Anomali Investasi, Tumbuh Tinggi tetapi Tak Banyak Menyerap Pekerja
Pada tahun 2013, setiap Rp 1 triliun investasi masih bisa menyerap hingga 4.594 tenaga kerja. Pada 2021, Rp 1 triliun investasi hanya mampu menyerap 1.340 orang. Efek UU Cipta Kerja dinilai belum signifikan.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pemulung melintasi Jalan Satrio, Jakarta Selatan, Minggu (6/2/2022). Lapangan kerja yang layak, akses bagi masyarakat pekerja, serta program jaminan sosial dibutuhkan untuk menekan kemiskinan.
JAKARTA, KOMPAS – Kendati nilai investasi dalam beberapa tahun terakhir ini terus melejit, penciptaan lapangan kerja justru turun signifikan. Reformasi struktural lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan berbagai langkah deregulasi dan kemudahan bagi dunia usaha belum membuahkan hasil sesuai janji.
Data Kementerian Investasi, sejak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja disahkan pada November 2020, realisasi investasi meningkat dari Rp 826,3 triliun pada 2020 menjadi Rp 901,2 triliun pada 2021 dan Rp 1.207,2 triliun pada 2022. Namun, kenaikan realisasi investasi itu belum selaras dengan penciptaan lapangan kerja.
Dengan realisasi investasi yang naik 33 persen pada 2022 itu, penyerapan tenaga kerja hanya bertambah 8 persen dari 1.207.893 orang pada 2021 menjadi 1.305.001 orang. Itu masih jauh dari target 2,7 juta-3 juta penciptaan lapangan kerja per tahun yang dipasang pemerintah saat mengeluarkan UU Cipta Kerja.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani membenarkan hal tersebut. Sebagai perbandingan, pada 2013, investasi senilai Rp 1 triliun masih bisa menyerap sampai 4.594 tenaga kerja. Jumlah itu menurun dari waktu ke waktu. Pada 2016, Rp 1 triliun investasi hanya bisa menyerap 2.271 orang. Pada 2021, investasi Rp 1 triliun hanya mampu menyerap 1.340 orang.
Menurut dia, data tersebut menunjukkan dua hal, yakni investasi yang masuk mayoritas bersifat padat modal dan teknologi, serta penyerapan tenaga kerja di sektor formal terus menurun. Angkatan kerja yang membeludak lebih banyak terserap di sektor informal.
”Penciptaan lapangan kerja itu sekarang sudah menurun drastis, hampir sepertiga dari beberapa tahun yang lalu. Kita benar-benar sudah meninggalkan padat karya dan bergeser ke padat modal,” kata Shinta dalam acara Kompas Collaboration Forum (KCF) Afternoon Tea, Jumat (3/2/2023).
Shinta menyebutkan, hal itu terjadi karena investor melihat kenaikan biaya usaha semakin menjadi beban yang akan menentukan arah investasi mereka. ”Investor melihat beban usaha ini jadi komponen penting saat menentukan investasi mereka, salah satunya memang beban terkait ketenagakerjaan,” ujarnya.
Berbagai kemudahan dan fleksibilitas yang sudah diberikan pemerintah melalui UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja (kini Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja) diakui belum terbukti bisa mendongkrak investasi padat karya.
Kita benar-benar sudah meninggalkan padat karya dan bergeser ke padat modal.
Itu karena beban ketenagakerjaan yang dimaksud tidak hanya dari sisi permintaan (demand) tenaga kerja seperti kebijakan pengupahan, tetapi juga dari sisi penawaran (supply) dalam bentuk tantangan perbaikan keterampilan dan produktivitas tenaga kerja yang dinilai belum sejalan dengan kebutuhan industri.
