Seusai menghapus restriksi Covid-19, Pemerintah China memasang target pertumbuhan ekonomi yang konservatif. RI menanti ”spillover effect” dari China di tengah isu serius yang membayangi pemulihan ekonomi negara itu.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
Setelah mengalami tekanan kuat akibat pandemi dan kebijakan nihil Covid-19 yang ketat, China bersiap bangkit dengan berhati-hati. Dalam pembukaan sidang pleno Kongres Rakyat Nasional, Minggu (5/3/2023), China mengumumkan target pertumbuhan ekonomi yang moderat sekitar 5 persen di tengah masih banyaknya tantangan struktural yang perlu dijawab.
Angka itu ada di bawah target pertumbuhan ekonomi China pada 2022, yakni sekitar 5,5 persen, tetapi tetap menunjukkan adanya peningkatan. Akibat ketatnya restriksi Covid-19 yang diterapkan Presiden Xi Jinping, ekonomi China tahun lalu memang hanya mampu tumbuh 3 persen, salah satu yang terendah dalam sejarah peradaban modern negara itu.
Saat menyampaikan laporannya di Aula Besar Rakyat, Lapangan Tiananmen, Beijing, Minggu, Perdana Menteri China Li Keqiang mengatakan, ekonomi China ada di jalur pemulihan yang stabil setelah tiga tahun terakhir terpukul oleh pandemi serta dampak kebijakan nihil Covid-19 atau Zero Covid Policy.
Akhir tahun lalu, restriksi ketat itu dicabut, membuat China menjadi negara dengan ekonomi besar terakhir yang memutuskan hidup damai dengan Covid-19.
Meski kini relatif sudah bebas dari cengkeraman pagebluk, China tidak mau gegabah memasang target ekonomi di tengah ketidakpastian global. Target pertumbuhan ekonomi China itu di bawah analisis sejumlah ekonom yang awalnya memperkirakan negara itu akan memasang target di atas 5 persen, bahkan menyentuh 6 persen.
”Tahun ini, jauh lebih penting untuk memprioritaskan stabilitas ekonomi. Kita tetap mengejar pertumbuhan, tetapi stabilitas tetap harus dijaga,” kata Li, yang akan segera mengakhiri pengabdiannya sebagai perdana menteri setelah satu dekade menjabat.
China akan mengandalkan permintaan dalam negerinya sebagai motor pertumbuhan ekonomi tahun ini di tengah melambatnya permintaan ekspor global. Li mengatakan, dorongan untuk memperkuat konsumsi domestik dan investasi akan menjadi prioritas utama China tahun ini, sementara ekspor dan impor ditargetkan tumbuh lebih moderat.
Untuk menggerakkan ekonomi domestik, China juga bakal lebih memperhatikan pertumbuhan sektor swasta. Pemerintah China disebut akan mendukung ekspansi korporasi swasta dan UMKM, sambil tetap mendorong reformasi di sektor publik atau usaha milik negara.
”China akan menciptakan lingkungan di mana semua jenis usaha di bawah kepemilikan apa pun bisa berkompetisi dan bertumbuh dengan kesempatan yang sama,” kata Li, disambut tepuk tangan ribuan anggota Kongres Rakyat Nasional (NPC) yang memadati aula.
Target pertumbuhan ekonomi China itu di bawah analisis sejumlah ekonom yang awalnya memperkirakan negara itu akan memasang target di atas 5 persen.
Isu seputar kebijakan Pemerintah China yang lebih pro-usaha milik negara dibandingkan sektor swasta telah lama menjadi sorotan. Pada 2016, empat tahun setelah Xi Jinping menjabat, tren pertumbuhan sektor swasta menurun, sementara investasi oleh perusahaan publik meningkat.
Tahun lalu, ketimpangan sektor swasta dan publik itu kian tajam, hingga turut menurunkan minat investor asing untuk menanamkan modal; lepas dari adanya faktor lain, seperti tensi geopolitik antara China dan Amerika Serikat serta ketidakpastian nasib ekonomi China di tengah restriksi Covid-19 kala itu.
Mengukur dampak
Arah kebijakan ekonomi China memang menjadi sorotan dunia akhir-akhir ini, tak terkecuali Indonesia. Mengutip analisis Dana Moneter Internasional (IMF), saat ekonomi China meningkat 1 persen poin, pertumbuhan di negara lain ikut terkerek 0,3 persen poin.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Teuku Riefky, menilai, jika pertumbuhan ekonomi China selaku mitra dagang utama Indonesia tahun ini berhasil mencapai target, Indonesia akan kebagian untung, khususnya di jalur perdagangan.
Dari sisi ekspor, akan terjadi peningkatan permintaan atas produk RI yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, produksi yang meningkat di China akan mendorong turunnya harga bahan baku dan penolong bagi industri RI, membuat biaya impor lebih murah, dan meringankan beban pelaku industri dalam negeri.
Jika China gagal mencapai target untuk ”mengambil hati” investor swasta dan asing pun, Indonesia tetap bisa diuntungkan. ”Kita bisa diuntungkan jika investor merelokasi pabriknya dari China meski ini tentu sangat tergantung faktor lain, seperti tren pengetatan moneter global dan tensi geopolitik yang masih membuat investor wait and see,” katanya.
Meski demikian, ada potensi dampak yang perlu diantisipasi dari pemulihan ekonomi China. Misalnya, arus impor barang jadi yang akan kembali mengalir deras ke Indonesia dan bisa menyulitkan perebutan pasar domestik bagi sektor tertentu, seperti tekstil dan alas kaki.
Di sisi lain, masih ada pula tanda tanya seputar resiliensi ekonomi China serta dampaknya pada ekonomi dunia dan Indonesia di tengah banyaknya masalah struktural yang harus dihadapi negara itu.
Saat ekonomi China meningkat 1 persen poin, pertumbuhan di negara lain ikut terkerek 0,3 persen poin.
Berisiko
Menurut peneliti senior di Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS), Haryo Aswicahyono, dampak spillovereffect atau ”efek tumpahan” dari pemulihan ekonomi China belum tentu bisa berdampak signifikan kepada dunia, termasuk Indonesia.
Secara struktural, negara itu masih menghadapi banyak persoalan serius yang bisa mengancam laju pertumbuhan ekonominya. Mengutip laporan IMF bulan lalu, China butuh reformasi ekonomi besar-besaran untuk mengatasi berbagai isu jangka menengah-panjang, dari utang pemerintah yang menumpuk pascapandemi, krisis sektor properti, ancaman depopulasi dan turunnya produktivitas, hingga iklim bisnis yang kurang bersahabat untuk sektor swasta.
Ia pun menilai, di tengah setumpuk masalah itu, target pertumbuhan ekonomi 5 persen yang dipasang China untuk jangka pendek sudah masuk akal dan optimistis, tetapi untuk jangka menengah terlalu optimistis.
”China sebenarnya sedang menghadapi masalah besar untuk jangka panjang, kecuali mereka bisa melakukan reformasi besar-besaran, di mana reformasi ini pun sulit dilakukan dengan sistem politik ekonomi di sana,” katanya.
Menurut dia, Indonesia perlu mulai mengurangi ketergantungan ekonominya terhadap China. ”Kita butuh diversifikasi, risikonya cukup besar kalau kita terlalu mengandalkan China sebagai pasar,” ujar Haryo.