Kenaikan Suku Bunga The Fed Kerek Imbal Hasil Surat Berharga Negara
Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan perlu menjaga tingkat imbal hasil obligasi pemerintah tetap kompetitif agar investor asing tetap tertarik datang ke Indonesia.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dengan tingkat suku bunga 5,75 persen, Bank Indonesia optimistis inflasi Indonesia masih akan terkendali di tengah suku bunga The Fed yang diprediksi terus naik. Meski demikian, kenaikan suku bunga The Fed ini dinilai lebih berdampak pada tingkat imbal hasil obligasi Pemerintah Indonesia ketimbang nilai tukar rupiah.
Untuk itu, pemerintah perlu fokus menjaga selisih imbal hasil obligasi agar investor asing tetap tertarik menanamkan uangnya di Indonesia. Nilai tukar rupiah juga dinilai akan menguat tahun ini karena kondisi ekonomi Indonesia yang berangsur membaik.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan, pihaknya masih menahan tingkat suku bunga acuan di level saat ini, 5,75 persen, karena dinilai masih memadai untuk meredam tekanan dari inflasi.
Ia menyebut, suku bunga acuan tidak dinaikkan karena inflasi inti Indonesia diproyeksikan berada di bawah angka 4 persen, yaitu sekitar 3,6 persen di semester pertama tahun 2023. Lalu, inflasi umum juga akan kembali ke bawah 4 persen pada September 2023 nanti.
”Jadi, tidak perlu dinaikkan suku bunga karena perhitungannya inflasi akan kembali ke target di bawah 4 persen di tahun ini. Tidak dinaikkan juga karena bagian sinergi pertumbuhan ekonomi. Kami perkirakan suku bunga acuan The Fed mencapai 5-5,25 persen dan akan bertahan hingga akhir 2023,” ucapnya dalam CNBC Indonesia Economy Outlook 2023, Selasa (28/2/2023).
Di samping itu, Perry menjelaskan, kenaikan suku bunga acuan The Fed tidak serta-merta berdampak pada nilai tukar rupiah. Dampak paling besar lebih terasa pada perubahan tingkat imbal hasil (yield) antara obligasi Pemerintah Indonesia, Surat Berharga Negara (SBN), dan obligasi Pemerintah Amerika Serikat, US Treasury Bonds.
Untuk itu, ia bersama Kementerian Keuangan fokus memastikan selisih antara tingkat yield obligasi Indonesia tetap kompetitif dibandingkan yield obligasi Amerika. Hal ini dimaksudkan agar investor asing tetap melihat Indonesia sebagai pasar yang menarik. Ditambah, dana SBN menjadi salah satu motor penggerak pembangunan di Indonesia.
”Yield differential ratio ini yang harus dijaga tetap menarik karena arus keluar masuk modal asing sangat dipengaruhi perbedaan yield SBN dan US Treasury. Saya dan Bu Sri Mulyani berkoordinasi terus, dan hasilnya modal asing Rp 45,3 triliun masuk ke SBN tahun ini,” ucapnya.
Selain menjaga tingkat imbal hasil tetap kompetitif, Bank Indonesia juga mencari cara lain untuk menstabilkan nilai tukar, salah satunya dengan mengimplementasikan Term Deposit Valas, yang merupakan kelanjutan dari Devisa Hasil Ekspor (DHE) hasil sumber daya alam. Kehadiran Term Deposit Valas membuat hasil devisa berupa valuta asing harus ditempatkan terlebih dahulu di rekening khusus di Indonesia selama beberapa waktu.
Aturan ini akan dimulai pada awal Maret 2023. Hingga Februari 2023, sudah ada 19 eksportir yang menandatangani kesepakatan mengenai implementasi Term Deposit Valas. Bank Indonesia juga sudah bertemu 221 eksportir terkait aturan ini.
”Kebijakan ini agar devisa itu bisa stay longer di Indonesia,” ujarnya.
Agar para eksportir mau turut serta, Bank Indonesia (BI) pun menyiapkan sejumlah strategi. Pertama, BI menawarkan suku bunga yang kompetitif kepada para eksportir. Suku bunga bank ini akan disesuaikan dengan acuan suku bunga di luar negeri agar para eksportir tetap mendapatkan keuntungan meski menempatkan devisanya di dalam negeri.
”Semakin lama simpan suku bunganya semakin tinggi, tiga bulan tinggi, enam bulan semakin tinggi, sehingga eksportir tetap stay longer di dalam negeri,” katanya.
Untuk perbankan, Perry menyebut, BI akan memberikan insentif bagi bank yang bisa menarik dan juga menjaga devisa para eksportir agar ”parkir” lebih lama di Indonesia.
Selain itu, ia optimistis nilai tukar rupiah pada tahun 2023 akan tetap stabil. Ia menjabarkan, ada lima alasan hal tersebut dapat terjadi. Pertama, prospek ekonomi Indonesia yang membaik. Kedua, inflasi akan kembali di bawah 4 persen. Lalu, tingkat yield obligasi Indonesia masih menarik bagi investor asing.
”Selain itu, neraca perdagangan akan tetap surplus dan komitmen BI untuk terus menstabilkan nilai tukar rupiah,” ujarnya.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar mengatakan, indikator ekonomi Indonesia yang terlihat awal tahun ini tidak seburuk yang diprediksikan sebelumnya, khususnya di tengah ketidakpastian ekonomi global. Meskipun begitu, Indonesia masih harus terus waspada karena faktor risiko tidak hanya datang dari faktor ekonomi, tetapi juga non-ekonomi.
”Terlalu cepat untuk puas, karena ketidakpastian global tiga tahun ini berasal dari faktor non-ekonomi, seperti perang dan juga Covid. Kami di KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) komitmen untuk menjaga stabilitas sektor keuangan, terlepas dari apa yang terjadi di internasional,” tuturnya.