Peringkat Ekspansi Manufaktur Indonesia di ASEAN Melorot
Jika Indonesia mau lebih aktif dan agresif melebarkan ekspor, perluasan pasar dapat menyasar negara-negara di kawasan Asia terutama China yang baru ”membuka kembali” pasarnya.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun kinerja industri dalam negeri tengah bertumbuh di awal 2023, tingkat ekspansi manufaktur Indonesia tak lagi berada dalam jajaran tiga besar di kawasan Asia Tenggara seperti tahun lalu. Kini Indonesia berada di posisi keempat setelah Thailand, Filipina, dan Singapura.
Tingkat indeks itu ditunjukkan lewat indeks manajer pembelian (purchasing manager’s index/PMI) yang dirilis S&P Global Market Intelligence pada awal Februari 2023. Rilis itu menyebutkan, PMI kawasan Asia Tenggara pada Januari 2023 berada di posisi 51, meningkat 1,39 persen dari angka bulan sebelumnya, yakni 50,3. Nilai PMI itu diperoleh dari survei terhadap 2.100 pelaku manufaktur di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Filipina pada 12-25 Januari 2023.
Apabila angka PMI berada di atas 50, industri pengolahan berada di zona ekspansif. Sebaliknya, jika nilainya berada di bawah 50, industri tengah terkontraksi. Pada Januari 2023 ada empat negara yang industri pengolahannya sedang berekspansi, yakni Thailand dengan PMI 54,5, Filipina (53,5), Singapura (51,9), dan Indonesia (51,3). Tiga negara lainnya berada di zona kontraktif, yakni Myanmar dengan PMI 49,6, Vietnam (47,4), dan Malaysia (46,5).
Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menilai, industri pengolahan di kawasan Asia Tenggara cenderung berekspansi lantaran adanya pembukaan aktivitas ekonomi, salah satunya di China. ”Perdagangan negara-negara di Asia Tenggara dengan China cukup besar,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (12/2/2023).
Ekonom S&P Global Market Intelligence Maryam Baluch memaparkan, data PMI Asia Tenggara tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan pesanan baru setelah terjadi kontraksi dua bulan berturut-turut. Demi memenuhi permintaan yang meningkat yang berpengaruh pada pertumbuhan produksi, responden pelaku industri menyatakan menaikkan jumlah pembelian bahan baku.
Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani mengatakan, kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur lebih berdaya tahan terhadap penurunan permintaan ekspor global dibandingkan pasar di kawasan lain. Dengan demikian, jika Indonesia mau lebih aktif dan agresif melebarkan ekspor, perluasan pasar dapat menyasar negara-negara di kawasan tersebut, khususnya China yang baru ”membuka kembali” pasarnya melalui permintaan yang tinggi.
Berada di ranking pertama dibandingkan enam negara lainnya, laju pertumbuhan PMI Thailand mencapai 3,8 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Kenaikan tersebut salah satunya ditopang peningkatan pesanan baru dan serapan tenaga kerja. Selama 13 bulan berturut-turut, iklim bisnis di Thailand menunjukkan tren positif.
Menurut Shinta, Thailand merupakan negara dengan industri pengolahan berorientasi ekspor yang terhubung ke rantai pasok dunia. Pangsa pasar ekspor di skala kawasan pun signifikan. Secara tidak langsung, faktor tersebut memengaruhi keyakinan investor untuk menanamkan modalnya.
Shinta melanjutkan, nilai arus investasi langsung (foreign direct investment/FDI) yang masuk industri manufaktur tak hanya bergantung dari PMI, tetapi juga stabilitas dan daya saing iklim usaha serta kemudahan penciptaan rantai pasok yang dapat diandalkan. ”Meskipun PMI manufaktur dalam negeri saat ini menunjukkan tren ekspansif yang positif, Indonesia tetap mesti mereformasi iklim usaha nasional secara struktural untuk menarik FDI,” katanya.
Masih positif
Data S&P Global menunjukkan, PMI manufaktur Indonesia pada Januari 2023 naik 0,78 persen dari posisi di bulan sebelumnya yang senilai 50,9 karena adanya pertumbuhan permintaan dan hasil produksi. Pada tahun 2022, tingkat ekspansi Indonesia masih berada di posisi tiga teratas setelah Filipina dan Thailand.
Perkembangan PMI manufaktur Indonesia, menurut Satria, masih memberikan sinyal positif bagi investor. ”Dari sisi valuasi dan pertumbuhannya, perusahaan-perusahaan (manufaktur) besar di Indonesia secara umum tergolong sehat sehingga berdampak pada earning growth (pertumbuhan pendapatan) investor. Indeks manufaktur juga menjadi proxy ekonomi pasar modal,” katanya.
Secara agregat, Satria mengatakan, kinerja industri pengolahan Indonesia tergolong aman dari tekanan dunia karena ditopang oleh daya beli masyarakat yang sehat. Meskipun demikian, terdapat sektor industri di Indonesia yang terdampak pelemahan ekonomi global, contohnya tekstil.
Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence Jingyi Pan menggarisbawahi, kenaikan produksi manufaktur Indonesia ditopang oleh pertumbuhan penjualan yang berorientasi pasar dalam negeri. Pesanan baru dari luar negeri masih menunjukkan tren penurunan.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, kenaikan PMI Indonesia pada Januari 2023 menunjukkan optimisme dan respons positif pelaku industri terhadap kebijakan dan kondisi perekonomian nasional sehingga berdampak pada perluasan aktivitas produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dia berharap, dengan meredanya tekanan ekonomi global, pelaku industri Indonesia semakin bergeliat.