Di sisi lain, tekanan kepada sektor padat karya juga muncul dalam bentuk permintaan ekspor yang menurun di tengah gejolak ekonomi global pascapandemi Covid-19. Sampai November 2022, sektor padat karya dalam negeri sudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 919.071 orang.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Sejumlah peserta mengikuti pelatihan tata busana yang diadakan di Pusat Pelatihan Kerja Daerah (PPKD) Jakarta Pusat, Senin (14/12/2020). PPKD Jakarta Pusat berkolaborasi dengan pihak ketiga menggelar pelatihan tata busana dan tata boga secara tatap muka selama lima hari. Sebanyak 30 orang mengikuti pelatihan tata busana dan tata boga.
”Ini kaitannya dengan demand ekspor yang sudah turun. Penurunan ekspor, seperti di sektor alas kaki dan sepatu, turunnya sudah hampir 50 persen,” ucap Shinta.
Peneliti Center of Trade, Industry, and Investment di Intitute for Development of Economics and Finance, Ahmad Heri Firdaus, menilai, UU Cipta Kerja belum memberi dampak signifikan terhadap realisasi investasi, apalagi terhadap penciptaan lapangan kerja.
”Padahal, seharusnya kehadiran undang-undang itu, kan, bisa mempercepat investasi dan menambah lapangan kerja, tapi ternyata kondisinya sekarang masih sama saja seperti sebelum undang-undang itu ada, bahkan menurun jauh dari beberapa tahun lalu,” kata Heri, Sabtu (4/2/2023).
UU Cipta Kerja belum memberi dampak signifikan terhadap realisasi investasi, apalagi terhadap penciptaan lapangan kerja.
Menurut dia, saat ini kinerja investasi yang tinggi tidak berkaitan dengan kehadiran UU Cipta Kerja. Itu karena Indonesia secara fundamental telah memiliki daya tarik investasi yang besar bagi para penanam modal, yakni sumber bahan baku yang melimpah dan pasar yang besar.
”Oleh karena itu, mau ada UU Cipta Kerja atau tidak, sebenarnya investasi akan terus berjalan karena potensi kita memang pada dasarnya sudah besar. Selama pemerintah bisa menjaga daya beli masyarakat Indonesia tetap tinggi, pasar kita akan tetap menarik investor untuk datang,” ujarnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Siluet antrean pencari kerja di acara Jakarta Job Fair yang didakan Suku Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Kota Administrasi Jakarta Barat di mal Seasons City, Jakarta, Rabu (2/11/2022). Berdasarkan laporan Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2022 yang dirilis BPS, terdapat 11,53 juta orang atau 5,53 persen penduduk usia kerja yang terdampak pandemi Covid-19.
Ia menilai, ketimbang insentif dan stimulus, investor padat karya sebenarnya lebih membutuhkan adanya ekosistem industri yang matang di dalam negeri. Ketika ekosistem sudah kuat, rantai pasok hulu-hilir akan lebih efektif dan itu bisa jauh lebih menekan biaya produksi tinggi yang selama ini dikeluhkan pengusaha padat karya.
”Dalam beberapa penelitian di kawasan industri, investor mengaku alasan mau mendirikan pabrik di situ adalah karena di kawasan itu sudah ada perusahaan A yang dapat menjadi pemasok bahan baku untuknya. Insentif itu justru alasan nomor sekian, yang penting ekosistem industri sudah terbentuk dulu,” tutur Heri.
Ketimbang insentif dan stimulus, investor padat karya sebenarnya lebih membutuhkan adanya ekosistem industri yang matang di dalam negeri.
Meski dampaknya sejauh ini belum signifikan, Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi tetap meyakini kehadiran UU Cipta Kerja dapat mendorong penciptaan lapangan kerja lebih banyak. Caranya adalah dengan mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga di atas 6 persen.
”Kalau pertumbuhan ekonomi kita hanya 4-5 persen, tidak akan cukup kuat untuk menciptakan banyak kesempatan kerja baru. Secara statistik, ekonomi kita itu harus tumbuh di atas 6 persen. Ini yang melatarbelakangi desain UU Cipta Kerja. Semua persoalan harus diselesaikan secara holistik untuk memastikan ekonomi kita tumbuh 6 persen ke atas,” ujarnya.