Kebijakan Bebas Muatan Berlebih Perlu Ditopang Integrasi Lintas Moda
Pemerintah dinilai perlu mendorong integrasi lintas moda angkutan barang sebagai tindak lanjut diberlakukannya kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberlakuan kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih atau zero overdimension overload mulai tahun ini dinilai perlu ditopang oleh integrasi angkutan lintas moda. Dibutuhkan komitmen lintas kementerian dan lembaga agar tarik-menarik kepentingan ini tidak terus berlanjut.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, selama tahun 2017-November 2022, pelanggaran daya angkut menempati posisi teratas dalam jenis pelanggaran kendaraan angkutan barang, yakni rata-rata 56,22 persen. Pada Januari-November 2022, pelanggaran daya angkut tercatat 395.638 kendaraan atau 66,25 persen dari total pelanggaran kendaraan barang, disusul pelanggaran dokumen sebanyak 192.167 kendaraan (32 persen).
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengemukakan, sistem logistik nasional masih menjadi persoalan. Sementara itu, lintasan kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih telah memicu kerusakan jalan yang menguras APBN untuk perbaikannya.
Kelebihan muatan tidak hanya terjadi pada kendaraan angkutan sembako. Persoalan kerap muncul karena kelebihan beban pada kendaraan angkutan semen, batubara, pasir, hebel, dan sawit yang tidak berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari.
”Kalau mau buat jalan yang memenuhi keinginan pengusaha pemilik barang, bisa terkuras APBN kita,” kata Djoko saat dihubungi, Rabu (25/1/2023).
Ia menambahkan, kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih melibatkan lintas kementerian dan lembaga, yakni Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, dan asosiasi industri. Oleh karena itu, pelaksanaan kebijakan itu perlu komitmen semua pihak dan diperkuat dengan instruksi presiden.
Permasalahan muatan dan dimensi berlebih disinyalir sudah berlangsung lebih dari 40 tahun dan menuai pro-kontra. Badan Kebijakan Transportasi mencatat, kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih berdampak pada kerusakan infrastruktur jalan. Kerugian negara yang ditimbulkan akibat praktik ini mencapai Rp 43,5 triliun per tahun.
Subsidi angkutan
Djoko menilai, pemberlakuan kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih perlu segera diikuti dengan integrasi lintas moda, yakni jalur kereta api dan kapal, guna mendukung distribusi barang dan meminimalkan biaya angkutan logistik. Dalam jangka pendek, pemerintah perlu mengalokasikan subsidi angkutan barang melalui moda KA dan kapal.
Pemerintah telah mengalokasikan subsidi angkutan barang untuk transportasi jalan. ”Subsidi angkutan barang untuk KA dan kapal diperlukan untuk menekan biaya distribusi dan efek kenaikan harga komoditas,” ujarnya.
Senada dengan itu, Kepala Lembaga Pengembangan Transportasi dan Logistik Institut Transportasi dan Logistik (ITL) Trisakti Abdullah Ade Suryonuwono mengatakan, pelaksanaan kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih membutuhkan tahapan. Ini karena sebagian industri masih belum pulih akibat pandemi, sedangkan industri transportasi juga terdampak kenaikan harga BBM. Penerapan kebijakan itu perlu dibarengi dengan integrasi transportasi antarmoda. Angkutan barang dengan truk, misalnya, diintegrasikan dengan angkutan kapal. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan dermaga dan pelabuhan. Kebijakan pemerintah untuk terus membangun ruas jalan tol harus dibarengi dengan perbaikan infrastruktur angkutan laut dan KA.
”Harus ada upaya pemerintah untuk mengintegrasikan antarmoda transportasi. Jika tidak, susah meniadakan (persoalan) overdimension overload,” katanya.
Selain itu, perlu upaya terus-menerus membangun kesadaran pengguna kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih agar mengurangi muatannya. Di pelabuhan penyeberangan, pengawasan truk yang melintas perlu diperketat untuk menekan angkutan dengan muatan dan dimensi berlebih. Pelaksanaan kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih juga perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan manajemen yang menerapkan program-program sistematis untuk penanganan muatan dan dimensi berlebih dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.
Secara terpisah, anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Bakri, menyoroti hasil pantauan jalan nasional sepanjang 200 kilometer di wilayah Jambi yang rusak parah akibat dilewati angkutan batubara. Perbaikan jalan tersebut ditaksir membutuhkan anggaran Rp 1,2 triliun, sedangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) batubara di Provinsi Jambi hanya sekitar Rp 600 miliar.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR Hedy Rahadian menyatakan keberatan jika pihaknya memperbaiki jalan nasional yang rusak tersebut. Alasannya, penggunaan jalan tersebut belum tertib karena masih sering dilewati angkutan batubara.
”Ini jadi buah simalakama. Secara sistem (PNBP) dapat Rp 600 miliar, tetapi harus keluar biaya perbaikan (jalan) Rp 1,2 triliun. Ini namanya rugi bandar,” katanya dalam rapat dengar pendapat Komisi V DPR dengan Kementerian PUPR, Selasa.
Menurut Hedy, perbaikan jalan sebesar Rp 1,2 triliun tidak akan efektif jika jalan nasional itu masih terus digunakan angkutan batubara yang tidak memenuhi standar penggunaan jalan nasional dan memicu kerusakan. Sesuai ketentuan, angkutan batubara seharusnya menggunakan jalan tambang atau jalan khusus. ”Kalau cara penggunaan jalan tidak diperbaiki, maka menggunakan uang di situ akan tidak efektif. (Jalan) Akan rusak lagi, rusak lagi,” katanya.
Pihaknya baru akan melakukan perbaikan jalan nasional tersebut jika sudah ada penertiban terhadap angkutan batubara. ”Kami mohon bantuan pengguna jalan agar menertibkan penggunaan jalan sehingga kami bisa memprogramkan perbaikannya. Jalan sepanjang 200 kilometer kami usahakan mulai diperbaiki kalau penggunaannya sudah tertib,” ujar Hedy.