Zonasi Obyek Vital seperti Plumpang Perlu Ditata Ulang
Pemerintah meminta perusahaan BUMN menata ulang zonasi di obyek vital nasional serta membentuk tim risiko bisnis untuk mengevaluasi aspek keselamatan fasilitas.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah meminta perusahaan badan usaha milik negara mengatur tata ulang kawasannya, khususnya memastikan adanya zona pembatas antara fasilitas produksi dan kawasan permukiman. Perusahaan bersama pemerintah daerah perlu mempertegas aturan batas antara kawasan industri dan kawasan penduduk agar kejadian kebakaran terminal bahan bakar minyak di Plumpang tidak terjadi lagi.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menjelaskan, tidak adanya bufferzone (zona pembatas) antara fasilitas Pertamina Integrated Terminal Plumpang dan kawasan permukiman membuat masyarakat di sekitar terdampak luas oleh kebakaran yang terjadi. Oleh karena itu, ia meminta Pertamina dan perusahaan BUMN lainnya mengevaluasi sistem keselamatan dan operasi yang dimiliki, khususnya mengenai kewajiban memiliki bufferzone.
Erick menyebutkan, jarak antara obyek vital nasional (obvitnas), seperti depo, terminal penyimpanan, dan kilang yang dimiliki BUMN, sangat tipis dengan permukiman warga. Perusahaan-perusahaan seperti Pertamina, PLN, dan Pupuk Indonesia, pun diminta membenahi masalah tersebut.
”Sekarang ini, rata-rata bufferzone obvitnas BUMN itu sangat amat tipis. Khusus untuk Plumpang, Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan kepada Penjabat Gubernur Pak Heru untuk sinkronisasi tata ruang. Secara keseluruhan perlu ada tata ulang zonasi, dan ini butuh kerja sama dengan pemerintah daerah soal relokasi dan sebagainya,” ucap Erick di Jakarta, Sabtu (4/3/2023).
Jarak antara obyek vital nasional dan permukiman amat sangat tipis. Ini berbahaya dan perlu ada tata ulang.
Mengacu pada sejarah, Erick menjelaskan, pada tahun 1971-1987, Pertamina memiliki zona pembatas yang cukup luas. Namun, pada tahun 1998, Pertamina kehilangan banyak lahan sehingga zona pembatas tersebut menipis dari waktu ke waktu.
Dua tahun lalu, pemerintah berencana mengalihkan operasi Pertamina Integrated Terminal Jakarta, Plumpang, ke kawasan pelabuhan PT Pelindo. Pemindahan tersebut pun kini akan dikaji ulang oleh pemerintah.
”Nanti kami akan mengecek ulang (pemindahan Depo Plumpang ke Pelabuhan milik Pelindo). Kami memang sedang fokus ke sana,” ujarnya.
Agar kejadian serupa tidak terulang, ia meminta setiap BUMN membentuk tim risiko bisnis. Tim ini diperintahkan untuk mengkaji setiap standar keamanan dan keselamatan di fasilitas operasi dan produksi yang dimiliki perusahaan masing-masing.
Pendekatan ini lebih efektif ketimbang harus saling menyalahkan atau menggonta-ganti direksi. ”Saya bisa copot direksi kalau saya mau copot, tapi itu, kan, belum tentu efektif. Saya minta BUMN membentuk tim risiko bisnis, dan nanti kita lihat apakah ada perbaikan dalam jangka menengah,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kepala Biro Komunikasi Kementerian ESDM Agung Pribadi menjelaskan, pemerintah meminta Pertamina untuk melakukan analisis risiko di seluruh fasilitas operasi dan produksi yang dimiliki. Evaluasi ini dibutuhkan untuk memastikan kelayakan instalasi dan peralatan yang dioperasikan Pertamina.
Selain itu, pihaknya melalui Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, akan menurunkan tim untuk menginspeksi lokasi kebakaran. Hal ini dimaksudkan untuk mencari penyebab utama dari kejadian kebakaran tersebut. Investigasi dari pemerintah akan dilakukan secara menyeluruh untuk mengantisipasi kejadian seperti ini terulang di masa yang akan datang.
”Kami meminta Pertamina melakukan analisis risiko terhadap seluruh fasilitas yang dimiliki. Juga evaluasi untuk menemukan root causes yang menyebabkan kebakaran tersebut,” ucapnya.
Pengembangan kota yang tanpa arah tersebut pun akhirnya mengorbankan aspek keselamatan dari produksi perusahaan BUMN.
Momentum perubahan
Semakin menipisnya jarak antara kawasan industri dan permukiman dinilai terjadi akibat tidak adanya aturan yang jelas mengenai zonasi, serta lemahnya pemerintah daerah mengatur tata kota dan penduduknya.
Peneliti dari BUMN Research Group Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Toto Pranoto menerangkan, awalnya obvitnas mayoritas dibangun jauh dari kawasan permukiman. Namun, dalam perkembangannya, jumlah masyarakat yang terus datang ke suatu daerah tidak diantisipasi oleh pemerintah daerah. Permukiman warga pun seperti menjamur, dan akhirnya mendekat dan bermukim di sekitar obvitnas.
Pengembangan kota yang tanpa arah tersebut pun akhirnya mengorbankan aspek keselamatan dari produksi perusahaan BUMN. Toto menyarankan, BUMN bekerja sama dengan lembaga pemerintah lainnya untuk menganggarkan biaya relokasi dan strategi pembebasannya.
”Menyelesaikan masalah ini tidak mudah karena berkaitan dengan aspek teknis dan hukum. Tata ulang ini harus melibatkan Badan Pertanahan Nasional dan pemerintah daerah,” ucapnya.
Hal senada diucapkan Wakil Ketua Komisi VI Sarmuji. Ia meminta Pertamina mengevaluasi standar keselamatan dan keamanan yang dimiliki agar tidak terjadi hal serupa lagi. BUMN pun diharapkan tidak ragu untuk menggelontorkan dana untuk relokasi. Hal in perlu dilakukan demi keselamatan masyarakat.
”Anggaran untuk relokasi mungkin memang akan besar karena harga jual tanah di sekitar obvitnas akan sangat tinggi, tapi bisa diusahakan karena keselamatan warga di atas segalanya,” kata Sarmuji.