Investasi UMK dan Alarm Kerja Layak
Saat investasi jumbo tak lagi mampu menciptakan banyak lapangan kerja, sektor UMK kian diandalkan. Bergesernya tanggung jawab penyerapan tenaga kerja dari investasi berskala besar ke UMK perlu dilihat sebagai peringatan.
Tak seperti biasanya, pada konferensi pers pemaparan realisasi investasi triwulan IV-2022 yang digelar akhir Januari 2023 lalu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia membuka data nilai investasi dan tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor usaha mikro dan kecil atau UMK.
Biasanya, dalam paparan rutinnya setiap triwulan, Bahlil hanya mengumumkan capaian kinerja investasi jumbo. Investasi bernilai ribuan triliun rupiah itu umumnya didominasi oleh sektor menengah-besar, seperti industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya, pertambangan, transportasi, telekomunikasi, serta perumahan dan kawasan industri.
Unjuk gigi Bahlil soal investasi UMK bukan tanpa alasan. Laju investasi di sektor yang didominasi pelaku informal itu terhitung tinggi. Tahun lalu, UMK yang mendapat nomor induk berusaha (NIB) mencapai 1,8 juta pelaku usaha dengan total nilai investasi Rp 318,6 triliun.
Baca juga : Anomali Investasi, Tumbuh Tinggi tetapi Tak Banyak Menyerap Pekerja
Meskipun dari segi nilai masih jauh di bawah capaian investasi jumbo yang membukukan Rp 1.207,2 triliun, dampak penciptaan lapangan kerja yang dibawa oleh investasi UMK jauh lebih besar, yakni sampai enam kali lipat melebihi investasi menengah-besar.
Kementerian Investasi mencatat, sepanjang tahun 2022, investasi UMK mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 7,6 juta orang, jauh di atas jumlah penyerapan tenaga kerja oleh investasi menengah-besar, yaitu 1,3 juta orang. Dengan nilai investasi yang tumbuh 33 persen secara tahunan, jumlah penciptaan lapangan kerja oleh investasi besar hanya mampu bertambah 8 persen.
Dampak investasi terhadap penciptaan lapangan kerja akhir-akhir ini memang semakin memprihatikan. Dalam 10 tahun terakhir, nilai investasi yang mengalir ke Indonesia terus melejit, tetapi masyarakat yang terserap sebagai tenaga kerja lewat investasi itu masih minim, bahkan trennya menurun.
Sebagai perbandingan, pada tahun 2013, investasi senilai Rp 1 triliun masih bisa menyerap hingga 4.594 tenaga kerja. Pada 2021 dan 2022, investasi dengan nilai yang sama hanya bisa menyerap 1.340 orang dan 1.081 orang.
Padahal, realisasi investasi tahunan meningkat signifikan dalam rentang satu dekade yang sama. Nilai investasi naik 126 persen dari Rp 398,6 triliun pada tahun 2013 menjadi Rp 901,2 triliun pada 2021. Selama pandemi Covid-19 pun, tepatnya pada tahun 2020, investasi masih mampu tumbuh positif, meski hanya naik tipis sebesar 2 persen.
Pemerintah beralasan, investasi besar sudah sulit diandalkan untuk menciptakan banyak lapangan kerja karena sifatnya semakin bergeser dari padat karya ke padat modal. Serapan tenaga kerja itu pun menjadi semakin minim di tengah fokus kebijakan pemerintah untuk menggenjot investasi hilirisasi di sektor pertambangan, yang notabene bersifat padat modal dan teknologi.
Lapangan kerja yang dibawa oleh investasi UMK jauh lebih besar, yakni sampai enam kali lipat melebihi investasi menengah-besar.
Dari perspektif pemerintah, meminjam kata-kata Bahlil, hanya ada dua opsi. Mendorong investasi padat karya tetapi ekonomi maju dengan lambat, atau mendorong investasi padat modal dan padat teknologi agar ekonomi lebih cepat maju meski konsekuensinya penciptaan lapangan kerja menjadi seret.
Di saat investasi berskala besar tidak lagi mampu menciptakan banyak lapangan kerja dan pemerintah ”menyerah” mengejar investasi besar di sektor padat karya, sektor UMK pun semakin menjadi andalan. Ini berkali-kali disampaikan oleh Bahlil untuk menjawab kritik mengenai minimnya dampak investasi pada lapangan kerja.
Peringatan
Sekilas, menjamurnya wirausaha baru, meningkatnya investasi mikro kecil, serta banyaknya lapangan kerja di sektor UMK itu terkesan positif karena bisa membantu mengatasi problem pengangguran yang membeludak dan menambal ketidakmampuan investasi besar dalam menyerap tenaga kerja.
