Pekerja Media dan Industri Kreatif Tuntut Kesejahteraan
Pada tahun 2019, para pekerja ekonomi kreatif menerima upah yang lebih rendah dari pekerja lainnya, yakni sekitar Rp 2,4 juta. Sebagian besar dari mereka juga bekerja lebih dari 48 jam dalam seminggu.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Para pekerja di sektor media dan industri kreatif menuntut kesejahteraan dalam peringatan Hari Buruh Sedunia di Jakarta, Senin (1/5/2023). Tuntutan tersebut meliputi upah layak, jam kerja tidak berlebihan, jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, serta terlindungi dari kekerasan di tempat kerja.
Bersama dengan puluhan ribu buruh lainnya, puluhan pekerja yang tergabung dalam Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) turut memadati kawasan Air Mancur Tamhrin, Jakarta. Para pekerja yang sebagian besar berstatus kontrak dan juga pekerja lepas (freelance) itu turut menyuarakan kesejahteran dengan berorasi dan sembari membawa spanduk-spanduk bertuliskan kritik.
Ketua Organisasi Sindikasi Nur Aini menyampaikan, pemerintah gagal menyejahterakan pekerja media dan industri kreatif. Indikator atas kegagalan tersebut antara lain, ketiadaan perbaikan kondisi kerja layak, serta ketiadaan perlindungan kekerasan dan diskriminasi.
"Pada peringatan May Day 2023, kami mengusung tema Sindikasi melawan oligarki karena ini adalah momen terakhir kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf. Kebijakan pemerintah selalu mengabaikan pekerja sehingga kondisi pekerja tidak berubah. Kami masih diupah murah, waktu kerja kami masih panjang dan tidak ada upah pembur, serta pekerja kondisinya semakin rentan," katanya.
Statistik Ekonomi Kreatif yang diterbitkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2020 menunjukkan, kontribusi Ekonomi Kreatif terhadap produk domestik bruto (PDB) meningkat dari Rp 525,96 triliun di tahun 2010 menjadi Rp 1.153,4 triliun di tahun 2019 atau melonjak sebesar 45,6 persen. Namun, data statistik tersebut berbanding terbalik dengan kondisi para pekerja industri kreatif Indonesia di lapangan.
Badan Pusat Statistik pada tahun 2019 menyebut, rata-rata upah pekerja ekonomi kreatif tercatat hanya Rp 2.455.429 atau lebih rendah dari rata-rata pekerja seluruh sektor. Melalui survei pada tahun 2022, Sindikasi menemukan, sedikitnya 83,7 persen pekerja merasa sangat khawatir atas ketidakpastian dan kelayakan upah.
"Sektor yang selalu diagung-agungkan atau dianggap sebagai sektor unggulan, ternyata justru berupah rendah. Dari riset kami tersebut, upah memang masih menjadi permasalahan yang dihadapi oleh pekerja industri kreatif sehari-hari," ujar Ikhsan Raharjo, Anggota Majelis Pertimbangan Organisasi Sindikasi.
Fleksibilitas kerja selalu dinarasikan sebagai kondisi kerja yang menyenangkan bagi generasi muda baik waktu maupun ruang kerja yang fleksibel. Namun, hal itu justru membuat mereka rentan mulai dari jam kerja yang panjang, ketiadaan jaminan sosial, dan posisi tawar yang sangat rendah.
Para pekerja tersebut di antaranya, pekerja film, pekerja musik, pekerja desain, media, dan agensi periklanan. Ikhsan menambahkan, jam kerja yang panjang turut menjadi tanda buruknya kondisi upah pekerja.
Berdasarkan survei yang dilakukan Sindikasi, 28,54 persen pekerja ekonomi kreatif bekerja di atas 48 jam setiap pekan. Selain itu, terdapat sekitar 54,11 persen pekerja industri film bekerja 16-20 jam per hari di setiap syutingnya.
"Selama ini, fleksibilitas kerja selalu dinarasikan sebagai kondisi kerja yang menyenangkan bagi generasi muda, baik waktu maupun ruang kerja yang fleksibel. Namun, hal itu justru membuat mereka rentan mulai dari jam kerja yang panjang, ketiadaan jaminan sosial, dan posisi tawar yang sangat rendah," lanjutnya.
Selanjutnya, Sindikasi dalam surveinya turut menemukan, 15,5 persen responden perempuan dan 2,8 persen responden laki-laki mengatakan pernah mengalami kekerasan seksual. Lebih lanjut, studi kekerasan seksual di Universitas City, London, pada tahun 2020 hingga September 2021 menunjukkan, 30 persen dari 2.000 profesional media, termasuk di Indonesia, mengalami kekerasan seksual verbal maupun fisik.
