Mobil Jeep Rubicon dalam kasus keluarga pejabat Direktorat Jenderal Pajak mengungkap indikasi pencucian uang dengan menggunakan identitas warga biasa. Bagaimana masyarakat harus menyikapi fenomena ini?
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Gang-gang sempit bercabang dan membelah padatnya rumah-rumah penduduk di lingkungan RW 001, Kelurahan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Di sana, sosok pria berinisial AS pernah tinggal pada periode 2006 hingga 2008. Sendiri, perantau asal Subang, Jawa Barat, itu menempati sebuah kontrakan Rp 400.000 per bulan.
Tidak ada yang menyangka AS bisa memiliki mobil Jeep Wrangler Rubicon yang harganya miliaran rupiah. Informasi ini terkuak begitu mobil itu menjadi barang bukti kasus penganiayaan terhadap anak oleh Mario Dandy Satrio (20), anak mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan Rafael Alun Trisambodo. Kasus itu terjadi pada Senin (20/2/2023).
Fakta itu juga sampai ke telinga Kamso Badrudin, Ketua RT 001 RW 001, Gang Jati. Seusai kasus itu mencuat, Kamso didatangi sejumlah orang dari institusi penting, seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia dimintai keterangan seputar AS, yang kini masih tercatat sebagai warganya, meski sudah lama pindah ke daerah Cipinang, Jakarta Timur.
”Dengan adanya berita Rubicon dan berkaitan dengan saudara AS, belum ada komunikasi lagi. Komunikasi terakhir saya dengan AS tahun 2022, pada waktu pengambilan bantuan sosial dari pemerintah karena nama dia tercantum sebagai penerima,” kata Kamso kepada wartawan saat ditemui awal Maret 2023.
Ia pribadi mengenal AS sebagai sosok yang hidupnya berkekurangan. Sewaktu masih tinggal di wilayahnya, AS pernah bekerja sebagai penjual kopi dan office boy. Begitu mulai bekerja sebagai pekerja honorer di kantor instansi penegak hukum, AS pindah ke daerah Cipinang, Jakarta Timur.
Kamso tidak percaya begitu mendapat informasi bahwa nama dan alamat AS tercatat dalam dokumen Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) mobil Jeep yang dikuasai keluarga pejabat eselon III Kementerian Keuangan.
Setelah petugas Kemenkeu dan KPK melakukan verifikasi, Kamso baru mengetahui adanya dugaan penyalahgunaan identitas AS. ”Kemungkinan KTP dia digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” katanya. Dugaan itu hendak Kamso klarifikasi juga kepada AS. Namun, nomor telepon AS tidak dapat dihubungi lagi.
Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh mengatakan, mereka sudah memverifikasi identitas AS sebagai pemilik mobil Jeep yang dikuasai keluarga pegawai Kemenkeu. ”Pada saat pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu, Jeep tersebut menggunakan nama orang lain,” katanya saat dihubungi pada Sabtu (11/3/2023).
Masalah pada mobil itu pun mengarah pada indikasi pencucian uang yang menguatkan status Rafael Alun Trisambodo sebagai pegawai berisiko tinggi. Status itu disematkan karena Rafael memiliki laporan harta kekayaan yang tidak wajar berdasarkan laporan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang diterima Kemenkeu pada 2019.
Rafael menjadi satu dari 964 pegawai yang disebut dalam 266 surat PPATK sejak tahun 2007. Surat itu menginfokan adanya pegawai Kemenkeu yang memiliki transaksi bermasalah. Seperti pegawai lain yang dilaporkan PPATK, Itjen Kemenkeu kemudian mempelajari profil risiko Rafael dari informasi transaksi keuangan mencurigakan, informasi media atau media sosial, hingga pelanggaran integritas.
”Hasil investigasi Itjen Kemenkeu, yang bersangkutan direkomendasikan dipecat sebagai pegawai negeri sipil,” kata Awan.
Laporan Rafael yang terverifikasi investigasi internal kemudian dilimpahkan ke penegak hukum, dalam hal ini KPK. Lembaga antirasuah itu mengungkapkan bahwa Rafael memiliki kekayaan hingga Rp 56,1 miliar.
Lalu, ada transaksi di luar mutasi rekening mencapai Rp 500 miliar dari sekitar 40 rekening di lingkaran Rafael. Terakhir, PPATK menemukan mata uang asing senilai Rp 37 miliar dalam kotak penyimpanan harta di sebuah bank milik Rafael (Kompas.id, 11/3/2023).
Awan mengatakan, temuan sejauh ini baru indikasi tidak pidana pencucian uang. ”Dalam konteks Rafael, tindak pidananya belum terbukti. Saat ini masih dilakukan penyelidikan oleh KPK,” katanya.
