Mendorong UMKM Masuk ke Rantai Pasok Industri
Pemerintah berupaya mendorong UMKM beralih ke sistem kluster dengan menjadi pemasok bahan baku atau setengah jadi yang dibutuhkan industri. Namun, masih banyak tantangan yang harus dijawab.
Dace (44) akhirnya resmi putus hubungan dengan tengkulak. Ia tak perlu lagi menerima ijon dari orang-orang yang mengelilingi Desa Tanjungsari di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, untuk menawar kopi para petani seperti dirinya dengan harga murah.
Itu berkat program kredit usaha rakyat (KUR) mikro berbasis kluster yang diterima Dace secara simbolis dari Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki, Rabu (12/4/2023). Ketika itu, ia membawa pulang pinjaman Rp 50 juta yang bisa dipakai hingga setahun ke depan untuk mengolah dua hektar kebun kopi robusta miliknya.
”Ini untuk tambah modal sehari-hari untuk urus kopi. Kebetulan sekarang lagi nanam, tapi ada panen juga. Jadi KUR ini sangat membantu untuk beli bibit sama panen. Kalau pakai modal sendiri, petani enggak akan bisa,” kata Dace saat ditemui di selasar kantor Kemenkop UKM di Jakarta.
Dana KUR itu ia dapat dari Bank Negara Indonesia (BNI). Namun, apalah artinya duit segepok jika Dace tak tahu ke mana ia akan menjual 2-3 ton biji hijau (green bean) kopi yang ia hasilkan setiap tahun.
Untungnya, dalam program KUR berbasis kluster itu, Dace dinaungi PT Bogor Kopi Indonesia. Perusahaan itulah yang satu-dua tahun terakhir menggantikan peran tengkulak langganannya sebagai pembeli tetap (offtaker) hasil panen Dace. ”Setelah panen, langsung terbeli,” ujarnya.
Baca juga: Dorong UMKM Masuk Rantai Pasok Industri, Pemerintah Gencarkan KUR Kluster
Dace hanyalah satu dari sekian petani yang kini menjadi pemasok biji hijau bagi PT Bogor Indonesia. Realino Daru, penyelia pemasaran BNI Bogor yang mendampinginya dalam pengajuan KUR, menyebut ada puluhan, jika bukan ratusan, petani kopi di desa-desa sekitar Tanjungsari yang bermitra dengan PT Bogor Kopi Indonesia. Bahkan, ada yang dari Cianjur juga.
Seiring waktu hingga pengajuan KUR, lanjut Realino, para petani itu dibina agar mampu meningkatkan kualitas panen kopi mereka sesuai kebutuhan pabrik. ”Standar kopi petani binaan ini jadi grade A. Kapasitas produksinya juga stabil, bisa 2 ton per tahun,” ujarnya.
Perkuat peran petani
Program KUR berbasis kluster tahun ini makin didorong pemerintah melalui Kemenkop UKM. Lewat skema ini, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk petani, diharapkan mampu memperkuat peran dalam rantai pasok industri sebagai penyedia bahan baku.
Jika UMKM menjadi bagian dari industri, kesempatan untuk meningkatkan skala ekonomi bisnis akan lebih besar. Begitu pula kualitas dan standar produknya.
Menkop UKM Teten Masduki meyakini, jika UMKM menjadi bagian dari industri, kesempatan untuk meningkatkan skala ekonomi bisnis akan lebih besar. Begitu pula kualitas dan standar produknya.
Dalam rantai pasok industri, pelaku UMKM tak lagi harus memikirkan bisnisnya dari hulu ke hilir. Mulai dari mencari bahan baku, mengolah, mengemas, lalu memasarkannya dengan merek sendiri. ”Kalau ke depan dia hanya membuat satu komponen yang dibutuhkan industri, investasi, untuk produksi dan perawatan peralatannya tidak perlu terlalu besar,” ujar Teten.
Dengan begitu, UMKM lebih mudah naik kelas dan berkembang beriringan dengan sektor industri. ”Misalnya produsen jamu, seperti PT (Industri Jamu dan Farmasi) Sido Muncul atau PT Bintang Toedjoe. Kalau selama ini mereka dapat jahe, kunyit, dan lain-lainnya dari pedagang, kita coba ajak mereka bermitra langsung dengan petani,” ujarnya.
Manfaat dari skema ini tak hanya dirasakan para pelaku UMKM, tetapi juga usaha besar, seperti PT Kembar Bina Usaha yang dimiliki pengusaha asal Tegal, Jawa Tengah, Ismi Juliana (49). Sebagai produsen sapu lantai berbahan batang sorgum, ia kini mampu mengekspor satu kontainer 20 kaki berisi 10.000 buah secara bulanan ke Jepang dan China.
Ismi kini bermitra dengan puluhan petani di berbagai lokasi di sekitar Tegal yang menerima KUR kluster dari Bank Jateng. Ia mengakui semua sumber itu belum dapat memenuhi permintaan pasar di dua negara yang totalnya mencapai 2-3 kontainer berisi 20.000-25.000 sapu.
Kendati demikian, ia bisa memastikan produksi bisa selalu bergulir, berapa ton pun batang sorgum yang ia dapatkan dari petani. ”Saya sebagai offtaker menjembatani order dari Jepang dan China dengan petani. Saya berusaha membina petani semaksimal mungkin untuk menanam, terus Bank Jateng memberi support (pembiayaan pengolahan lahan). Hasil panennya juga harus bagus karena QC (kontrol kualitas) Jepang sangat tinggi. Jangan sampai kena reject (barang ditolak),” kata Ismi.