Sindikasi menilai, pemerintah gagal untuk membuat lingkungan kerja yang bebas dari diskriminasi. Hal itu tampak dari belum adanya fasilitas penunjang kerja bagi perempuan dan ibu pekerja, serta praktik magang tidak berbayar masih terjadi.
“Pemerintah cenderung mengabaikan persoalan kekerasan dan diskriminasi di tempat kerja. Padahal, tugas pemerintah sebagai pembuat kebijakan adalah memastikan setiap individu mendapatkan kesempatan dan lingkungan kerja yang layak. Minimnya perhatian terhadap persoalan ini justru mendorong ketimpangan akses mendapatkan pekerjaan layak,” imbuh Nur.
Oleh sebab itu, Sindikasi menuntut agar pemerintah meratifikasi Konvensi ILO (International Labour Organisation) Nomor 190 Tahun 2019 dan Rekomendasi 206 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Lalu, pemberi kerja atau perusahaan mitra diwajibkan memberikan perlindungan termasuk jaminan kesehatan dan keselamatan kerja bagi seluruh hubungan kerja dari freelancer, mitra, alih daya, hingga pekerja kontrak.
Cipta Kerja
Seperti yang diserukan oleh kelompok buruh lainnya, Sindikasi juga menuntut pemerintah untuk mencabut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Menurut Nur, sikap negara yang ingin segera mengesahkan UU Cipta Kerja melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) telah berpotensi besar memperburuk situasi pekerja media dan industri kreatif.
"UU Cipta Kerja justru menguatkan fleksibilitas kerja, melucuti perlindungan bagi pekerja, serta mempermudah pemutusan hubungan kerja (PHK)," ucap Nur.
Sebelumya, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri mengungkapkan, unjuk rasa perayaan Hari Buruh Internasional merupakan hal biasa yang terjadi setiap tahun. Pemerintah, melalui Kemnaker, kata Indah, siap menerima kritikan dari serikat pekerja selama aksi unjuk rasa peringatan Hari Buruh Internasional.
”Jika ada kritik mengenai pemerintah tidak lagi mengatur alih daya, kami tekankan bahwa itu tidak benar. UU Cipta Kerja justru telah mengamanatkan agar pemerintah mengatur pakem-pakemnya agar pekerja tetap terlindungi dan praktiknya tidak besar-besaran,” tuturnya (Kompas.id, 30/4/2023).
Secara terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, tuntutan pencabutan UU Cipta Kerja tidaklah realistis saat masyarakat membutuhkan lapangan pekerjaan. Sebab, UU itu telah mengakomodir berbagai kebutuhan pekerja, seperti pesangon, jaminan sosial, dan jaminan ketenagakerjaan.
"UU Cipta Kerja sudah memadai, meski belum memuaskan semua pihak. Jika di lapangan terdapat masalah, itu adalah masalah pengawasan. Di sisi lain, para pekerja menuntut tanpa adanya usulan sehingga tidak memberikan kejelasan pada apa yang mereka tuntut dan hanya akan menjadi seremonial," kata Hariyadi saat dihubungi dari Jakarta.
Menurut Hariyadi, industri kreatif yang banyak menuai komplain adalah sektor sektor film dan musik. Ini karena pada sektor tersebut belum terstruktur dengan baik, salah satunya sumber daya manusia (SDM) sektor film masih terbatas.
Tingginya permintaan dan rendahnya penawaran pada sektor perfilman seharusnya membuat upah para pekerjanya tinggi dan terfasilitasi dengan baik. Namun, hal itu tidak terjadi lantaran para pekerja mengambil beberapa pekerjaan sekaligus sehingga tidak sumber daya terkelola dengan baik.
"Permasalahannya ada pada supply tenaga kerja di bidang itu yang masih kurang. Pembenahan harus dilakukan secara sistematis seperti mempersiapkan pekerja yang berkualitas karena jika pekerja semakin memiliki kemampuan, mereka akan punya nilai lebih," ucap Hariyadi.
Berbeda dengan sektor kerajinan, lanjut Hariyadi, permasalahan mereka ada pada terbatasnya modal pemberi kerja sehingga para pekerja menerima upah yang rendah. Sebagai informasi, terdapat sekitar 15.000 perusahaan dan 22.000 usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) binaan di bawah Apindo yang telah berdiri sejak tahun 1952.