Pemerintah Pertimbangkan Pelarangan Kunjungan bagi Wisman Pelanggar Aturan
Merespons viral kasus wisatawan mancanegara yang berperilaku negatif dan menyalahgunakan visa kunjungan, pemerintah berkomitmen ambil tindakan. Pengawasan sejak pemrosesan pengajuan visa juga perlu ditegakkan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai tindak lanjut menyikapi viral kabar wisatawan mancanegara atau wisman yang menyalahgunakan visa kunjungan, pemerintah berupaya meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum. Pemerintah saat ini mempertimbangkan pelarangan kunjungan bagi wisman yang telah dideportasi akibat pelanggaran regulasi di Indonesia.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S Uno di sela-sela konferensi pers mingguan, Senin (3/4/2023) petang, di Jakarta, mengatakan, setahun setelah Bali kembali dibuka untuk wisman terdapat sekitar enam juta wisman berkunjung. Dia mengklaim, mayoritas di antara mereka sebenarnya patuh terhadap regulasi di Indonesia.
”Hanya segelintir wisman yang melanggar hukum. Kami telah memetakan orang-orang itu dan menindak tegas melalui deportasi. Bagi wisman yang mengabaikan hukum Indonesia dan dideportasi, hasil rapat koordinasi (rakor) lintas kementerian/lembaga menyatakan bahwa mereka akan dilarang berkunjung ke Indonesia dalam jangka waktu tertentu,” tuturnya.
Sandiaga menyampaikan pula, untuk kebijakan visa kunjungan (visa on arrival), keputusan pemerintah sejauh ini adalah akan dibuat indeks atau kajian. Ini dimaksudkan untuk mendapat gambaran utuh implementasi di lapangan. Dengan demikian, kebijakan visa on arrival belum akan dicabut.
”Pemerintah memang mempertimbangkan adanya skema izin tinggal melalui investasi dan kewarganegaraan melalui investasi atau golden visa. Penerapan pajak untuk skema itu pun masih dilihat. Sementara untuk kasus viral wisman ’nakal’ di Bali, rakor belum membahas pengenaan pajak bagi turis, melainkan lebih banyak mengkaji langkah pengawasan dan penertiban,” kata Sandiaga.
Sementara itu, melalui akun Instagram, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, dalam rakor terkait penertiban wisman di Bali, pemerintah akan fokus menindak berbagai bentuk pelanggaran ketertiban umum yang dilakukan dalam waktu dekat. Lebih daripada itu, Luhut juga meminta agar segera direalisasikan inisiatif penerapan pajak bagi turis yang masuk ke Indonesia. Insentif ini dianggap akan berguna untuk membiayai pengembangan destinasi dan promosi wisata seperti yang sudah diterapkan pada industri pariwisata di beberapa negara.
”Saya juga meminta agar dilakukan segera pengkajian untuk kebijakan disinsentif bagi warga negara asing (WNA) dari beberapa negara yang sering kali bermasalah. Hal tersebut penting dilakukan agar wisman yang datang terseleksi dengan baik,” kata Luhut.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Maulana Yusran saat dihubungi, Selasa (4/4/2023), di Jakarta, berpendapat, penyikapan terhadap wisman yang menyalahgunakan visa kunjungan dengan bekerja sebaiknya dilakukan melalui sistem pengawasan implementasi visa. Pemerintah sebaiknya tidak gegabah mengenakan pajak bagi wisman dan menelusuri akar masalah mengapa beredar kabar soal kasus penyalahgunaan visa kunjungan.
”Kami keberatan jika ada ongkos ekstra yang harus ditanggung oleh wisman. Kompetisi mendatangkan kunjungan wisman sekarang berlangsung ketat. Industri pariwisata di Indonesia juga belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19,” ujarnya.
Lebih jauh, Maulana memandang, Pemerintah Indonesia bisa mencontoh negara lain yang tergantung pada wisman, tetapi penegakan hukumnya berlangsung optimal. Jika pengawasan dan penegakan hukum berlangsung ketat, dia yakin hal itu bisa menekan wisman yang berniat jelek.
”Kami juga berharap (pemerintah) tidak cepat menyalahkan mass tourism karena muncul viral penyalahgunaan visa kunjungan. Bagaimana pun, fasilitas akomodasi memang mendukung mass tourism. Hal itu terlihat di level penginapan mulai hotel berbintang, melati, sampai homestay,” tuturnya menambahkan.
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azhari saat dihubungi berpendapat, selama ini pemerintah memberikan ”keringanan” yang terlalu banyak bagi wisman. Misalnya, bebas visa yang tidak resiprokal dengan negara asal wisman.
Contoh lainnya adalah kebijakan visa rumah kedua dengan masa tinggal lima atau 10 tahun. Dia menyampaikan, salah satu persyaratan memperoleh visa rumah kedua adalah dana deposit minimal Rp 2 miliar. Akan tetapi, asal-muasal dana ini tidak disebutkan detail sehingga berpotensi siapa pun wisman yang bisa mengumpulkan dana sebesar itu dari mana saja bisa lolos.
”Jika sampai muncul wisman yang menyalahgunakan visa, misalnya bekerja, saya kira hal itu bisa ditegakkan dengan cara meminta warga bersangkutan mengurus jenis visa lain. Dari tahap awal memproses pengajuan visa untuk wisatawan, pemerintah seharusnya sudah bersikap tegas,” kata Azril.