Alokasi pupuk bersubsidi tidak mencukupi kebutuhan sehingga petani harus bersiasat dengan memproduksi pupuk organik secara mandiri. Tahun ini pemerintah mengalokasikan 7,8 juta ton pupuk bersubsidi.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Petani mesti bersiasat menghadapi keterbatasan pupuk bersubsidi karena alokasinya masih jauh dari kebutuhan. Tahun ini, dengan anggaran sekitar Rp 25 triliun, pemerintah hanya bisa mengalokasikan 7,8 juta ton pupuk bersubsidi. Petani pun berupaya memproduksi pupuk organik atau pupuk nabati secara mandiri.
Wakil Sekretaris Jenderal Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional Zulharman Djusman mengatakan, alokasi pupuk bersubsidi tahun ini tidak akan mencukupi kebutuhan petani meskipun sudah dibatasi hanya untuk petani yang mengusahakan sembilan komoditas yang ditentukan dari sebelumnya untuk 72 komoditas. ”Alokasi pupuk itu sangat kurang. Jangankan 7,8 juta ton, 20 juta ton saja masih kurang,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Dengan kondisi yang demikian, menurut Zulharman, petani juga tidak bisa meminta lebih dari alokasi yang ada karena pemerintah hanya bisa mengalokasikan pupuk bersubsidi sebanyak itu. ”Cukup tidak cukup, petani tetap harus terima,” ujarnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi di Sektor Pertanian, hanya dua jenis pupuk yang disubsidi pada tahun 2023, yaitu Urea dan NPK (nitrogen, fosfor, dan kalium). Pupuk bersubsidi juga hanya diperuntukkan bagi sembilan komoditas, yaitu padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, kopi, tebu, dan kakao.
Permentan No 10/2022 juga menetapkan tiga syarat untuk mendapatkan pupuk bersubsidi, yakni wajib tergabung dalam kelompok tani, terdaftar dalam Sistem Informasi Manajemen Penyuluh Pertanian (Simluhtan), dan menggarap lahan maksimal 2 hektar.
Menurut Zulharman, persoalan yang dihadapi petani memasuki musim tanam tahun ini tidak hanya keterbatasan pupuk bersubsidi, tetapi juga kelangkaan pupuk nonsubsidi di pasaran. Hal itu merupakan imbas dari perang Rusia dan Ukraina. Negara yang sedang bertikai tersebut merupakan pemasok utama bahan baku pupuk.
Ia menyebutkan, krisis pupuk saat ini dan ke depan memang tidak terelakkan. Karena itu, petani di bawah naungan KTNA berupaya mencari inovasi-inovasi, seperti mengaplikasikan teknologi terbarukan untuk benih, pupuk, dan sarana produksi yang lain. ”Petani kini mulai memproduksi pupuk organik atau pupuk nabati secara mandiri,” katanya.
Meskipun ada upaya memproduksi pupuk secara mandiri, lanjut Zulharman, pihaknya tetap berkoordinasi dengan PT Pupuk Indonesia (Persero) untuk memastikan pupuk bersubsidi sampai kepada petani menjelang musim tanam gadu pada April 2023. ”Petani yang mengusahakan tanaman pangan harus diprioritaskan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi,” ujarnya.
Senior Vice President Sekretaris Perusahaan PT Pupuk Indonesia (Persero) Wijaya Laksana menuturkan, pihaknya tahun ini mendapat penugasan dari pemerintah untuk menyalurkan pupuk bersubsidi sebanyak 7,8 juta ton, terdiri dari 4,6 juta ton Urea dan 3,2 juta ton NPK. ”Alokasi pupuk ini untuk sekitar 16 juta petani yang terdaftar,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2022, dari 135,3 juta penduduk Indonesia yang bekerja, sekitar 28,61 persen bekerja di sektor pertanian. Angka ini menempatkan pertanian sebagai sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Sebanyak 38,7 juta penduduk bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (Kompas, 13/3/2023).
Menurut Wijaya, tidak semua petani bisa mendapatkan pupuk bersubsidi karena sudah ada ketentuan dari pemerintah sebagaimana diatur dalam Permentan No 10/2022. ”Petani yang tidak terdaftar berarti tidak berhak mendapatkan pupuk bersubsidi. Mereka harus membeli pupuk nonsubsidi,” katanya.
Kebutuhan nasional
Pada 2023, pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 734 Tahun 2022 menetapkan HET pupuk bersubsidi senilai Rp 2.250 per kilogram untuk pupuk Urea, Rp 2.300 per kg untuk pupuk NPK, dan Rp 3.300 per kg untuk pupuk NPK dengan formula khusus kakao.
Wijaya menambahkan, kapasitas produksi Pupuk Indonesia Grup saat ini sekitar 13,9 juta ton per tahun. Dari total kapasitas itu, produksi Urea sekitar 8,5 juta ton dari total kebutuhan nasional 6,5 juta ton. Untuk kebutuhan nasional, sebanyak 4,7 juta ton pupuk Urea disubsidi dan 1,8 juta ton tidak disubsidi (nonsubsidi). ”Produksi Urea Pupuk Indonesia telah memenuhi kebutuhan nasional, bahkan surplus,” ujarnya.
Sementara itu, untuk kebutuhan NPK, produksi Pupuk Indonesia Grup baru 3,5 juta ton per tahun dari kebutuhan nasional sekitar 8,6 juta ton. Saat ini, kebutuhan NPK subsidi sekitar 3,2 juta ton dan NPK nonsubsidi sekitar 0,3 juta ton. ”Produksi Pupuk Indonesia Grup baru mencapai 26 persen kebutuhan dalam negeri. Maka, kami terus melakukan inovasi serta perluasan dan pengembangan pabrik demi memenuhi kebutuhan NPK,” katanya.
Ketua Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia (SPI) Kalimantan Selatan Dwi Putra Kurniawan mengatakan, distribusi pupuk bersubsidi kepada petani di Kalsel masih kerap terlambat. Selain itu, jatahnya juga selalu kurang dari permintaan atau usulan serta masih ada oknum yang menyelewengkan pupuk bersubsidi.
”Kami mengusulkan subsidi untuk pupuk kimia mestinya dicabut saja karena pemakaian pupuk kimia dalam jangka panjang tidak bagus buat tanah dan tanaman. Alangkah baiknya, anggaran subsidi pupuk itu dialihkan untuk pupuk organik yang saat ini sudah bisa diproduksi sendiri oleh petani,” kata Dwi.