Detak Normal di Jantung China
Aktivitas menuju normal di China selepas pemerintah setempat mencabut kebijakan nihil Covid-19. Situasi ini memsebersitkan harapan bagi pemulihan ekonomi global. Semoga yang terburuk sudah berlalu.

Kendaraan memadati jalan raya di Distrik Chaoyang, Beijing, China, Rabu (1/3/2023). Setelah pemerintah China mencabut kebijakan nihil Covid-19 atau Zero Covid Policy, aktivitas di China perlahan kembali menuju normal.
Ketika pemerintah China resmi mencabut kebijakan nihil Covid atau Zero Covid Policy awal tahun ini, dunia menyaksikan dengan harap-harap cemas. Kini, dua bulan setelah kembali membuka aktivitasnya secara penuh, detak kehidupan di Beijing, ibukota China, mulai menuju normal. Dunia bisa menghela napas lega.
Tak perlu menunggu sampai menginjakkan kaki di tanah China untuk merasakan sensasi kenormalan itu. Sejak menaiki pesawat China Airlines untuk penerbangan selama delapan jam dari Jakarta menuju Beijing, Senin (27/2/2023) malam, perjalanan sudah terasa sangat biasa, seolah pandemi selama tiga tahun terakhir hanya mimpi buruk yang panjang.
Ekspektasi awal bahwa perjalanan akan cukup rumit dan melelahkan, mengingat dua bulan sebelumnya China masih menerapkan pembatasan ketat untuk para pendatang, buyar begitu saja.
Baca juga: Hidup Tak Menentu di China pada Era Nihil Covid-19
Memang, setelah China memutuskan hidup damai dengan Covid-19 seperti negara-negara lain pada Desember 2022 lalu, berbagai pembatasan ekstra ketat yang sebelumnya berlaku bagi pendatang telah dicabut. Penerbangan bisa langsung menuju Beijing, tanpa perlu karantina berminggu-minggu di kota asal dan kota lain di luar Beijing.
Meski demikian, saya awalnya sudah menyiapkan diri untuk skenario terburuk versi “normal baru” ini. Setidaknya, bersiap menghadapi penerbangan panjang tanpa hidangan makan malam dan larangan membuka masker. Kalaupun boleh, paling hanya sesekali saat minum atau makan camilan, pikir saya.
Ternyata, di pesawat, penumpang sudah bisa bebas membuka masker. Bahkan, ketika tidak sedang makan dan minum pun, seperti waktu menonton hiburan in-flight atau ketika tidur, sejumlah penumpang tampak membuka masker dan tidak ditegur. Masih lebih ketat aturan memakai masker saat naik kereta KRL Commuterline di Jakarta.

Pramugari menyajikan makan malam bagi penumpang dalam penerbangan Jakarta-Beijing, Senin (27/2/2023). Setelah pemerintah China menghapus kebijakan nihil Covid-19 atau Zero Covid Policy, syarat bepergian ekstra ketat yang sebelumnya berlaku bagi pendatang dicabut.
Makanan berat juga sudah mulai disajikan di pesawat. Karena terbang malam hari, saya mendapat jatah dua kali minum dan satu kali makan malam dengan menu lengkap, yaitu nasi, lauk berupa ikan dan ayam, tumis sayur, salad, buah-buahan, roti, air putih, serta segelas minuman yang bebas dipilih.
Ini tentu berbeda dibandingkan tahun lalu saat kebijakan nihil Covid masih berlaku, di mana penumpang hanya mendapat jatah camilan dan air putih selama penerbangan, agar tidak terlalu sering dan berlama-lama membuka masker (Kompas, 11/6/2022).
Urusan kepergian hanya sedikit rumit di awal, karena selain mengharuskan tes PCR 48 jam sebelum terbang, pemerintah China mengharuskan tes kesehatan dasar sebagai syarat visa, meski saya hanya akan tinggal di China dua bulan. Sebelum ini, tes medis hanya diwajibkan untuk warga negara asing yang berencana tinggal di China untuk enam bulan.
Baca juga: Jalan Panjang Menuju Pulang
Saya tahu, syarat kesehatan tidak mungkin serumit sebelumnya. Namun, lagi-lagi saya berpikir skenario terburuk. Siapa tahu, ada “kompensasi” pengetatan lain untuk menggantikan persyaratan sebelumnya. Entah itu pengecekan yang lebih teliti terhadap hasil tes PCR, atau aturan masker yang lebih ketat.
Lagi-lagi, asumsi saya salah. Dokumen deklarasi kesehatan yang perlu diisi setelah dinyatakan negatif Covid-19 melalui tes PCR ternyata tidak diperiksa ketika boarding pesawat.
Petugas maskapai hanya bertanya singkat, “health declaration?” sembari menunjuk telepon genggam saya, tanda meminta hasil foto kode QR deklarasi kesehatan. Kode itu hanya dilirik sekilas dan tidak dipindai. Kertas hasil tes PCR yang sengaja saya cetak buat berjaga-jaga kalau mendadak ada pengecekan pun tidak diperiksa.

