Investasi Tumbuh Sesuai Target, tapi Kualitasnya Dipertanyakan
Dengan strategi hilirisasi yang sedang gencar dijalankan, investasi yang masuk lebih banyak bersifat padat modal ketimbang padat karya. Investasi berkualitas untuk menciptakan lapangan kerja layak perlu jadi perhatian.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah melambatnya perekonomian global, kinerja investasi pada tahun 2022 berhasil tumbuh sesuai dengan target senilai Rp 1.207,2 triliun. Meski demikian, tidak jauh berbeda dari sebelumnya, capaian tersebut masih didominasi investasi padat modal. Minimnya investasi padat karya membuat target penciptaan lapangan kerja belum tumbuh sesuai ekspektasi.
Berdasarkan data Kementerian Investasi, realisasi investasi pada Januari-Desember 2022 mencapai Rp 1.207,2 triliun atau tumbuh 34 persen secara tahunan. Investasi itu berhasil memenuhi 106 persen dari target yang ditetapkan Presiden Joko Widodo sebesar Rp 1.200 triliun.
Penanaman modal sepanjang tahun lalu itu didominasi investasi asing atau PMA senilai Rp 654,4 triliun atau 54,2 persen dari total investasi, sementara investasi dari pelaku usaha dalam negeri atau PMDN mencapai Rp 552,8 triliun atau 45,8 persen dari total investasi.
Kendati demikian, investasi masih didominasi oleh sektor padat modal. Kelima sektor yang paling banyak menarik investasi pada tahun 2022 merupakan investasi padat modal, yaitu industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya (Rp 171,2 triliun); industri pertambangan (Rp 136,4 triliun); transportasi, gedung dan telekomunikasi (Rp 134,3 triliun); perumahan, kawasan industri dan perkantoran (Rp 109,4 triliun); serta sektor kimia dan farmasi (Rp 93,6 triliun).
Dengan capaian itu, tenaga kerja yang diserap melalui investasi baru pada tahun 2022 adalah 1,305 juta orang, hanya bertambah 97.000 orang dari penyerapan tenaga kerja pada tahun 2021, yaitu 1,207 juta orang. Meski ada kenaikan, jumlah itu masih di bawah ekspektasi penciptaan lapangan kerja yang dipasang pemerintah saat mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja, yakni 2,7 juta-3 juta per tahun.
Lapangan kerja lebih banyak tercipta dari investasi usaha berskala mikro dan kecil (UMK) ketimbang investor besar. Tahun lalu total UMK yang mendapat nomor induk berusaha (NIB) mencapai 1,8 juta pelaku usaha, dengan nilai investasi senilai Rp 318,6 triliun. Dari investasi UMK tersebut, total tenaga kerja yang terserap mencapai 7,6 juta orang.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Selasa (24/1/2023), mengatakan, pertumbuhan investasi hingga 34 persen secara tahunan pada 2022 itu merupakan yang tertinggi dalam sejarah. ”Kita patut bersyukur bahwa di tengah gelapnya ekonomi global, PMA masih tetap tumbuh, demikian juga PMDN. Ini menunjukkan trust dari investor, baik asing maupun lokal,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta.
Lapangan kerja lebih banyak tercipta dari investasi usaha berskala mikro dan kecil (UMK) ketimbang investor besar.
Efek hilirisasi
Ia membenarkan, dengan strategi hilirisasi yang sedang gencar didorong pemerintah, investasi yang masuk pasti lebih banyak yang bersifat padat teknologi. Konsekuensinya, kata Bahlil, investasi tidak akan maksimal dalam menyerap karyawan. ”Ini adalah pilihan, apakah kita mau padat karya, tapi lambat majunya, atau kita pakai teknologi untuk maju lebih cepat?” ucap Bahlil.
Namun, pemerintah tetap berupaya menyeimbangkan investasi padat teknologi dengan penciptaan lapangan kerja. Ia mencontohkan, investasi pabrik smelter PT Freeport di Gresik, Jawa Timur. Pemerintah mensyaratkan, bagian pekerjaan konstruksi yang dapat menggunakan tenaga manusia tidak boleh digantikan dengan mesin.
”Saya minta agar itu harus tetap memakai tenaga kerja, jangan pakai peralatan. Ini bagian dari kebijakan untuk tetap memperhatikan persoalan padat karya ini,” katanya.
Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi Yuliot menambahkan, pemerintah masih sulit menarik investasi bersifat padat karya karena masih ada beberapa ”keluhan” dari pelaku usaha di sektor terkait mengenai standar pengupahan yang terlalu tinggi, khususnya di tingkat kabupaten/kota, ketika beban biaya produksi semakin tinggi akibat gejolak ekonomi global.
”Ibaratnya, kenaikan harga produksi 10 persen, harga jual produk hanya bisa dinaikkan 5 persen, sementara upah minimum mau naik signifikan. Pelaku usaha yang tidak bisa bertahan pun melakukan realokasi ke luar daerah, atau bahkan ke luar negeri. Daya saing ini yang perlu kita jaga,” kata Yuliot.
Menurut dia, hal ini juga yang mendorong pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Cipta Kerja. Dalam regulasi baru itu, pemerintah memasukkan klausul baru bahwa kenaikan upah akan mempertimbangkan kondisi perekonomian. Hal itu membuat kebijakan pengupahan bisa fleksibel, menyesuaikan dengan kemampuan pengusaha dan tuntutan pekerja.
Ini adalah pilihan, apakah kita mau padat karya, tapi lambat majunya, atau kita pakai teknologi untuk maju lebih cepat?
Belum berkualitas
Kepala Center of Industry, Trade and Investment di Institute of Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, efek ganda atau spillover effect yang dihasilkan oleh investasi bernilai tinggi belum banyak berdampak pada penyerapan dan kesejahteraan tenaga kerja lokal.
Ia mencontohkan Sulawesi Tengah yang menjadi provinsi dengan realisasi investasi PMA terbesar pada tahun 2022 senilai 7,5 miliar dollar AS. Namun, justru terjadi bentrok pekerja di PT Gunbuster Nickel Industri (PT GNI) di Morowali Utara, Sulteng, akibat tidak terpenuhinya sejumlah tuntutan kesejahteraan yang disuarakan oleh pekerja lokal.
Andry mengatakan, keseimbangan antara nilai investasi yang tinggi dan kesejahteraan pekerja itu menjadi tantangan utama pemerintah. ”Kalau bicara kualitas investasi, tidak cukup hanya bicara nilai investasi yang mulai tinggi di luar Jawa, atau tidak cukup hanya bicara soal nilai rupiahnya. Investasi yang masuk itu harus dipastikan ikut menyerap dan menyejahterakan tenaga kerja lokal,” katanya.
Selain itu, tidak cukup hanya berfokus pada investasi baru, Andry menilai, parameter investasi yang berkualitas juga harus didasarkan pada transformasi keberlanjutan (sustainability) investasi lama. Misalnya, transformasi investasi lama dari yang awalnya menjalankan produksi dengan energi kotor menjadi beralih menggunakan energi terbarukan.
”Ini juga seharusnya menjadi indikator capaian investasi yang berkualitas. Jangan sampai karena terus-menerus fokus pada investasi baru, kita lupa mendorong perbaikan sustainability di investasi lama yang existing,” ujarnya.