Potensi Gas Bumi Besar, Permintaan Mendesak Ditumbuhkan
Sejak 2017, volume gas bumi untuk ekspor sebenarnya terus berkurang, yakni dari 2.736 BBTUD menjadi 1.759 BBTUD. Akan tetapi, porsi serapan domestik relatif stagnan, bahkan cenderung menurun lima tahun terakhir.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Besarnya potensi gas bumi di Indonesia dinilai belum diikuti perencanaan pengembangan hulu-hilir komoditas tersebut. Padahal, gas bumi memiliki prospek besar, termasuk dalam menggantikan elpiji yang pemenuhannya didominasi impor. Pasokan yang berkelanjutan juga akan dibutuhkan industri.
Pengamat ekonomienergi sekaligus dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung, Yayan Satyakti, dihubungi dari Jakarta, Kamis (20/4/2023), mengatakan, gas bumi sebenarnya menjanjikan. Namun, pengembangan yang berjalan selama ini belum bisa memacu pertumbuhan permintaan di dalam negeri.
Menurut dia, para investor di hulu masih kerap dibayangi ketidakpastian terkait jaminan serapannya. ”Meski pemerintah memiliki peta jalan, harus melihat sisi demand (permintaan). Bagaimana membangkitkan demand gas. Saat ini, seolah-olah membangun untuk suplai, tetapi ada ketakutan terkait demand-nya,” kata Yayan.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2022 porsi gas bumi untuk kebutuhan domestik mencapai 3.686 billion british thermal unit per day (BBTUD) atau 68 persen. Sementara sisanya, yakni 1.759 BBTUD atau porsi 32 persen, untuk kebutuhan ekspor.
Sejak 2017, volume gas bumi untuk ekspor memang berkurang, tetapi porsi serapan domestik relatif stagnan, bahkan turun.
Sejak 2017, volume gas bumi untuk ekspor memang terus berkurang, yakni dari 2.736 BBTUD menjadi 1.759 BBTUD. Akan tetapi, porsi serapan domestik relatif stagnan, bahkan menurun dari 3.880 BBTUD pada 2017 menjadi 3.686 BBTUD pada 2022. Pada 2023, serapan domestik ditargetkan naik menjadi 3.881 BBTUD.
Selain berpotensi untuk industri, transisi konsumsi masyarakat dalam menggunakan gas juga perlu terus dipacu. ”Masyarakat sudah mengenal elpiji meskipun itu (kandungannya) propilena. Beda dengan gas bumi. Namun, itu potensi pasar sekaligus mengganti yang sifatnya impor. Bisa asalkan ada keseriusan dan political will,” tutur Yayan.
Menurut Yayan, jika pada era Presiden Joko Widodo infrastruktur jalan dipacu, Presiden era berikutnya bisa juga fokus dalam pembangunan infrastruktur energi. Hal itu dirasa penting karena cadangan gas bumi di Indonesia melimpah sehingga harus dimanfaatkan untuk masyarakat, termasuk industri yang memerlukan pasokan berkelanjutan gas.
Direktur Eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro menambahkan, gas bumi yang memadai bisa didorong untuk mengembangkan industri petrokimia. ”Pasarnya besar. Apabila dikembangkan, akan ada nilai tambah ekonomi yang cukup besar. Apalagi, semua yang berkaitan dengan kehidupan kita butuh petrokimia, mulai dari obat-obatan hingga rumah tangga,” ujarnya.
Berdasarkan hasil simulasi Reforminer Institute, jika Indonesia mengonversi sekitar 50 persen konsumsi minyak dengan gas bumi, langkah itu menurunkan emisi sekitar 36,16 juta ton CO2 ekuivalen. Apabila 50 persen konsumsi batubara dikonversi ke gas bumi, terjadi penurunan emisi 123,35 juta ton CO2 ekuivalen.
Cirebon-Semarang
Pemerintah saat ini tengah mengebut pembangunan pipa transmisi gas Cirebon-Semarang (Cisem) guna mengisi kebutuhan gas industri di Pulau Jawa dan Sumatera. Tahap I Cisem, Semarang-Batang (62 km) ditargetkan selesai semester I-2023, lalu dilanjutkan tahap II, yakni Batang-Cirebon (240 km).
Adapun rencana berikutnya adalah pembangunan pipa transmisi ruas Sei Mangkei (Sumatera Utara)-Dumai (Riau) sepanjang sekitar 400 km. Di wilayah itu, selain terdapat kawasan industri, juga akan ada produksi baru gas bumi dari Blok Andaman di bagian utara Sumatera.
”Nantinya (pipa gas) akan tersambung dari Aceh hingga Jatim. Jadi, dari Aceh bisa disalurkan hingga Jatim ataupun yang di Jatim (terdapat gas Jambaran Tiung Biru) disalurkan hingga Aceh. (Pasokan gas bumi) sangat dibutuhkan masyarakat di Jatim, Jateng, Jabar, serta industri,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji, dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (4/4/2023).
Selain itu, jaringan gas kota (jargas) juga dikembangkan. Pada 2022 secara kumulatif sudah ada 871.645 rumah tangga yang tersambung jargas, dengan tambahan 72.000 sambungan di tahun itu. Pada 2023 ditargetkan ada tambahan 400.000 sambungan sehingga kumulatif akan mencapai 1,3 juta sambungan.