Suasana dalam pesawat menuju Fuzhou, China. Foto diambil pada tahun 2022 saat persyaratan ketat bagi pendatang masih diterapkan pemerintah China.
Aktivitas Menggeliat
Kode QR deklarasi kesehatan baru dipindai ketika tiba di bandara di Beijing. Namun, lagi-lagi, hasil tes PCR tidak dicek. Seluruh proses praktis bergantung pada kejujuran penumpang, karena saat mengisi dokumen deklarasi kesehatan pun, penumpang tidak diminta mengunggah hasil tes PCR.
Saat menginjakkan kaki di Beijing, kesan kenormalan itu semakin terasa. Selama tiga hari terakhir, setidaknya di sekitar tempat saya tinggal, Jianwai Diplomatic Residence Compound (DRC) yang terletak di Distrik Chaoyang di pusat kota, banyak warga sudah melepas masker, baik untuk beraktivitas di luar maupun dalam ruangan.
Poster imbauan memakai masker masih ditempel di tempat publik dan fasilitas umum. Namun tidak ada kewajiban ketat untuk menurutinya.
Kalian beruntung karena tahun ini sudah tidak ada lagi pembatasan, jadi kita bisa lebih leluasa menjelajahi dan mengalami China tanpa banyak kendala.
Geliat aktivitas ekonomi domestik di China juga tampak dari beberapa supermarket, gerai makanan cepat saji, dan rumah makan yang telah ramai disambangi orang, setelah sebelumnya warga sempat dilarang untuk makan di tempat (dine-in) demi mencegah penularan virus.
Situasi China yang perlahan kembali normal itu juga menjadi berkah bagi para jurnalis peserta program China International Press Communication Center (CIPCC) 2023. Sejak hari pertama pembukaan program pada Kamis (2/3/2023) siang, itu menjadi hal pertama yang ditekankan oleh penyelenggara.
“Kalian beruntung karena tahun ini sudah tidak ada lagi pembatasan, jadi kita bisa lebih leluasa menjelajahi dan mengalami China tanpa banyak kendala,” ucap Direktur CIPCC Zou Benshuo dengan senyum lebar merekah saat menyambut 69 orang jurnalis dari 51 negara yang menjadi peserta CIPCC 2023.

