Stabilitas Moneter dan Politik Pengaruhi Ekonomi Indonesia di Paruh Kedua 2023
Perkembangan sektor properti yang antara lain dipengaruhi perubahan tingkat suku bunga perlu jadi perhatian pemerintah pada paruh kedua 2023. Perkembangan politik juga menjadi catatan agar ekonomi tetap baik.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsistensi dan inovasi dalam kebijakan dibutuhkan untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi Indonesia di saat pandemi Covid-19 mulai mereda. Selain kestabilan moneter dan fiskal, tensi politik diperhitungkan dapat memengaruhi kondisi ekonomi Indonesia di paruh kedua 2023.
Chief Executive Officer Center for Market Education Indonesia Carmelo Ferlito memprediksi, kondisi ekonomi Indonesia relatif baik di tengah proyeksi resesi ekonomi dunia. Hal ini tecermin dari indeks keyakinan konsumen (IKK) pada sisa tahun 2023 yang diproyeksikan membaik. Meski demikian, di sisi produsen, indeks manajer pembelian (purchasing manager index/PMI) manufaktur diproyeksikan sedikit menurun.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Tidak adanya lagi pengetatan kegiatan masyarakat menjadi faktor utama yang memengaruhi perbaikan IKK. Di sisi yang lain, penurunan PMI akan terjadi karena pelaku industri masih memantau perkembangan kebijakan moneter dan fiskal serta kondisi perdagangan pada skala nasional dan global.
Untuk menjaga kestabilan dua indikator tersebut, pemerintah diharapkan konsisten dalam menerbitkan serta menegakkan aturan, khususnya di bidang ekonomi.
Berdasarkan data Bank Indonesia, IKK pada Maret 2023 tercatat di angka 123,3, sedangkan PMI berada di angka 51,9 atau masih berada dalam zona ekspansif.
”Seperti yang terlihat selama pandemi, gejolak indikator tersebut sangat dipengaruhi konsistensi pemerintah. Perlu ada terobosan pula, seperti menarik investasi berteknologi tinggi agar kondisi di semester kedua 2023 bisa lebih baik,” ujar Carmelo Ferlito dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (20/4/2023).
Selain becermin pada indikator tersebut, perkembangan sektor properti juga perlu menjadi perhatian dalam mengamati dinamika perekonomian pada paruh kedua 2023 ini.
Mengutip penelitian ekonom Chapman University, Steven Gjerstad dan Vernon Smith, tahun 2014, Presiden Center for Market Education Indonesia Chandra Rambey menerangkan, berkaca pada sejarah, krisis keuangan atau ekonomi hampir selalu dimulai dengan penurunan kinerja di sektor properti.
Penurunan biasa terlihat saat bank sentral mulai menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi. Kenaikan suku bunga menyebabkan dua hal. Pertama, penyaluran kredit terhambat akibat keengganan masyarakat membeli rumah. Kedua, terjadi potensi kemacetan pelunasan pinjaman akibat membengkaknya cicilan kredit perumahan yang harus dibayar masyarakat.
Krisis keuangan atau ekonomi hampir selalu dimulai dengan penurunan kinerja di sektor properti.
Kombinasi hal ini dan faktor lainnya dapat memicu krisis ekonomi di kemudian hari. Untuk itu, penting memperhatikan indikator di bidang properti untuk melihat potensi krisis ekonomi atau keuangan di Indonesia tahun ini.
”Dari 12 resesi mulai era great depression tahun 1930 sampai great recession tahun 2008 di Amerika, krisis keuangan selalu ditandai dengan penurunan investasi dan penjualan di bidang properti,” ucapnya.
Meski demikian, kinerja sektor properti dalam negeri dianggap masih cukup baik di tengah kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan Bank Indonesia sejak April 2022-Maret 2023. Hal ini terlihat dari tren kenaikan harga properti perumahan di pasar utama pada triwulan III-2022. Saat itu, indeks harga properti meningkat 1,94 persen apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Kondisi ini terjadi karena respons kebijakan yang dibuat pemerintah dinilai tepat. Pertama, adanya program uang muka nol persen sehingga memudahkan pembayaran uang muka pembelian properti. Selain itu, juga terdapat insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) sebesar 25-50 persen untuk pembelian properti.
”Meskipun sektor properti residensial baik pada tahun 2022, pasar residensial mungkin menghadapi tantangan pada tahun 2023 karena tingkat suku bunga yang lebih tinggi,” ujarnya, menambahkan.
Ketidakpastian kondisi politik memberi tanda tanya soal keberlanjutan kebijakan, khususnya terkait aturan di bidang usaha dan investasi.
Selain mengamati indikator di sektor properti, faktor nonekonomi, salah satunya perkembangan politik, juga harus menjadi perhatian di paruh kedua tahun 2023. Senior Fellow Center for Strategic and International Studies Rizal Sukma menerangkan, ketidakpastian kondisi politik memberi tanda tanya soal keberlanjutan kebijakan, khususnya terkait aturan di bidang usaha dan investasi.
Ketidakpastian politik, antara lain tentang siapa calon yang akan diusung atau koalisi partai politik apa yang akan dibentuk untuk Pemilu 2024, berpotensi memengaruhi suasana ekonomi di tahun 2023.
”Mengenai jadwal (pemilu), saya yakin tetap akan sesuai dengan aturan. Namun, ketidakpastian mengenai hal lain akan memengaruhi mood dan opini publik, dan ini akan menjadi perhatian di dunia usaha,” kata Rizal.