Salah satu modus pencucian uang ini merupakan transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari pendeteksian identitas dari pihak yang sebenarnya merupakan pemilik dana hasil tindak pidana.
Modus orang ketiga
Indikasi pencucian uang yang melibatkan pejabat seperti Rafael dan AS sebagai warga biasa menjadi salah satu modus yang patut diwaspadai. Kepala Biro Humas PPATK Natsir Kongah menyebut pola pembelian aset tersebut sebagai modus nominee.
”Salah satu modus pencucian uang ini merupakan transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari pendeteksian identitas dari pihak yang sebenarnya merupakan pemilik dana hasil tindak pidana,” kata Natsir kepada Kompas.
Modus nominee merupakan salah satu praktik penyembunyian kekayaan. Buku Merampas Aset Koruptor (2013) karya Muhammad Yusuf menyebut, segala harta yang secara de facto dikuasai oleh pejabat publik, tetapi secara de jure kepemilikannya atas nama orang lain, harta itu tetap akan dianggap kekayaan pejabat publik tersebut.
Meski pelaku utama dalam modus ini adalah pejabat publik, masyarakat, kata Natsir, diharapkan tidak bersifat apatis dengan apa yang terjadi di sekitar lingkungan. ”Karena sejatinya, masyarakatlah unsur terdekat dengan berbagai tindak kejahatan,” ujarnya.
Perkembangan modus pencucian uang juga dipengaruhi dengan perkembangan teknologi yang semakin maju dan pesat walaupun masih dengan modus dasar yang sama. Para pelaku pencucian uang, menurut dia, kerap memanfaatkan ketidakpahaman masyarakat atas kemajuan teknologi.
Masyarakat diharapkan untuk tetap menjaga kerahasiaan data pribadi serta penggunaannya meskipun masih bisa dilakukan pengecualian atas dasar kekeluargaan dan rasa saling percaya.
”Secara hukum identitas atau data pribadi adalah untuk kebutuhan terbatas pemilik identitas. Jika terdapat penyalahgunaan, yang bertanggung jawab adalah pemilik dari data itu sendiri,” kata Natsir.
Penyalahgunaan itu bisa saja berawal dari tindak pidana korupsi. Tindak pidana asal ini harus dibuktikan terlebih dahulu oleh penegak hukum. Lewat mekanisme peradilan, Rafael nantinya juga bisa membuktikan asal usul hartanya, apakah diperoleh dengan cara legal atau ilegal.
Di sisi lain, penegak hukum tidak perlu menunggu terbuktinya korupsi untuk mengungkap pencucian uang sebagai tidak pidana. Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tidak mengharuskan pengadilan membuktikan tindak pidana asal untuk menuntut terdakwa dengan pidana pencucian uang (Kompas.id, 11/3/2023).
Aktif melaporkan
Tidak pidana pencucian uang untuk menyembunyikan harta hingga korupsi tidak terlepas dari praktik memperkaya diri dengan cara tidak sah (illicit enrichment) dan kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal usulnya (unexplained wealth). Fenomena ini dapat ditelusuri dari penambahan kekayaan tidak seusai profil.
Masyarakat biasa kalau dia melakukan pengawasan, misal memviralkan orang aneh-aneh, itu bagus. Itu namanya kontrol sosial.
Laode M Syarif, Wakil Ketua KPK 2015-2019, mengatakan, penambahan kekayaan tak wajar, khususnya oleh pegawai negeri sipil (PNS), mudah dikenali dari perilaku pamer kekayaan. Ini terbukti dari kasus Rafael, juga pejabat Kemenkeu lainnya yang terungkap baru-baru ini, seperti Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono.
”Lihat saja pejabat-pejabat itu, gaji sedikit, gaya hidup mewah. Income dari mana? Bisa dipastikan itu berasal dari sumber-sumber tidak sah, kecuali dia pegawai atau pejabat publik yang gajinya kita ketahui ada usaha sampingan yang bisa dibenarkan,” ujarnya.
Pamer gaya hidup oleh PNS atau keluarganya, menurut Laode, bisa memudahkan masyarakat untuk melapor ketidakwajaran yang mengarah pada tindak pidana korupsi atau pencucian uang yang sudah diakui hukum negara. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah mengecek laporan harta kekayaan di KPK atau laporan pajak mereka.
Pengaduan oleh masyarakat, baik melalui kanal whistleblower atau pelaporan maupun media, juga penting. ”Masyarakat biasa kalau dia melakukan pengawasan, misal memviralkan orang aneh-aneh, itu bagus. Itu namanya kontrol sosial,” kata Laode.