negara. Artinya, semakin tinggi rasio pajak pertumbuhan ekonomi, semakin meningkat dan rasio utang negara makin turun. Rasio pajak terhadap PDB 10,43 persen (2010), 9,89 persen (2017), 10,24 persen (2018), 9,76 persen (2019), 8,33 persen (2020), dan 8,18 persen (proyeksi 2021).
Kinerja rasio pajak yang melemah berimplikasi pada pertumbuhan PDB, yakni 4,88 persen (2015), 5,03 persen (2016), 5,07 persen (2017), 2,17 persen (2018), 5,02 persen (2019), dan negatif 2,07 persen (2020). Pelemahan rasio pajak dan pertumbuhan PDB turut menekan rasio utang terhadap PDB 24,4 persen (2010), 22,9 persen (2012), 30,2 persen (2019), 39,4 persen (2020), dan 41,1 persen (proyeksi 2021). Adapun keseimbangan primer terhadap PDB tercatat minus 0,08 persen (2018), negatif 0,44 persen (2019), minus 4,09 persen (2020), dan minus 3,59 persen (proyeksi 2021).
Potensi pajak
Reformasi pajak melalui tax amnesty jilid kedua tidak keliru, tetapi patut diperhatikan agar tidak menimbulkan risiko moral hazard mengingat tax amnesty jilid pertama baru berlangsung 2016-2017.
Potensi pajak yang belum diburu seperti pengusaha sektor pertambangan dan bisnis online. Perbaikan sistem, IT, dan data base WP, serta peningkatan kualitas SDM penting untuk memperkecil fraud dan keculasan dalam pelaporan pajak.
Formulasi peta jalan perpajakan yang lebih solutif dan inovatif menjadi kritikal aspek. Jangan sampai membebani pengusaha dan investor berlebihan. Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pajak penting agar dunia usaha percaya.
Pengusaha juga harus percaya dan patuh kepada pemerintah. Maka, dana pajak yang dikelola pemerintah harus bebas praktik koruptif untuk pembangunan infrastruktur dan reformasi birokrasi.
Ketiga, terus mengenjot pertumbuhan bisnis dan investasi. Pandemi Covid-19 menjadi refleksi dalam menghadapi disrupsi ekonomi akibat revolusi industri 4.0. Implementasi UU Cipta Kerja serta bonus demografi menjadi modal menghadapi percaturan global.
Berdasarkan data BI, nilai transaksi e-dagang tahun 2020 sebesar Rp 253 triliun. Diperkirakan meningkat 33,2 persen menjadi Rp 330,7 triliun pada tahun 2021. Potensi bisnis superfantastis tersebut jangan sampai terlewatkan.
Baca juga : Menimbang Penerimaan Pajak di Tengah Pemulihan Ekonomi
Untuk mendorong perputaran ekonomi dan bisnis, pertumbuhan kredit perbankan menjadi tulang punggung. Kredit perbankan per Mei 2021 sebesar Rp 5.512 triliun atau meningkat dibandingkan pada Januari 2021 sebesar Rp 5.397 triliun setelah sempat terkontraksi dari Rp 5.712 triliun (Maret 2020).
Momentum geliat ekonomi makin membaik ditinjau dari peningkatan nilai indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) menjadi 53,5 per Mei 2021, meningkat dari 27,5 per April 2020. Nilai indeks di atas 50 mengindikasikan sektor industri pengolahan berekspansi.
Terakhir, peningkatan ketepatan dan kualitas belanja negara. Mengejar penerimaan pajak penting, tetapi kebijakan belanja negara juga harus semakin efisien dan berkualitas.
Sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) yang masih tinggi harus dievaluasi dan diperbaiki.
Penerimaan pajak tinggi akan percuma bila belanja negara masih business as usual tanpa ada langkah inovatif dalam upaya imbal hasil balik terhadap penerimaan pajak. Sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) yang masih tinggi harus dievaluasi dan diperbaiki.
Berdasarkan data Kemenkeu RI, sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) 2020 sebesar Rp 234,7 triliun, meningkat dibandingkan pada 2019 (Rp 46,4 triliun), 2018 (Rp 36 triliun), dan 2017 (Rp 25,64 triliun). Nilai silpa tinggi mencerminkan pola belanja yang kurang efisien dan pembiayaan berlebih (over financing). Belanja negara harus diarahkan pada pemerataan kualitas, fasilitas kesehatan, dan pendidikan antardaerah, serta peningkatan industri kesehatan dan farmasi.
Santo Rizal Samuelson, Finance & Economy Analyst, Pemerhati Ekonomi & Politik Indonesia