Briefing perkenalan dalam program China International Press Communication Center (CIPCC) 2023, di Beijing, China, Kamis (2/3/2023). Program yang berlangsung selama 4 bulan itu melibatkan 69 orang jurnalis dari 51 negara.
Lewat program tersebut, awak media dari kawasan Asia Pasifik, Afrika, Amerika Latin dan Kepulauan Karibia, serta Eropa Timur, akan tinggal di China selama empat bulan untuk meliput, belajar, dan meresapi berbagai aspek kehidupan di China.
Di awal program, para jurnalis juga berkesempatan meliput sidang ganda “The Two Sessions” alias sidang tahunan legislatif di China, pada 4-5 Maret 2023. Ajang politik akbar itu terdiri dari sesi pertemuan badan legislatif China alias National People’s Congress (NPC), serta badan penasihat politik China, Chinese People’s Political Consultative Conference (CPPCC).
Di awal program, para jurnalis juga berkesempatan meliput sidang ganda “The Two Sessions” alias sidang tahunan legislatif di China, pada 4-5 Maret 2023.
Sebelumnya, karena Covid-19, program CIPCC pada tahun 2020 dan 2021 hanya bisa diadakan secara daring. Sementara, pada tahun 2022, meski kembali diadakan luring, ada banyak provinsi, tempat, dan acara penting yang tidak bisa didatangi karena adanya pembatasan Covid-19.
Supachai, jurnalis asal Thailand yang mengikuti program CIPCC 2022 dan kembali menjadi peserta tahun ini untuk dua minggu menuturkan, situasi kali ini sangat berbeda. Tahun lalu, peserta harus melakukan tes PCR setiap 2-3 hari sekali dan harus siap memindai kode penanda bebas Covid-19 sebelum memasuki tempat publik manapun.
Ada banyak pula lokasi yang akhirnya tidak bisa didatangi karena kebijakan restriksi Covid-19. "Tahun ini, sama sekali tidak ada aturan ini itu. Sudah jauh lebih mudah. Saya benar-benar merasa China sudah kembali normal sekarang," katanya.

Suasana restoran di Beijing, China, Jumat (3/3/2023), setelah pemerintah China mencabut kebijakan nihil Covid-19 dan membolehkan warga makan di tempat (dine-in).
Angin segar
Aktivitas yang kembali "hidup" di China mendorong laju pemulihan ekonomi lebih cepat dari perkiraan. Bahkan, mengutip pemberitaan Bloomberg, Rabu (1/3/2023), pemulihan itu melampaui prediksi pejabat tinggi China sendiri.
Data terbaru Purchasing Managers Index (PMI) China pada Februari 2023 melejit ke level 52,6 dari 50,1 pada Januari 2023. Indeks PMI ini menjadi yang tertinggi sejak April 2012, pertanda ekonomi China yang sempat jatuh akibat kebijakan penguncian wilayah telah bangkit, didorong konsumsi domestik yang tiba-tiba melejit.
Baca juga: Pengenduran di China Legakan Dunia
Tentu, kebiasaan tiga tahun terakhir tidak mungkin berubah drastis dalam dua bulan. Seorang pemilik toko di Distrik Chaoyang bercerita, meski pengunjung kini bebas melepas masker di dalam ruangan, ia tetap memakai maskernya.
“Saya memilih begini, supaya pengunjung bisa lepas. Setidaknya salah satu masih ada yang memakai masker,” katanya.

Warga berjalan kaki di sepanjang jalan Distrik Chaoyang, Beijing, China, Kamis (2/3/2023) sore. Aktivitas di Beijing, China, kembali menuju normal setelah pemerintah China mencabut kebijakan nihil Covid-19 atau Zero Covid Policy.
Sementara, sejumlah anak muda yang ditemui di Beijing berpendapat, pelonggaran pembatasan Covid-19 itu dilematis. Di satu sisi melegakan karena bisa bebas beraktivitas, di sisi lain mencemaskan karena terpikir nasib orangtua yang bisa semakin mudah terjangkit virus.
Berbagai alasan itu, dari vaksinasi lansia yang masih perlu terus digenjot sampai munculnya kluster baru penularan flu di sejumlah tempat, masih membayangi pemulihan China. Meski demikian, aura optimisme yang belakangan menguat memberi angin segar bagi banyak negara yang perekonomiannya terhubung kuat dengan China, termasuk Indonesia.
"What happens in China does not stay in China". Demikian sebuah judul studi menggelitik dari ekonom di bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve. Ketika pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) China bertambah 1 persen, PDB dunia ikut meningkat 0,25 persen dalam waktu 1-2 tahun. Melihat detak aktivitas yang kembali hidup di episentrum awal penyebaran Covid-19 itu, muncul sebersit harapan, semoga yang terburuk sudah berlalu.