Pemerintah menindaklanjuti penghentian ekspor bauksit atau bijih utama aluminium pada Juni 2023 dengan mendongkrak kapasitas industri hilir yang dapat meningkatkan nilai tambah mineral.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menindaklanjuti penghentian ekspor bauksit atau bijih utama aluminium pada Juni 2023 dengan mendongkrak kapasitas industri hilir yang dapat meningkatkan nilai tambah mineral. Hilirisasi tersebut membutuhkan investasi yang cukup besar.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho berpendapat, penghentian ekspor bauksit tersebut dapat menjadi insentif bagi investor yang hendak membangun industri pengolahan. ”Investor akan mendapatkan harga turunan bauksit yang lebih murah di Indonesia (dibandingkan harga internasional) karena diolah langsung di dalam negeri. Investasi tersebut juga mesti berorientasi ekspor sehingga Indonesia dapat menjual produk-produk aluminium di pasar global,” tuturnya saat dihubungi, Kamis (29/12/2022).
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan, Indonesia memiliki banyak ruang untuk mengeksplorasi potensi industri hilir. ”Indonesia diberkahi sumber daya mineral sehingga membutuhkan hilirisasi supaya ada nilai tambah dan memacu pertumbuhan ekonomi,” katanya melalui siaran pers yang diterima, Kamis (29/12/2022).
Salah satu sumber daya alam yang perlu didorong hilirisasinya ialah bauksit. Menurut Arsjad, pelarangan ekspor bijih perlu disokong peta jalan hilirisasi, tidak hanya membangun smelter sebanyak-banyaknya.
Berdasarkan data yang dihimpun, setidaknya ada tiga smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian bijih bauksit di Indonesia. Smelter yang dikelola PT Indonesia Chemical Alumina berada di Kalimantan Barat dengan kapasitas produk hasil atau output 300.000 ton CGA (chemical grade alumina). Lalu, PT Well Harvest Winning mengelola smelter dengan kapasitas 1,8 juta ton alumina per tahun di Kalimantan Barat. Adapun PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) memiliki fasilitas smelter di Sumatera Utara.
Arsjad menyebutkan, dorongan hilirisasi dapat mempercepat penguatan industri dalam mengolah bauksit menjadi produk aluminium ingot pada 2025. Alumininium ingot dalam bentuk pelat, billet, scrap, ataupun profil lain dibutuhkan oleh industri pesawat terbang, kapal, otomotif, dan konstruksi.
Untuk mendongkrak kapasitas industri untuk hilirisasi bauksit, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier menilai, Indonesia membutuhkan investasi. ”Kami sedang menyelesaikan penghitungan permintaan (terhadap produk turunan bauksit) dan kemampuan industri hilir saat ini. Kuncinya ada di investasi yang tepat. Jangan sampai, investasi (yang ingin ditarik) jadi predator bagi industri hilir yang sudah ada,” tuturnya dalam jumpa pers Kementerian Perindustrian, Selasa (27/12/2022).
Taufiek merinci, sebanyak 4 juta ton bauksit dapat menjadi 2 juta ton alumina, lalu diproses lagi sehingga menjadi 1 juta ton aluminium. Industri nasional yang membutuhkan aluminium terdiri dari sektor transportasi, bahan bangunan, dan kemasan, misalnya aluminium foil. Oleh sebab itu, dia menilai, kapasitas industri penghasil aluminium perlu didongkrak agar Indonesia tidak mengimpor produk aluminium.
Berdasarkan dokumen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang mencakup diagram pohon industri, pemurnian (refinery) bauksit menghasilkan CGA dan smelter grade alumina (SGA). Di tahap smelting, SGA menghasilkan lebih banyak produk, yakni ingot dan aluminium primer. Produk ingot tersebut menghasilkan beragam turunan, seperti aluminium berbentuk scrap, billet, rod, plate, bar, sheet, tube, dan foil. Di akhir, produk-produk turunan itu menjadi material untuk komponen alat transportasi, kemasan makanan, furnitur, komponen mesin, komponen elektronik, bahan bangunan, komponen otomotif, hingga material tabung gas tekanan tinggi (high pressure gas cylinder).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyoroti impor aluminium Indonesia. Dengan adanya pabrik pemrosesan bauksit menjadi aluminium di Indonesia, dia memperkirakan adanya penghematan devisa. Dia juga menggarisbawahi, bauksit yang sudah dicuci juga tidak boleh diekspor.
Badan Pusat Statistik mencatat, sepanjang 2021, ekspor bijih aluminium (kode HS: 26060000) mencapai 19,91 juta ton atau setara dengan 628,17 juta dollar AS. Di sisi lain, impor kelompok produk aluminium (kode HS: 76) sepanjang 2021 mencapai 722.711 ton atau senilai 2,08 miliar dollar AS.