Syarat Uji Covid-19 Dihapus, Eksportir ke China Justru Turun
Kendati syarat uji Covid-19 dihapus, jumlah eksportir ikan asal Indonesia yang memperoleh registrasi ekspor ke China justru merosot. Otoritas setempat mengevaluasi eksportir perikanan terdaftar asal Indonesia.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekspor perikanan ke China lebih terbuka seiring dengan keputusan Pemerintah China mencabut persyaratan uji Covid-19 terhadap produk dan kemasan hasil perikanan. Uji Covid-19 itu diterapkan otoritas di China sejak tahun 2020 guna memenuhi syarat keamanan pangan di masa pandemi. Syarat itu kerap dikeluhkan eksportir Indonesia. Kini, kendati uji Covid-19 telah dihapus, jumlah eksportir produk perikanan ke China justru menurun.
Kepala Pusat Pengendalian Mutu Badan Karantina Ikan, Pengendali Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM-KKP) Widodo Sumiyanto menyatakan, pencabutan syarat uji Covid-19 untuk produk dan kemasan hasil perikanan yang diekspor ke China diumumkan oleh Otoritas Bea dan Cukai China (GACC) pada 9 Januari 2023.
Hal itu mengacu pada GACC Announcement Nomor 131 Tahun 2022 tanggal 28 Desember 2022 terkait dihapuskannya uji Covid-19 terhadap seluruh impor produk rantai dingin dan nonrantai dingin di seluruh pelabuhan di China.
Uji Covid-19 berupa reaksi rantai polimerase (PCR) merupakan syarat wajib tambahan yang diterapkan oleh otoritas China sejak 2020. Pengujian Covid-19 itu tidak diterapkan oleh negara-negara tujuan ekspor lainnya.
”Tidak ada lagi uji Covid-19 terhadap produk dan kemasan hasil perikanan. Namun, sebagian eksportir terlanjur trauma dengan persyaratan uji Covid-19 sehingga tidak lagi mengekspor ke China,” katanya.
Meski syarat uji Covid-19 telah dihapuskan, jumlah perusahaan atau unit pengolahan ikan (UPI) asal Indonesia yang memperoleh registrasi ekspor perikanan ke China justru merosot. Penurunan jumlah eksportir perikanan ke China itu terjadi setelah GACC melakukan evaluasi terhadap eksportir-eksportir perikanan terdaftar asal Indonesia.
Menurut Widodo, semula terdapat 521 perusahaan eksportir atau UPI yang memiliki nomor registrasi ekspor (approval number) ke China. Per 31 Januari 2023, nomor-nomor registrasi tersebut dibatalkan. Namun, sejak Maret 2022-Januari 2023, GACC memberlakukan sistem registrasi otoritas China (China Import Food Enterprise Registration/CIFER) untuk perpanjangan dan pengajuan nomor registrasi ekspor bagi seluruh eksportir perikanan ke China.
Hingga kini terdata hanya 103 perusahaan yang memperoleh registrasi ekspor dari GACC.
Hingga kini terdata hanya 103 perusahaan yang memperoleh registrasi ekspor dari GACC. Jumlah itu meliputi 94 UPI yang telah melakukan perpanjangan registrasi serta 9 perusahaan yang baru mendaftar dan mendapat persetujuan ekspor ke China.
”Selebihnya, sekitar 200 perusahaan eksportir masih menunggu hasil evaluasi dari GACC, sedangkan sebagian eksportir lain tidak memperpanjang registrasi,” kata Widodo.
Ditolak
Widodo menambahkan, CIFER mensyaratkan sejumlah dokumen yang harus dipenuhi oleh UPI. Mekanisme pendaftaran ulang mengalami perubahan, di mana UPI dapat langsung mengakses CIFER untuk selanjutnya dievaluasi oleh GACC. Namun, ada sejumlah perusahaan eksportir atau UPI yang mendapat penolakan ekspor ke China oleh GACC.
”Eksportir atau UPI ditolak karena persyaratan tidak lengkap. Namun, ada juga eksportir yang menyatakan tidak berminat ekspor ke China dan mengundurkan diri,” katanya.
Widodo mengungkapkan, selama ini banyak eksportir perikanan asal Indonesia ke China yang telah terdaftar, tetapi berstatus tidak aktif. Awalnya, jumlah eksportir Indonesia yang terdaftar di GACC mencapai 664 perusahaan, tetapi ada pengurangan sehingga menjadi 521 perusahaan. Dari 521 perusahaan eksportir perikanan tersebut, pihaknya menyinyalir selama ini hanya sekitar 151 perusahaan yang aktif mengisi pasar China. Bahkan, pihak GACC pernah meminta ke pemerintah Indonesia untuk mengurangi izin eksportir perikanan menjadi hanya 150 perusahaan.
Ia mengakui, pihaknya mendapat pengaduan dan protes dari eksportir perikanan yang ditolak oleh GACC, di antaranya PT MMP. Namun, ia menilai perusahaan itu mengajukan perpanjangan registrasi ekspor yang sangat mepet dengan batas waktu pengajuan, sedangkan masa berlaku sertifikat jaminan mutu pangan (HACCP) sudah kedaluwarsa. Perpanjangan HACCP juga tidak dilengkapi dengan dokumen yang disyaratkan.
Dalam keterangan yang diterima Kompas, Senin (6/2/2023), PT MMP menyebut bahwa penolakan registrasi ekspor itu dengan alasan sertifikat HACCP sudah tidak berlaku. Padahal, pengajuan perpanjangan HACCP melalui sistem daring pada tanggal 16 Januari 2023 dan baru diinspeksi pada 2 Februari 2023. Pihaknya berharap Pemerintah Indonesia mempercepat proses pengajuan registrasi ekspor ke GACC.
Secara terpisah, Presiden Joko Widodo mengingatkan pentingnya hilirisasi sumber daya laut untuk meningkatkan nilai tambah. Dengan luas lautan 3,25 juta kilometer persegi, sumber daya laut akan memberikan nilai tambah yang besar kalau diolah. ”Hilirisasi (komoditas) menjadi kunci bagi negara ini kalau kita ingin menjadi negara maju,” kata Presiden dalam Pembukaan Pertemuan Industri Jasa Keuangan 2023 Otoritas Jasa Keuangan.
Presiden mencontohkan, Indonesia merupakan eksportir rumput laut berupa bahan baku terbesar di dunia, sedangkan ekspor produk rumput laut olahan berupa karaginan hanya di peringkat ketiga. Sebaliknya, China merupakan importir bahan baku rumput laut terbesar sekaligus eksportir terbesar dunia untuk produk karaginan.
”(China) Ini yang seharusnya kita tiru. Kita harus jadi eksportir nomor satu bahan mentah, tetapi juga eksportir nomor satu karaginan sehingga nilai tambah akan melompat,” kata Presiden.