Proses pengolahan dalam smelter tidak dapat terhenti karena dapat menimbulkan kerugian. Investor juga mesti mempertimbangkan neraca bahan baku mineral agar bisa menjalankan smelter minimal sekitar 20 tahun.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia membutuhkan investasi sekitar Rp 588 triliun untuk hilirisasisumber daya mineralnikel, bauksit, dan tembaga. Agar tertarik menanamkan modalnya dalam pembangunan smelter, investor membutuhkan jaminan bahan baku.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Haykel Hubeis menilai, kebutuhan investasi untuk hilirisasi tersebut tergolong wajar dan masuk akal. ”Angka investasi itu sudah mencakup mesin dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan serta potensi nilai tambah (mineral). Adapun mayoritas investasi berasal dari asing,” katanya saat dihubungi, Rabu (15/2/2023).
Oleh karena itu, Haykel menggarisbawahi pentingnya jaminan dan kepastian pasokan bahan baku untuk proses pengolahan dan hilirisasi sebagai magnet bagi investor asing agar berminat menanamkan modalnya untuk membangun smelter. Saat ini, aliran pasokan bahan baku dari pemain tambang dapat terkendala lantaran faktor perizinan. Di sisi lain, proses pengolahan dalam smelter tidak dapat terhenti. Apabila terhenti, perusahaan mesti menanggung rugi. Secara umum, investor juga mesti mempertimbangkan neraca bahan baku mineral untuk memperhitungkan modal menjalankan smelter minimal sekitar 20 tahun.
Haykel berharap Kementerian Perindustrian mendata smelter yang saat ini mengalami kekurangan bahan baku, sedang bernegosiasi dengan pelaku tambang, hingga yang berhenti berproduksi. ”Agar dapat menarik minat investor, perlu ada inovasi kebijakan dari Kementerian Perindustrian yang mempermudah, memperlancar, dan mempercepat izin prainvestasi, konstruksi, produksi, dan penjualan hasil olahan smelter. Kebijakan ini pun melibatkan kementerian/lembaga lain,” ujarnya.
Dalam mengolah nikel, Direktur Utama Indonesia Battery Corporation Toto Nugroho menyebutkan, sempat ada kendala mengenai perizinan penggunaan kawasan hutan lindung untuk area produksi pertambangan. ”Informasi terakhir yang kami dapatkan, hal itu sudah selesai. Selain itu, dibutuhkan juga insentif tax holiday atau tax allowance,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat Panitia Kerja Transisi Energi ke Listrik Komisi VI DPR RI, Rabu (15/2/2023).
Sementara itu, pemerintah juga akan melarang ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023. Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI yang diadakan secara hibrida di Jakarta, Selasa (14/2/2023), Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebutkan, ekspor bijih bauksit dan konsentratnya sepanjang 2022 mencapai 17,8 juta ton. Jika bijih bauksit ini diproses, dapat menghasilkan sekitar 8,9 juta ton alumina dan dapat menyerap 13.011 tenaga kerja. Adapun kebutuhan investasinya sekitar Rp 104 triliun.
Dalam proses hilirisasi, alumina tersebut dapat diolah menjadi 4,5 juta ton aluminium ingot. Proses tersebut dapat menyerap 36.885 tenaga kerja dan membutuhkan investasi sekitar Rp 455 triliun.
Bijih tembaga masih dalam rencana pembatasan ekspor. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, jumlah ekspor bijih tembaga dan konsentratnya mencapai 3,1 juta ton. Mineral tersebut dapat diolah menjadi katoda berbasis tembaga dengan kapasitas total sekitar 825.000 ton. Serapan tenaga kerjanya dapat mencapai 825.000 orang dan kebutuhan investasinya Rp 5,5 triliun.
Saat ini, lanjut Agus, pemerintah sudah melarang ekspor bijih nikel sehingga potensi hilirisasi menyasar produk feronikel dan nickel pig iron. Sepanjang 2022, ekspor kedua produk tersebut mencapai 5,8 juta ton. Mineral tersebut dapat diolah menjadi slab stainless steel (SS) dengan kapasitas 1,07 juta ton dan potensi serapan tenaga kerja 8.661 orang. Jumlah investasi yang dibutuhkan Rp 15 triliun. Slab SS itu dapat diolah lagi menjadi hot rolled SS dengan kapasitas produksi 1,07 juta ton dan potensi serapan tenaga kerja 5.573 orang. Nilai investasi yang dibutuhkan sekitar Rp 8,5 triliun.
Belum beroperasi
Dalam rapat kerja yang sama, Agus menyebutkan, terdapat 48 smelter dari 91 smelter di Indonesia per 1 Februari 2023 yang sudah beroperasi. Sisanya belum beroperasi karena masih dalam tahap studi kelayakan dan konstruksi. Secara keseluruhan, sebaran smelter paling banyak berada di Sulawesi Tengah (25 smelter), Maluku Utara (22 smelter), Sulawesi Tenggara (12 smelter), dan Kalimantan Barat (10 smelter).
Menurut Haykel, sebanyak 43 smelter yang belum beroperasi salah satunya disebabkan oleh belum adanya jaminan pasokan bahan baku. ”Dalam proses pendanaan, kepastian bahan baku mentah menjadi pertimbangan. Apabila perhitungannya hanya bersifat di atas kertas, proyek dapat dinilai kurang feasible,” katanya.
Dari smelter yang sudah beroperasi, data Kementerian Perindustrian menunjukkan, kapasitas smelter nikel mencapai 262.560 ton per tahun dengan serapan tenaga kerja 2.337 orang dan investasi Rp 5,55 triliun. Kapasitas produksi smelter tembaga mencapai 150.000 ton per tahun dengan serapan tenaga kerja 525 orang dan investasi Rp 266 miliar. Adapun total kapasitas produksi smelter aluminium 544.563 ton per tahun dengan serapan tenaga kerja 1.893 orang dan investasi Rp 15,66 triliun.