Selama ini, ketidakcukupan alokasi kerap disebut sebagai penyebab utama sulitnya petani mendapatkan pupuk bersubsidi. Namun, DPR menilai, sekalipun usulan dipenuhi, pupuk tetap tidak akan cukup jika datanya tidak akurat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengusulan penerima pupuk bersubsidi yang kerap tak sesuai dengan kenyataan di lapangan menjadi bahan evaluasi dalam pembenahan tata kelola pupuk bersubsidi. Pemantauan dan pengawasan, baik oleh Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida maupun Pupuk Indonesia Holding Company, juga dinilai perlu ditingkatkan.
Dalam rapat dengar pendapat Komisi IV DPR dengan Kementerian Pertanian di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/2/2022), anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PDI-P, Sutrisno, menilai, pengusulan sistem Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) dari kelompok tani dan didampingi penyuluh pertanian seringkali sekadar copy-paste. Akhirnya, data penerima tidak akurat.
”Baru terjadi di salah satu kelompok tani, dari 470 petani, 199 di antaranya bukan petani penggarap. Dua petani juga meninggal. Itu karena penyuluh pertanian yang ditugaskan sebagai operator mengunggah e-RDKK ke Kementerian Pertanian. Yang mengunggahnya operator dinas (di daerah). Itu data 2021. Jadi copy paste,” kata Sutrisno.
Tanpa menyebut daerah yang dia maksud, Sutrisno menyatakan, data fiktif muncul karena sebagian besar petani bukan pemilik tanah. Saat data dari pengusulan saja sudah tidak akurat, katanya, Kartu Tani menjadi tak lagi bermanfaat karena peruntukannya sudah salah.
Selama ini, ketidakcukupan alokasi kerap disebut sebagai penyebab utama sulitnya petani mendapatkan pupuk bersubsidi. Dari usulan sekitar 24 juta ton kebutuhan pupuk bersubsidi di e-RDKK tahun lalu, pupuk bersubsidi yang dialokasikan hanya 9 juta ton. Namun, menurut Sutrisno, pangkal permasalahan bukan pada hal tersebut.
”Sekalipun APBN memenuhi kebutuhan 24 juta ton atau 27 juta ton dari e-RDKK yang salah (tak akurat). Persoalan yang berkembang akan berlanjut karena sejumlah pupuk yang sudah di lini IV (pengecer) tidak dijual dengan mekanisme yang benar. Ada pupuk menumpuk lalu dijual di atas HET (harga eceran tertinggi),” katanya.
Ia pun menawarkan solusi agar operator pengunggah data berada dalam tanggung jawab Kementerian Pertanian sebagai pemegang kontrol, bukan pemerintah daerah. Dengan demikian, saat ada kekeliruan, dapat segera ditegur.
Saat ditanya terkait dana e-RDKK, dalam rapat itu, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Ali Jamil menjawab, pada proses penyusunan (collect) e-RDKK, dana dekonsentrasinya Rp 825 juta dan tugas pembantuan Rp 73,8 miliar. Sementara pada verifikasi dan validasi, dekonsentrasi Rp 852 juta dan tugas pembantuan Rp 58,9 miliar. Artinya, untuk e-RDKK butuh anggaran Rp 134,4 miliar dalam setahun.
Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi PDI-P, Sudin, mempertanyakan besarnya anggaran untuk e-RDKK. Apalagi kualitas pendataan jauh dari harapan. Ia ragu pengecekan dilakukan dengan benar. Sebab, dari sekitar 75.000 desa potensi pertanian di Indonesia, hanya ada 39.000 penyuluh, baik PNS maupun tenaga harian lepas.
Dalam data yang dipaparkan Kementerian Pertanian, total anggaran untuk subsidi pupuk pada tahun 2022 mencapai Rp 25,3 triliun. Pupuk urea menjadi pupuk dengan nilai subsidi terbesar, yakni Rp 12,3 triliun, disusul pupuk NPK 15-10-12 senilai Rp 8,9 triliun.
Respons
Dalam paparannya, Ali Jamil juga menyertakan laporan tim investigasi harian Kompas, Kamis-Jumat (27-28/1/2022). Sejumlah temuan antara lain perdagangan pupuk subsidi di luar ketentuan, ketersediaan tak sesuai musim tanam, manipulasi pada data e-RDKK, dan data pada Kartu Tani yang tak sinkron dengan alokasi pupuk.
”Setelah ada berita ini, tim kami turun, termasuk di Jawa Barat dan Nganjuk (Jawa Timur). Dan itulah yang terjadi. Kami memiliki semua catatannya terkait itu,” kata Ali.
Sejumlah respons cepat Kementerian Pertanian terhadap investigasi Kompas, lanjut Ali, antara lain mempermudah data alokasi dan distribusi pupuk bersubsidi yang mudah diakses, jaminan pupuk subsidi dan komersial yang tersedia cukup, optimalisasi peran KP3 pusat dan daerah, ketegasan penindakan hukum, serta pusat kontak (call center) yang responsif.
Sebelumnya, Enang Iyus, petugas pupuk atau pelaksana dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Pemerintah Provinsi Jawa Barat, menuturkan, berbicara soal tugas pokok dan fungsi, pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi ada pada KP3. Dalam pendampingan, diakuinya, keterbatasan anggaran menjadi salah satu kendala.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Golkar, Panggah Susanto, menuturkan, permasalahan terkait tata kelola pupuk bersubsidi sebenarnya telah terjadi menahun. Apa yang dilaporkan Kompas bukan sesuatu yang baru dan aneh. Namun, permasalahan tersebut selalu berulang terjadi.
Ia menekankan, poin utamanya ialah penyelewengan pupuk subsidi di pengepul. ”Memang ada juga dari petani ke petani, tetapi saya kira jumlahnya sedikit. Namun, di pengepul ini yang menjadi pintu keluar pupuk subsidi ke nonsubsidi (dijual di luar ketentuan). Panja (Panitia kerja pupuk di Komisi IV DPR) juga sudah menyampaikan,” ujarnya.
Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero) Achmad Bakir Pasaman menuturkan, pihaknya tak segan menindak tegas distributor, kios, atau oknum PT Pupuk Indonesia yang terlibat dalam penyimpangan pupuk bersubsidi. Pihaknya juga bekerja sama dengan Bareskrim Polri dalam pengawalan penyalurannya.
”Kami juga berinisiatif membangun sistem digital dalam monitoring stok dari pabrik sampai distributor. Dengan digital, semua terdata dan terintegrasi,” kata Bakir.
Sejumlah butir dalam simpulan rapat pada Kamis, yakni Komisi IV DPR merekomendasikan penetapan alokasi pupuk bersubsidi oleh Kementerian Pertanian. Penetapan itu berdasarkan data spasial dari luasan tanam komoditas yang mendapat alokasi pupuk bersubsidi. Selanjutnya, diajukan usulan penerima oleh gubernur dan bupati berdasarkan jumlah alokasi yang ditetapkan Kementerian Pertanian.
PT Pupuk Indonesia diminta mengawasi dan menilai kinerja distributor dan pengecer di daerah serta didesak untuk memberi sanksi pencabutan izin bagi yang melanggar. Adapun pemerintah diminta meningkatkan peran KP3 di semua tingkatan dalam pengawasan terhadap alur distribusi oleh PT Pupuk Indonesia yang juga didukung penegakan hukum.
Komisi IV DPR juga meminta pemerintah segera menindaklanjuti rekomendasi Panja Komisi IV mengenai pupuk bersubsidi dan Kartu Tani. Hal itu agar dilaksanakan selambatnya mulai Juli 2022.