Harga Komoditas Terus Melandai, Ekspor Indonesia Tertekan
Harga komoditas yang terus melandai menekan kinerja ekspor Indonesia pada Maret 2023. Tekanan di pasar global menjadi faktor berpengaruh.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kinerja ekspor Indonesia pada Maret 2023 menurun lantaran landainya harga komoditas sejalan dengan penurunan permintaan pasar global. Akan tetapi, masih terdapat peluang bagi Indonesia untuk mempertahankan rekor surplus 35 bulan berturut-turutnya dengan dibukanya kembali ekonomi China. Selain itu, diharapkan pula terbentuk stabilisasi harga minyak lewat rencana pengurangan produksi oleh negara-negara pengekspor minyak dunia.
Deputi Bidang Metodologi dan Informasi Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Imam Machdi, dalam paparannya di Jakarta, Senin (17/4/2023), menjelaskan, nilai ekspor Indonesia pada Maret 2023 turun 11,33 persen secara tahunan, dari 26,50 miliar dollar AS pada Maret 2022 menjadi 23,50 miliar dollar AS pada Maret 2023.
Secara rinci, kontraksi terjadi di sektor migas sebesar 4,76 persen dan di sektor nonmigas yang turun 11,70 persen. “Nilai ekspor tahunan di Maret 2023 mengalami kontraksi, setelah ada perlambatan mulai Februari 2023,” ujar Imam.
Penurunan nilai ekspor pada Maret 2023 terjadi karena adanya penurunan harga komoditas ekspor unggulan Indonesia. Hal ini mulai tampak sejak akhir 2022. Secara global, penurunan harga komoditas terjadi akibat tekanan inflasi di banyak negara serta masih agresifnya Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed menaikkan suku bunga acuannya.
Tekanan pada perekonomian global ini membuat negara-negara di dunia menahan laju konsumsinya. Harga minyak kelapa sawit misalnya turun secara tahunan dari 1.344 dollar AS per metrik ton (mt) pada Maret 2022 menjadi 972 dollar AS per mt pada Maret 2023. Harga batubara juga turun dari 197 dollar AS per mt menjadi 187,2 per mt, sedangkan gas alam turun dari 4,3 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU) menjadi 2,3 dollar AS per MMBTU.
“Meski secara tahunan turun, secara bulanan (month to month) angka ini naik dari Februari 2023, yaitu dari 21,38 miliar dollar AS menjadi 23,50 milliar dollar AS. Salah satu alasannya juga karena adanya jumlah hari yang berbeda antara Februari dan Maret,” ujarnya.
Permintaan yang melemah juga terlihat dari Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur negara-negara mitra dagang Indonesia yang berada dalam zona kontraksi yaitu di bawah 50. Indeks PMI China berada di angka 50, sementara Jepang dan Amerika Serikat dengan indeks sama yaitu 49,2. Hanya India yang indeksnya berada di luar zona kontraksi yaitu 56,4.
Dalam konferensi pers terpisah, Senin, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, PMI manufaktur secara global memang mengalami kontraksi. Aktivitas manufaktur di hampir 60 persen negara G20 dan ASEAN masih berada di zona kontraktif, hanya India dan Indonesia yang berada di zona ekspansif.
“Prediksi pada tahun 2023 memang negara-negara maju akan mengalami pelambatan ekonomi karena laju inflasi. Secara global indeks PMI berada pada 49,6, dan ini dalam posisi arah melemah ke bawah. Hanya sekitar 13 persen dari negara di dunia yang PMI nya ekspansif,” jelasnya.
Sama halnya dengan ekspor, nilai impor juga mengalami penurunan secara tahunan dari 21,96 milliar dollar AS pada Maret 2022, menjadi 20,59 milliar dollar AS pada Maret tahun ini. Meski demikian, secara bulanan, nilai impor meningkat dari 15,92 milliar dollar AS pada Februari 2023 menjadi 20,59 milliar dollar AS.
“Dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan impor bulan Maret secara bulanan memiliki pola yang sama, yaitu menguat dan tertinggi sepanjang tahun,” jelas Imam.
Aktivitas manufaktur di hampir 60 persen negara G20 dan ASEAN masih berada di zona kontraktif, hanya India dan Indonesia yang berada di zona ekspansif.
Tren surplus
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan neraca perdagangan Indonesia masih surplus. Capaian ini membuat neraca perdagangan Indonesia sudah surplus selama 35 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Pada bulan Maret 2023 ini, surplus tercatat sebesar 2,91 milliar dollar AS.
Meski tercatat baik, surplus Maret 2023 melemah bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 5,46 milliar dollar AS. Besaran surplus ini juga lebih rendah secara tahunan dibandingkan Maret 2022 yaitu 4,54 milliar dollar AS.
Surplus neraca perdagangan ini ditopang oleh surplus nonmigas seperti bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan/nabati, serta besi dan baja sebesar 4,58 milliar dollar AS. Sementara defisit terjadi pada minyak mentah dan produk hasil olahan minyak sebesar 1,68 miliar dollar AS.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menjelaskan, permintan global dan tingginya suku bunga acuan menjadi penyebab utama penurunan harga komoditas yang akhirnya menekan kinerja ekspor Indonesia. Kinerja ekspor Indonesia dinilai akan cenderung terus menurun khususnya pada semester kedua tahun ini.
Akan tetapi, tren surplus masih bisa berlanjut karena penurunan harga komoditas akan terjadi secara bertahap seiring pembukaan ekonomi China. Rencana negara-negara eksportir minyak atau OPEC+, untuk mengurangi produksi hingga November 2023, juga diharapkan membuat harga komoditas kembali stabil. Situasi krisis energi yang membaik diharapkan menjaga tren positif tersebut.
“Kami berpendapat posisi neraca transaksi berjalan Indonesia akan defisit, tetapitetap dalam batas yang aman yaitu 1,10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2023, atau masih di bawah acuan defisit PDB sebesar 3 persen. Untuk impor mungkin dapat meningkat seiring pertumbuhan permintaan dalam negeri,” ujar Faisal.