Penempatan Pekerja di Sektor Informal Masih Relatif Besar
Jumlah penempatan pekerja migran Indonesia di sektor informal relatif masih besar. Dari 667.114 pekerja yang tercatat Badan Pelindungan PMI tahun 2019-2022, sebanyak 53,9 persen di antaranya bekerja di sektor informal.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penempatan pekerja migran Indonesia berangsur-angsur pulih setelah pandemi Covid-19. Meski demikian, jumlah penempatan pekerja ke sektor informal masih relatif besar.
Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), jumlah penempatan PMI tahun 2020 tercatat 113.173 orang. Jumlah ini terdiri dari 36.784 orang PMI bekerja di sektor formal dan 76.389 orang PMI (67,5 persen) bekerja di sektor informal.
Kemudian, pada tahun 2021, jumlah penempatan PMI tercatat 72.624 orang, terdiri dari 16.809 orang bekerja di sektor formal dan 55.815 orang (76,85 persen) di sektor informal.
Pada tahun 2022, PMI yang ditempatkan tercatat 200.761 orang. Jumlah ini mencakup 115.944 orang bekerja di sektor formal, sedangkan 84.817 orang (42,2 persen) bekerja di sektor informal.
Sebelum pandemi Covid-19, yakni tahun 2019, jumlah penempatan PMI mencapai 276.553 orang, yang terdiri dari 133.993 orang PMI sektor formal dan 142.560 orang (51,56 persen) PMI bekerja di sektor informal.
Direktur Eksekutif Migrant CareWahyu Susilo di Jakarta, Kamis (2/2/2023), berpendapat, kondisi saat ini bisa dikatakan sebagai ”kondisi lapar bekerja”. Meski pandemi membaik, di dalam negeri dikejutkan dengan kabar gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor, seperti padat karya. Situasi ini mendorong sejumlah warga, terutama berlatar kelompok rentan, memutuskan berangkat bekerja ke luar negeri.
”Pengiriman ke negara-negara konflik tetap ada. Penempatan pada pengguna perseorangan di Timur Tengah yang sebenarnya dilarang, realitasnya masih ada yang nekat berangkat. Tidak semua PMI dari kelompok rentan pulang ke Tanah Air dan mendapat bantuan sosial sehingga mereka akhirnya memutuskan berangkat, apapun risikonya di negara penempatan,” ujarnya saat dihubungi.
Dengan realitas seperti itu, kata Wahyu, mempertegas pemberangkatan PMI masih didominasi oleh faktor keterpaksaan (force factor), bukan sukarela (voluntary factor).
Pada Rabu (1/2/2023), institusi imigrasi Negeri Sembilan, Malaysia, menahan 67 orang pendatang tanpa izin berkewarganegaraan Indonesia. Koordinator Migrant Care Malaysia Alex Ong mengatakan, 67 orang itu sudah termasuk warga berusia anak-anak. Pandemi Covid-19 mulai pulih, tetapi belum banyak pekerja bisa kembali bekerja sehingga tidak berpenghasilan.
”Masih ada warga negara Indonesia yang bekerja di sektor domestik di Malaysia, tetapi tanpa dokumen bekerja yang sah. Kondisi mereka lebih rentan karena saat pandemi, mereka kehilangan pekerjaan dan tertipu agen. Uang mereka kini juga terbatas untuk membayar biaya program pemutihan,” ujar Alex.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan Indrasari Tjandraningsih berpendapat, masih adanya kasus pemberangkatan PMI secara nonprosedural disebabkan oleh faktor bisnis, lemahnya pengawasan ketenagakerjaan, dan terbatasnya peluang bekerja di dalam negeri untuk warga negara yang berpendidikan rendah.
”PMI yang berangkat secara nonprosedural biasanya bekerja di sektor informal atau menjadi tenaga kasar (blue collar) di negara tujuan,” ujarnya.
Menurut dia, pemerintah perlu meningkatkan perhatian kepada angkatan kerja berpendidikan menengah ke bawah. Berbagai langkah yang diambil, seperti memperbanyak balai latihan kerja, kewirausahaan mikro, kecil, dan menengah, dan mendorong investasi, perlu dikaji sejauh mana efektivitasnya mengatasi masalah kelompok angkatan kerja berpendidikan menengah ke bawah.
Pemerintah perlu meningkatkan perhatian kepada angkatan kerja berpendidikan menengah ke bawah.
Dalam konteks penempatan PMI di Malaysia, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, Pemerintah Indonesia-Malaysia telah menandatangani Memorandum Saling Pengertian tentang Penempatan dan Pelindungan PMI Sektor Domestik di Malaysia pada April 2022. Tindak lanjutnya adalah diskusi kelompok kerja bersama (joint working group discussion) kedua negara pada Februari 2023.
”Kami mengupayakan agar seiring dengan peningkatan jumlah PMI yang berangkat, upaya perlindungan kepada mereka pun dapat ditingkatkan. Jadi, mereka bisa bekerja dengan giat, lalu pulang ke Tanah Air dengan aman,” ujarnya.