Hadapi Regulasi Deforestasi UE, Petani Minta Fasilitas Pembiayaan Ketertelusuran
Dengan adanya sistem ketertelusuran yang dapat dipertanggungjawabkan serta sertifikat kelestarian yang diakui pasar global, nilai keekonomian produk pertanian Indonesia akan meningkat.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberlakuan Regulasi Deforestasi Uni Eropa atau UE pada tahun ini menuntut ketertelusuran produk-produk hasil pertanian yang mampu membuktikan tidak ada keterkaitan produksi dengan deforestasi. Sebagai pelaku di hulu pertanian, petani membutuhkan sokongan biaya untuk menerapkan sistem ketertelusuran yang terwujud lewat sertifikasi berprinsip kelestarian.
Pada 19 April 2023, Parlemen Eropa mengesahkan Regulasi Deforestasi UE dan akan diberlakukan pada 20 hari setelahnya. Dengan adanya aturan tersebut, produk berbasis sejumlah komoditas pertanian harus menunjukkan bebas deforestasi apabila hendak dijual di pasar UE. Komoditas yang diatur dalam regulasi ini meliputi sapi, kakao, kopi, minyak kelapa sawit, kacang kedelai, kayu, karet, arang, dan produk kertas cetak. Produk-produk turunan dari komoditas tersebut juga turut diatur.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia Guntur Subagja, ada dua sisi yang dapat ditinjau dari Regulasi Deforestasi UE. ”Sisi pertama, terdapat persaingan bisnis komoditas di Eropa yang membuat produk Indonesia, seperti sawit, dipersulit masuk ke pasar Eropa dengan isu lingkungan. Di sisi lain, kebijakan ini dapat menyelaraskan pengelolaan pertanian Tanah Air dengan kelestarian lingkungan, termasuk hutan,” tuturnya saat dihubungi, Rabu (26/4/2023).
Dia berpendapat, petani cenderung tidak merusak hutan dalam menjalankan usaha pertanian. Sebaliknya, pelaku industri yang masuk ke sektor pertanian dan kehutanan yang membutuhkan kontrol dan pemantauan ketat oleh pemerintah pusat dan daerah.
Dalam Regulasi Deforestasi UE, pemasok harus menunjukkan pernyataan uji tuntas yang membuktikan produk yang hendak dijual di pasar UE bebas deforestasi atau tidak menyebabkan degradasi hutan sejak 31 Desember 2020. Uji tuntas ini turut menelusuri informasi koordinat geografis dan analisis DNA dari produk.
Artinya, Indonesia membutuhkan sistem ketertelusuran produk dari hulu hingga hilir. Di tingkat hulu, Guntur menilai, petani membutuhkan bantuan pembiayaan dari agregator, eksportir, maupun pelaku industri yang menyerap hasil produksinya. Dia berharap, pelaku industri juga memberikan panduan praktik pertanian yang baik (good agricultural practices) yang selaras dengan sertifikasi kelestarian atau sustainability di pasar dunia. Biaya yang timbul dari pelaksanaan panduan dan proses sertifikasi itu juga diharapkan dapat ditanggung pelaku industri.
Dengan adanya sistem ketertelusuran yang dapat dipertanggungjawabkan serta sertifikat kelestarian yang diakui pasar global, dia optimistis, nilai keekonomian produk pertanian Indonesia akan meningkat. Kenaikan nilai ekonomi itu mesti dinikmati oleh pelaku rantai pasok produk dari hulu ke hilir, termasuk petani.
Petani membutuhkan bantuan pembiayaan dari agregator, eksportir, maupun pelaku industri yang menyerap hasil produksinya.
Selain itu, dia berpendapat, Indonesia dapat menantang balik UE dalam upaya menjaga kelestarian hutan lewat perdagangan karbon. ”Hal ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat nilai ekonomi karbon karena telah mempertahankan hutan (dari alih fungsi),” ujar Guntur.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud menyatakan, situasi yang dialami petani karena penerapan Regulasi Deforestasi UE menjadi perhatian dalam dialog The FACT (Forest, Agriculture and Commodity Trade). Dialog ini turut diikuti oleh perwakilan sejumlah anggota UE sebagai negara konsumen.
Menggugat UE
Dalam menyikapi Regulasi Deforestasi UE, anggota Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Bayu Krisnamurthi, menilai, Indonesia bersama negara-negara produsen komoditas pertanian lainnya dapat menggugat prinsip kedaulatan.
”Lewat regulasi itu, UE meminta data detail kepada negara-negara produsen. Data yang dibuka berkaitan dengan kedaulatan negara. Padahal, mereka (UE) berprinsip menghargai kedaulatan negara,” tuturnya saat dihubungi, Rabu (26/4/2023).
Selain itu, dia mengatakan, Indonesia perlu mempertanyakan prinsip resiprokal kebijakan tersebut. Artinya, UE juga perlu membuka data detail mengenai produk-produk komoditas pertanian dan peternakan yang dijual di Indonesia untuk memastikan bebas deforestasi. Jika tidak resiprokal, kebijakan tersebut bersifat diskriminatif.
Sembari menggugat UE di pengadilan internasional maupun Organisasi Perdagangan Dunia, Bayu berpendapat, Indonesia perlu meninjau kembali seberapa penting dan signifikan pasar Eropa terhadap perekonomian nasional. Indonesia memiliki opsi mencari pasar alternatif yang lebih terbuka dan tidak menuntut perubahan besar-besaran.