Wacana Bebas Bea Masuk Barang Bawaan Pekerja Migran Tidak Mendesak
Pengecekan barang bawaan milik pekerja migran Indonesia yang berujung pembongkaran dan perampasan masih kerap muncul. Fenomena ini semestinya bukan diatasi dengan pembebasan bea masuk.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemunculan wacana pembebasan bea masuk barang bawaan pekerja migran Indonesia diyakini tidak mendesak. Wacana ini jika jadi dijalankan akan menambah beban pemeriksaan bagi pekerja dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan.
Peneliti Centre of Macroeconomics and Finance di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Agus Herta Sumarto, saat dihubungi, Minggu (30/4/2023), di Jakarta, menduga, kemunculan wacana pembebasan bea masuk barang bawaan pekerja migran Indonesia karena masalah non-ekonomi, yakni perlakuan kurang menyenangkan selama proses pengecekan bea cukai. Dari sudut pandang ekonomi, masalah tersebut tidak pas jika diselesaikan dengan variabel ekonomi.
Pemeriksaan bea cukai berkaitan dengan pemasukan negara bukan pajak (PNBP) yang selama ini jumlahnya cukup besar dan salah satunya bersumber dari barang-barang yang dibawa oleh para pekerja migran. Jika ada pembebasan bea masuk, akan berpotensi mengurangi jumlah PNBP sehingga negara akan kehilangan salah satu sumber pendapatannya.
”Masalah lain yang berpotensi muncul dari pembebasan bea cukai adalah munculnya bisnis jasa penitipan pembelian barang (jastip) yang memiliki potensi risiko yang sama, yaitu kehilangan sumber pendapatan negara dari bea dan cukai,” ujar Agus.
Menurut dia, alternatif solusi yang lebih tepat adalah sikap petugas Bea dan Cukai. Kesadaran akan sikap yang baik dan pentingnya pelayanan yang bagus merupakan hal yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Dengan demikian, tidak ada lagi pengecekan barang yang terkesan diskriminatif terhadap pekerja migran Indonesia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo berpendapat, meski usulan pembebasan bea masuk barang bawaan pekerja migran bertujuan baik, potensi penyalahgunaannya tinggi. Misalnya, pekerja migran menerima pesanan membawa barang yang bukan miliknya dan bisa jadi barang itu ilegal. Lagi pula, ketentuan bea masuk barang bersifat umum sehingga seharusnya tidak boleh ada kekhususan.
”Barang bawaan pekerja migran saat pulang bekerja ke Tanah Air juga tidak mungkin berkilo-kilo. Memang, ada cerita pembongkaran barang pekerja migran muncul di media sosial dan viral. Namun, saya khawatir, rezim pembuatan kebijakan dibimbing oleh viral semata,” kata Wahyu.
Adanya ketentuan khusus bea masuk bagi pekerja migran, kata Wahyu, juga berpotensi menambah beban pemeriksaan. Akibatnya, pekerja migran berpotensi akan terkena diskriminasi.
Jika ada pengaduan pembongkaran ataupun perampasan barang bawaan pekerja migran, dia menyarankan agar petugas Bea dan Cukai diikutsertakan dalam sosialisasi perlindungan pekerja migran Indonesia. Cara ini dinilai akan lebih melindungi pekerja.
Sebelumnya, Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Ramdani mengklaim sudah 15 kali bertemu dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk merespons sejumlah keluhan pembongkaran barang milik pekerja migran yang dilakukan petugas Bea dan Cukai saat tiba di Tanah Air. Keluhan pembongkaran juga disertai perampasan barang oleh petugas.
”Jika pembongkaran barang bawaan hanya diberlakukan bagi pekerja migran, kami menilai itu sebagai perbuatan diskriminasi. Pembongkaran boleh dilakukan jika pekerja migran diduga membawa barang yang terindikasi melanggar hukum,” ujarnya saat konferensi pers, Jumat (28/4/2023), di Jakarta.
Dalam pertemuan tersebut, dia mengaku sudah sempat mengusulkan agar ada ketentuan pembebasan bea masuk barang khusus pekerja migran Indonesia. Untuk memperoleh insentif ini, Benny menyampaikan, idenya adalah ada beberapa kriteria barang, volume, beserta nilainya.
”Saat pulang ke Tanah Air, pekerja migran bisa saja membawa barang-barang hasil kerja ataupun pemberian majikan. Kami mengusulkan ada diskon bea masuk sekitar Rp 23 juta,” kata Benny.