Dipercaya efektif
Model rantai pasok kluster sebenarnya tidaklah baru. Pada Oktober 2021, misalnya, Bank Sulut Gorontalo (BSG) menyalurkan KUR kepada para petani serai wangi di Desa Tountimomor, Minahasa, Sulawesi Utara. Hasil panen rumput serai wangi dari para petani diserap oleh Koperasi Maesa Maju Jaya. Koperasi ini juga mendapat kredit Rp 500 juta untuk menyediakan alat pengolahan minyak. Hasilnya akan dibeli oleh offtaker di Bogor, PT Indesso Aroma.
Skema ini dipercaya efektif memberikan kepastian usaha dan mengefisienkan UMKM. Oleh karena itu, Kemenkop UKM pun bertekad menggencarkannya tahun ini. Kendati demikian, Teten mengakui sulit mendorong kemunculan unit-unit UMKM yang mau berfokus dalam pemenuhan rantai pasok.
Dari 64,19 juta UMKM yang terdata di Indonesia saat ini, hanya 7 persen yang betul-betul jadi pemasok bahan baku industri. Artinya, hanya segelintir UMKM yang produknya pasti terserap oleh pasar. Selebihnya, mempunyai risiko kegagalan bisnis lebih besar.
Keadaan ini dapat berimplikasi pada industri perbankan sebagai salah satu sumber pendanaan utama bagi UMKM. Teten mengatakan, tahun ini pemerintah menyediakan dana Rp 460 triliun untuk KUR, meningkat dari Rp 365,5 triliun yang berhasil disalurkan sepanjang tahun lalu.
Hanya segelintir UMKM yang produknya pasti terserap oleh pasar. Selebihnya, mempunyai risiko kegagalan bisnis lebih besar.
Kendati demikian, menurut Teten, perbankan kerap ragu menyalurkan KUR karena khawatir akan risiko gagal bayar. Keraguan ini tampak dalam berbagai kasus di mana bank menolak menyalurkan pinjaman Rp 25 juta-Rp 100 juta tanpa jaminan. Padahal, tidak dibutuhkan agunan untuk nominal tersebut.
”Tentu, risiko NPL (nonperforming loan/kredit macet) menjadi pertimbangan utama perbankan. Tapi, Pak Presiden (Joko Widodo) minta ada terobosan, salah satunya adalah dengan meningkatkan KUR kluster. Risiko NPL akan berkurang kalau UMKM terhubung dengan offtaker dan rantai pasok industri,” katanya.
Keadaan inilah yang menyebabkan 64,19 juta UMKM di Indonesia hanya mampu mengakses 20 persen dari seluruh kredit perbankan. Indonesia pun tertinggal jauh dari Jepang, di mana 60 persen kredit bank diakses oleh UMKM, atau Korea Selatan dengan capaian 81 persen.
Agar semakin banyak kredit yang tersalurkan untuk UMKM, Teten telah meminta OJK untuk menerapkan metode baru dalam pemberian pinjaman, yaitu dengan mekanisme penilaian kredit alih-alih agunan yang susah dipenuhi UMKM. Cara ini telah dilakukan oleh perusahaan teknologi finansial pinjaman antarpihak (peer-to-peer lending) yang tak meminta agunan untuk pinjaman hingga Rp 2 miliar.
Teten juga menyatakan, pemerintah akan memperkuat peran koperasi dengan berbagai proyek percobaan. ”Petani-petani kecil dengan lahan di bawah 0,3 hektar akan dikonsolidasi. Kami akan meniru model di Amerika Serikat yang sudah menerapkannya untuk jagung, gandum, dan kentang. Kami perkuat kapital koperasi agar bisa beli 100 persen produk petani, lalu menghubungkannya ke pasar,” ujarnya.
Baca juga: Kluster Usaha Serai Wangi Percepat Penyaluran KUR di Minahasa
Meski demikian, tak semua pelaku UMKM menyambut baik upaya pemerintah ini untuk mendorong keterlibatan mereka dalam rantai pasok. Asriningtyas (43), perajin batik ecoprint asal Kota Bekasi, misalnya, mengaku tak sanggup berproduksi dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan butik-butik besar.
Dengan omzet Rp 300 juta setahun, ia hanya mampu mempekerjakan lepas lima sampai tujuh orang. Semua proses ecoprint pun masih manual, sehingga harganya mahal. ”Jadi untuk sementara kami lebih baik produksi sendiri,” katanya.
Hal serupa disiratkan Sofiana, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Parigi Moutong, yang mengikuti bazar UMKM di kantor Kemenkop UKM. Para petani buah di kabupatennya, terutama durian, lebih suka menjual sendiri hasil buminya kepada konsumen atau mengolahnya sendiri jadi kue untuk mendapat nilai tambah.
Upaya untuk mendorong peralihan UMKM ke sistem kluster masih panjang. Untuk sementara, pemerintah baru mampu menyalurkan Rp 538,7 miliar kepada 53.10 unit UMKM yang tersebar dalam 50 kluster usaha. Teten mengatakan, kementeriannya menargetkan penyaluran Rp 1,34 triliun kepada 15.776 UMKM di 117 kluster.