Meski demikian, ”tanggung jawab” penyerapan tenaga kerja yang semakin bergeser dari investasi berskala besar ke UMK sesungguhnya perlu dipandang sebagai alarm peringatan.
Struktur perekonomian yang terlalu bergantung pada UMK menunjukkan realitas sosial ekonomi yang rapuh. Meski jumlahnya banyak dan kerap menjadi penyelamat ekonomi nasional di kala krisis, sektor UMK yang mayoritas berkategori informal memiliki produktivitas, aset, serta pendapatan rendah, yang otomatis berdampak pada minimnya tingkat upah dan kesejahteraan pekerja UMK.
Mengutip pengajar ekonomi Universitas Parahyangan dan peneliti AKATIGA, Indrasari Tjandraningsih, dalam penelitiannya berjudul ”Pekerja Informal dan Reformasi Kebijakan Ketenagakerjaan di Indonesia” (2021), pekerja UMK dan informal memilki karakteristik pendidikan dan keterampilan yang lebih rendah serta kondisi dan perlindungan kerja lebih buruk daripada pekerja formal atau usaha berskala besar.
Kajian AKATIGA menunjukkan, hubungan kerja di sektor UMK sangat fleksibel. Pekerja UMK umumnya diupah lebih rendah, atau dalam beberapa kasus tidak diupah, karena berstatus tenaga kerja keluarga. Mereka tidak diikat dengan perjanjian dan perlindungan kerja yang ajek. Kontrak kerja umumnya berbasis relasi sosial dan kontrak lisan yang menempatkan pekerja UMK dalam posisi tawar rendah.
Indrasari mengutip data hasil survei Indonesian Family Life Survey (IFLS) pada tahun 2007 oleh R Herawati dan Edy Purwanto bahwa penghasilan per tahun pekerja formal lebih tinggi dibandingkan pekerja informal. Pendapatan pekerja UMK pun otomatis lebih kecil karena regulasi memberi pengecualian. Sesuai UU Cipta Kerja, sektor UMKM tidak diwajibkan mengikuti standar upah minimum yang berlaku.
Terjebak
Menelisik data Kementerian Investasi, 72 persen dari tenaga kerja baru yang terserap selama tahun 2022 itu masuk ke usaha mikro, yang produktivitas dan kesejahteraannya lebih rendah daripada usaha kecil. Mereka menambah jumlah pekerja Indonesia yang sebelum ini sekitar 97 persennya sudah terserap di sektor UMKM, dengan porsi terbanyak di usaha berskala mikro dan kecil.
Tingginya tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor UMK serta semakin rendahnya penciptaan lapangan kerja lewat investasi besar seharusnya bukan hal yang dibanggakan. Mengutip kajian ”Pathways to Middle Class Jobs in Indonesia” oleh Bank Dunia (2021), kondisi itu bahkan bisa kian mempersulit Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap.
’Tanggung jawab’ penyerapan tenaga kerja yang semakin bergeser dari investasi berskala besar ke UMK sesungguhnya perlu dipandang sebagai alarm peringatan.
Menurut kajian itu, untuk memperbanyak pekerjaan berstandar kelas menengah di Indonesia, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan. Pertama, kembali memprioritaskan strategi investasi di sektor padat karya yang mampu menciptakan pekerjaan kelas menengah, seperti manufaktur, pariwisata, pertanian bernilai tambah, kesehatan, dan pendidikan.
Baca juga : Pekerja Digaji Rendah, Pertumbuhan Kelas Menengah Terhambat
Kedua, mengintensifkan formalisasi sektor informal agar UMK ”naik kelas” menjadi lebih produktif dan mampu menciptakan pekerjaan yang layak. Kemudahan perizinan usaha atau NIB bagi UMK bisa menjadi langkah awal, tetapi perlu didukung aspek lain, seperti kemudahan akses pembiayaan, pendampingan, serta keseriusan mendorong kemitraan antara investor besar dan UMKM dalam rantai pasok.
Ketiga, menyeimbangkan strategi penciptaan lapangan kerja di sisi demand itu dengan sisi supply di pasar kerja, yakni meningkatkan pendidikan dan keterampilan angkatan kerja, untuk mengikuti tren kebutuhan industri padat modal dan teknologi.
Investasi yang berkualitas bukan hanya soal lapangan kerja yang banyak, melainkan juga layak. Ini seperti kata Direktur Eksekutif Oxfam International Winnie Byanyima saat menyindir para elite industri global yang berbangga diri atas turunnya angka pengangguran dan kemiskinan dunia di forum tahunan World Economic Forum (WEF) 2019, ”You have to count the dignity of the people. The quality of the job matters.”