Badan Pangan Nasional akan menggandeng peritel modern dalam distribusi beras impor guna memberikan alternatif beras dengan harga sesuai HET. Namun, rantai perlu dipangkas agar tujuan stabilisasi harga bisa tercapai.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menggandeng peritel dalam mendistribusikan beras impor. Langkah ini bertujuan memberikan alternatif ke konsumen beras medium dengan harga sesuai ketentuan harga eceran tertinggi sekaligus menstabilkan harga beras di pasar. Namun, strategi ini berpotensi tak efektif jika rantai distribusi tak terpangkas.
Upaya pemerintah menggandeng ritel untuk mendistribusikan beras impor dalam program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sesuai Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 01/KS.02.02/K/1/2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan SPHP. Keputusan itu menyatakan, Perum Bulog dapat melaksanakan SPHP melalui operasi pasar secara langsung di tingkat eceran atau melalui distributor dan mitra yang ada di pasar tradisional atau modern.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey, pelibatan pelaku ritel dalam penjualan beras impor melalui program SPHP jadi langkah konkret pemerintah menstabilkan harga dan pasokan. Jaringan yang siap dikerahkan mencapai 40.000 ritel kecil (minimarket) serta 2.000 toko modern (supermarket dan hipermarket).
”Kami diajak rapat oleh Kepala Badan Pangan Nasional pada Kamis (2/2/2023). (Lalu pada) Jumat (3/2/2023) saya langsung mendiskusikannya dengan pelaku ritel. Kira-kira Senin atau Selasa besok, kami akan menandatangani nota kesepahaman dengan Bulog untuk penyaluran beras tersebut,” tuturnya saat dihubungi, Minggu (5/2/2023).
Harga beras impor untuk SPHP akan dijual Bulog ke peritel dengan harga Rp 8.300-Rp 8.900 per kilogram (kg) sesuai wilayah. Meskipun beras itu berkualitas premium, peritel akan menjualnya setara dengan HET beras medium, yakni berkisar Rp 9.450-Rp 10.250 per kg sesuai dengan wilayah yang tertera pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57 tentang Penetapan HET Beras.
Roy memerinci, selisih harga beli dari Bulog dan harga jual di konsumen akan digunakan untuk membiayai ongkos angkut dari gudang Bulog, bongkar muat, biaya pemeliharaan dan pergudangan, serta tenaga kerja yang terlibat, salah satunya yang menata di rak etalase ritel. ”Bagi kami, untung (profit) menjadi nomor kesekian, malah nyaris tidak ada,” ujarnya.
Dari sisi penyaluran, lanjut Roy, beras itu akan diangkut dari gudang Bulog ke pusat distribusi ritel terlebih dahulu. Setelah itu, beras akan diangkut ke toko ritel. Apabila ritel tersebut tidak memiliki armada logistik, Bulog dapat mengantarkan berasnya secara langsung. Dia memperkirakan, ongkos angkut sekitar Rp 325 per kg.
Penyaluran beras impor melalui ritel berpotensi tak efektif mengendalikan harga di tingkat konsumen jika mata rantai distribusi yang terlibat tak terpangkas.
Dari segi kualitas, Roy menilai, beras impor program SPHP itu cocok dengan selera konsumen ritel modern, yakni berkualitas premium. Dia memperkirakan, saat ini proporsi beras premium yang dijual di ritel modern mencapai 95 persen. Selain itu, kehadiran beras SPHP itu akan menarik minat masyarakat untuk berbelanja di ritel.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyatakan, penyaluran beras impor melalui ritel berpotensi tak efektif mengendalikan harga di tingkat konsumen jika mata rantai distribusi yang terlibat tak terpangka. Dia menggarisbawahi margin perdagangan dan pengangkutan beras yang berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik pada 2022 sebesar 11,31 persen.
Menurut Tauhid, Bulog dan Bapanas dapat memfokuskan penyaluran beras impor ke pasar tradisional. Dia mengimbau Bulog menambah kios di pasar-pasar tradisional sehingga konsumen yang membutuhkan dapat mengakses langsung beras SPHP tersebut. Secara teknis, dia menyarankan pendataan konsumen berdasarkan nomor induk kependudukan untuk memastikan beras dibeli oleh pengguna langsung, bukan pedagang atau spekulan.
Meskipun berada di atas HET, Pusat Informasi Harga Pangan Strategis menunjukkan, harga beras medium di tingkat pasar tradisional lebih rendah dibandingkan dengan pasar modern. Per Jumat (3/2/2023), harga beras medium di pasar tradisional berkisar Rp 12.800-Rp 12.950 per kg, sedangkan pasar modern Rp 13.500-Rp 13.650 per kg.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan, penjualan beras SPHP melalui jaringan ritel merupakan upaya perluasan dan peningkatan penyaluran pasokan. Harapannya, hilirisasi beras SPHP ke ritel dapat memperkuat keterjangkauan beras dengan harga setara kualitas medium di tingkat masyarakat sehingga harga dapat cenderung stabil.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengharapkan pelaku ritel tidak ambil untung dalam penyaluran beras impor tersebut. Selain itu, dia juga berharap masyarakat dapat membeli beras di ritel sesuai dengan kebutuhannya.
Meskipun berada di atas HET, Pusat Informasi Harga Pangan Strategis menunjukkan, harga beras medium di tingkat pasar tradisional lebih rendah dibandingkan dengan pasar modern. Per Jumat (3/2/2023), harga beras medium di pasar tradisional berkisar Rp 12.800-Rp 12.950 per kg, sedangkan pasar modern Rp 13.500-Rp 13.650 per kg.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan, penjualan beras SPHP melalui jaringan ritel merupakan upaya perluasan dan peningkatan penyaluran pasokan. Harapannya, hilirisasi beras SPHP ke ritel dapat memperkuat keterjangkauan beras dengan harga setara kualitas medium di tingkat masyarakat sehingga harga dapat cenderung stabil.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengharapkan pelaku ritel tidak ambil untung dalam penyaluran beras impor tersebut. Selain itu, dia juga berharap masyarakat dapat membeli beras di ritel sesuai dengan kebutuhannya. (JUD)