JAKARTA, KOMPAS — Indonesia tengah berupaya menjadi produsen amonia biru dan hijau di kancah global untuk menyokong transisi energi. Sebagai calon produsen, Indonesia membutuhkan kepastian pasar yang akan membeli amonia yang diproduksi dan kesepakatan harga secara komersial.
Dari sisi produksinya, amonia dapat dikategorikan menjadi abu-abu, biru, dan hijau. Laporan International Renewable Energy Agency dan Ammonia Energy Association yang berjudul ”Innovation Outlook: Renewable Ammonia” menyatakan, amonia diproduksi dari hidrogen. Hidrogen yang diproses dari sumber fosil akan menghasilkan amonia abu-abu. Hidrogen yang diperoleh dari sumber fosil yang dikurangi emisinya (misalnya dengan teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon) akan menghasilkan amonia biru. Adapun amonia hijau salah satunya dihasilkan dari hidrogen yang diperoleh dari proses elektrolisis berbasis energi terbarukan.
PT Pupuk Indonesia (Persero) berencana memproduksi amonia biru dan hijau. Direktur Pemasaran PT Pupuk Indonesia (Persero) Gusrizal mengatakan, produksi ditargetkan mulai pada 2030. Selama tujuh tahun ke depan, perusahaan tengah mencari pasar dan menentukan harga. ”Aspek komersial masih didiskusikan, salah satunya adalah kesepakatan harga. Sebagai gambaran, harga amonia abu-abu konvensional saat ini sekitar 150 dollar Amerika Serikat (AS) per ton,” katanya saat diskusi panel bertema ”Market for The Clean Ammonia” yang diadakan secara hibrida, Selasa (30/3/2023).
Baca juga: Siasat Pupuk Indonesia untuk Pertanian-Energi
Dalam menentukan harga, dia mengatakan, perusahaan meminta dukungan pemerintah dengan skema insentif maupun subsidi. Selain itu, dia menyebutkan, sumber daya manusia yang memiliki kapasitas menguasai teknologi, infrastruktur industri, serta pengetahuan pasar dan kemampuan komersial juga menjadi aspek penting dalam pengembangan amonia.
Terkait pengembangan dan pasar, General Manager of Methanol & Ammonia Mitsui & Co Ltd Kenichi Asano menyebutkan telah bekerja sama dengan PT Pupuk Iskandar Muda, anak usaha PT Pupuk Indonesia (Persero), untuk memproduksi amonia biru dan hijau. Studi kelayakan yang terperinci terkait proyek amonia biru telah dimulai pada tahun ini. Kapasitas produksi amonia biru dalam proyek ini ditargetkan mencapai 1 juta ton per tahun. Menurut rencana, pabrik tersebut dapat mulai produksi secara komersial pada 2023.
Adapun proyek amonia hijau menggandeng Toyo Engineering. Studi kelayakan yang dilaksanakan di bawah Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang telah rampung pada 2023. Pabrik tersebut dapat mulai berproduksi secara komersial setelah tahun 2025. ”Kapasitas produksinya 100 ton per hari,” ujar Kenichi dalam kesempatan yang sama.
Pengembangan produksi tersebut membuat Indonesia menjadi pemain dalam rantai pasok amonia biru dan hijau di skala global yang dijajaki oleh Mitsui & Co Ltd. Dia memaparkan, suplai amonia didapatkan dari Malaysia, Indonesia, AS, dan negara-negara di kawasan Timur Tengah. Adapun permintaan terhadap amonia berasal dari Uni Eropa, India, Maroko, serta Asia Timur dan Tenggara.
Sementara itu, Strategy Officer Jera Co Inc Sidharta Basu mengatakan, perusahaan berencana untuk meningkatkan aset energi terbarukan hingga 5 gigawatt pada 2025. Oleh sebab itu, perusahaan akan memanfaatkan teknologi co-firing amonia dengan pembangkit listrik berbasis sumber fosil yang ada saat ini. Mulai 2035, tingkat co-firing dengan amonia ditargetkan mencapai 50 persen.
Saat ini, lanjutnya, perusahaan tengah menjalankan uji proyek co-firing amonia di Hekinan Thermal Power Station, Jepang. Proyek ini akan mengganti sebanyak 20 persen batubara menjadi amonia. Uji penggunaan amonia akan dimulai pada 2024. Jumlah amonia yang digunakan selama pengujian tersebut berkisar 30.000-40.000 ton.
Dalam mengembangkan amonia, Jera Co Inc telah bekerja sama dengan sejumlah negara di Asia Tenggara. Misalnya, proyek co-firing amonia sebesar 20 persen pada stasiun pembangkit tenaga panas di Thailand. Pada tahun lalu, perusahaan mengumumkan proyek pembangkit listrik yang bersumber 100 persen dari amonia dengan kapasitas 50-60 megawatt.
Baca juga: Dunia dan Indonesia Semakin ”Menghijau”
Tak hanya co-firing, bisnis pengapalan juga dapat menjadi pasar potensial amonia. Chief Technology Officer Energy & Fuels Maersk Mc-Kinney Moller Center for Zero Carbon Shipping Torben Norgaard menyatakan, amonia menjadi salah satu sumber bahan bakar alternatif yang rendah emisi karbon dalam pengapalan, selain hidrogen, metanol, metana, dan bahan bakar nabati. ”Sejauh ini, amonia lebih unggul karena volume produksinya dapat ditingkatkan,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.