Kondisi Domestik Solid Topang Indonesia Hadapi Krisis Global
Krisis perbankan global dan perubahan struktural sistem keuangan dunia dapat mengganggu target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Meski demikian, resiliensi ekonomi domestik Indonesia masih cukup kuat menghadapinya.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Sejumlah faktor global dapat memengaruhi upaya Indonesia dalam mencapai target pertumbuhan sebesar 5 persen. Krisis perbankan di Eropa dan perubahan struktural sistem keuangan dunia dapat menjadi faktor pelemah. Namun, kondisi ekonomi domestik yang solid dan kebijakan dalam negeri yang tepat dapat membuat Indonesia terhindar dari faktor-faktor tersebut.
Wakil Dekan Sekolah Ekonomi dan Bisnis Universitas Prasetiya Mulia Adrian Teja menjelaskan, krisis perbankan yang melanda kawasan Amerika Serikat dan Eropa akan membuat kondisi perekonomian dunia terganggu. Petaka mulai tampak pada kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB) hingga kasus yang menjerat Credit Suisse, sampai harus diakuisisi oleh pesaingnya sendiri, Union Bank of Switzerland (UBS).
Permasalahan yang menjerat SVB dan perbankan lainnya dinilai menjadi pertanda bahwa lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh otoritas perbankan di sana. Untuk itu, terdapat potensi bahwa masih banyak bank bermasalah seperti SVB, yang tidak terawasi oleh pemerintah.
”Dalam ekonomi disebut cockroach theory (teori kecoak). Jika ada ditemukan satu kecoak dalam suatu tempat, kemungkinan besar banyak kecoak di tempat itu,” ujarnya di Universitas Prasetiya Mulia, Tangerang, Banten, Selasa (18/4/2023).
Ditambah lagi, dengan tekanan suku bunga dan kebijakan pengetatan moneter dan fiskal yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat (The Fed), tidak menutup kemungkinan kasus-kasus serupa muncul ke permukaan. Sebagai informasi, sejak April 2022, The Fed agresif menaikkan tingkat suku bunga acuan dari 0,5 persen hingga kini sudah berada di kisaran 5 persen. Ini merupakan kenaikan tertinggi setelah hampir 14 tahun hanya berada di kisaran 0-1 persen.
Selain itu, agresifitas Jerome Powell menaikkan suku bunga ternyata tidak memberi dampak dari yang diharapkan karena membuat deposito di perbankan AS menyusut.
Para deposan menarik uangnya sebagai antisipasi perbankan jika tidak mampu memenuhi kewajibannya akibat suku bunga yang tinggi. Di sisi lain, masyarakat tidak mau mengambil kredit perbankan karena hal yang sama. Kredibilitas dari The Fed tengah diuji.
Hal di atas pula membuat negara-negara di dunia mulai meninggalkan dollar AS sebagai mata uangnya dalam berdagang. Pertemuan intensif beberapa pemimpin negara-negara Eropa bertemu Presiden China Xi Jinping menjadi sinyal yang perlu diperhatikan.
”Akibat instabilitas ini, tensinya akan ke politik. Negara-negara Uni Eropa mulai mengabaikan Amerika, dengan pergi ke China. Kemungkinan akan banyak guncangan dalam enam bulan ke depan,” jelasnya.
Di tengah panasnya situasi di dua kawasan tersebut, kondisi keuangan dan perbankan Indonesia dinilai masih cukup kuat menghadapinya. Perbankan di Indonesia dianggap cukup baik dalam mengelola portofolionya sehingga menghindari investasi yang berisiko. Salah satunya karena tingkat pendapatan dari margin bunga bersih atau net interest margin di Indonesia sudah cukup tinggi di antara negara-negara Asia, yaitu 4,4 persen.
“Ini membuat perbankan Indonesia tidak mengambil investasi berisiko tinggi karena dari dalam negeri saja sudah untung,” ujarnya.
Selain itu, kebijakan Bank Indonesia juga tidak memberi ruangan untuk melakukan aktivitas investasi beresiko tinggi. Keputusan BI untuk mempertahankan suku bunga acuan 5,75 persen juga membuat kondisi perbankan Indonesia cukup baik.
Kebijakan pemerintah menurunkan tarif pajak badan kini menjadi 20 persen juga membuat keuangan perusahaan Indonesia semakin sehat dan mengurangi ketergantungan terhadap utang perbankan. Tingkat utang bank perusahaan terhadap total aset terus turun, dari angka 25,18 persen di tahun 2018 menjadi 21,97 persen di tahun 2023.
Dengan itu, guncangan yang terjadi di perbankan akan lebih sedikit memengaruhi kondisi perusahaan di Indonesia.
”Kebijakan menurunkan tarif pajak badan sebesar 20 persen membuat perusahaan tidak banyak utang ke bank. Ini membuat kondisi ekonomi jadi lebih kuat,” ujarnya.
Director Asia Strategic Consulting Paolo Cassadio menerangkan, Indonesia masih akan tumbuh positif di angka 3,6 persen, jauh di bawah proyeksi IMF di angka 5 persen. Proyeksi ini didasarkan terdapat sejumlah faktor yang memberikan goncangan terhadap kondisi ekonomi di Indonesia.
Pertama, adanya faktor siklus (cyclical factor) dalam kondisi perekonomian dunia. Secara siklus, pada awal pandemi covid-19, negara-negara di dunia akan melonggarkan ruang fiskal dan moneter untuk memancing pertumbuhan dengan menahan suku bunga. Setelah ekonomi terus tumbuh, pemerintah akan mulai memperketat kebijakan moneter dan fiskalnya agar tidak terjadi inflasi. Pengetatan tersebut yang dinilai dapat mengganggu pertumbuhan.
Kedua, terdapat perubahan signifikan dalam struktur keuangan dunia. Beberapa negara mulai meninggalkan dollar AS sebagai mata uang, khususnya dalam perdagangan minyaknya, seperti yang dilakukan negara yang tergabung dalam BRICS. Hal lain yang menjadi guncangan adalah China mulai menagih utang dari negara-negara yang ikut dalam program One Belt and Road-nya.
Namun, negara-negara tersebut dianggap akan sulit memenuhi kewajibannya sehingga dapat mengganggu perekonomian China dan pada akhirnya mengganggu ekonomi dunia.
”Faktor-faktor ini yang bisa melemahkan pencapaian Indonesia untuk target pertumbuhan 5 persen. Namun, Indonesia masih cukup aman karena fondasi ekonomi domestik yang kuat sehingga sedikit keterkaitannya dengan kondisi global,” jelasnya.