Salah satu janji Presiden Jokowi pada masa jabatannya yang kedua adalah menitikberatkan pembangunan sumber daya manusia. Di wilayah perdesaan, janji itu dapat dipenuhi dengan menunaikan program wajib belajar 12 tahun.
Oleh
SIWI NUGRAHENI
·4 menit baca
Beberapa minggu yang lalu saya bertemu seorang pegiat UMKM perdesaan. Dia bercerita tentang kesulitan anak-anak desa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP dan SMA/sederajat. Ada sekolah menengah yang dikelola swasta, namun bagi penduduk desa, biayanya terbilang mahal. Singkat cerita, akses anak-anak ke sekolah menengah di desa sering terganjal biaya.
Cerita tentang sulitnya anak-anak desa melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah pernah saya dengar dan saksikan sendiri satu dan dua dekade yang lalu, di tempat yang berbeda. Tahun 2002, di salah satu provinsi di luar Jawa, saya bertemu ibu-ibu muda, berusia di bawah 20 tahun. Rata-rata mereka menikah selepas SD. Para perempuan muda ini tidak punya kesempatan melanjutkan pendidikannya. SMP terdekat berjarak 40 kilometer, sehingga jika ingin melanjutkan pendidikannya, anak-anak itu harus hidup terpisah dari orang tua, dan hal ini berarti biaya tambahan untuk hidup mandiri.
Tahun 2010, asisten rumah tangga kami, yang berasal dari sebuah kabupaten di Jawa Barat, memiliki cerita yang mirip. SMP terdekat dari rumahnya harus ditempuh dengan menumpang ojek, yang sekali perjalanan ongkosnya Rp 10.000. Jika dia melanjutkan pendidikannya, ada biaya transportasi Rp 480.000 setiap bulan. Jumlah yang besar bagi orang tuanya yang bekerja sebagai petani.
Wajib belajar 9 dan 12 tahun
Pembangunan adalah proses mendayagunakan berbagai macam modal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Secara umum ada lima macam modal: alam (lingkungan), fisik (antara lain infrastruktur), sosial, finansial, dan yang tidak kalah pentingnya adalah modal sumber daya manusia (human capital).
Selain kesehatan, pendidikan adalah aspek penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sejak tahun 2009 pemerintah mencanangkan wajib belajar 9 tahun, dan tahun 2015 ditingkatkan menjadi wajib belajar 12 tahun. Anak-anak Indonesia, termasuk yang tinggal di perdesaan, wajib bersekolah sampai tingkat SMA/sederajat, dengan fasilitas dan biaya yang disediakan pemerintah. Dalam pelaksanaannya, jenjang pendidikan dasar dan SMP menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah kota/kabupaten, sedangkan jenjang pendidikan SMA dan yang sederajat di bawah pengelolaan pemerintah provinsi.
Salah satu indikator keberhasilan program wajib belajar adalah angka partisipasi sekolah (APS), yaitu proporsi penduduk kelompok usia jenjang pendidikan tertentu yang masih bersekolah terhadap penduduk pada kelompok usia tersebut. Data menunjukkan ada kesenjangan APS antara perkotaan dan perdesaan, dan semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin lebar pula kesenjangannya.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS pada bulan Maret 2022 menunjukkan, APS SD/sederajat di perkotaan dan perdesaan adalah 99,33 dan 98,8. Pada tahun yang sama, APS SMP/sederajat di perkotaan dan perdesaan adalah 96,88 dan 94,66; dan APS SMA/sederajat perkotaan dan perdesaan adalah 75,96 dan 69,43.
Masih ada 5 persen lebih anak usia 13 tahun sampai 15 tahun, dan 30 persen anak usia 16 tahun sampai 18 tahun, di perdesaan yang tidak bersekolah, dan hal tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah, seperti amanat wajib belajar 12 tahun yang dicanangkannya.
Kolaborasi
Jika kita sepakat menganggap bahwa pendidikan adalah salah satu jalan untuk meningkatkan kesejahteraan, maka segala upaya harus dilakukan untuk menyediakan pendidikan gratis pada jenjang pendidikan SD sampai SMA/sederajat, seperti yang diamanatkan oleh program wajib belajar 12 tahun.
Khusus untuk wilayah perdesaan, sekolah-sekolah menengah yang disediakan juga harus mampu menghasilkan lulusan siap kerja yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah masing-masing. Sehingga kelak para alumninya dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk pembangunan desanya menuju desa yang mandiri secara berkelanjutan.
Menyediakan akses pendidikan bagi penduduk usia sekolah di perdesaan memang tidak hanya tentang membangun bangunan fisik sekolah di perdesaan, tetapi juga menyediakan guru, serta sarana dan prasarana lainnya. Hal terakhir itu sangat diperlukan jika dikaitkan dengan jenis sekolah kejuruan yang disesuaikan dengan karakteristik wilayah perdesaan setempat.
Pandemi dua tahun memberikan pengalaman bahwa pembelajaran dapat dilakukan secara jarak jauh. Meskipun tidak semua materi dapat diajarkan secara daring, namun setidaknya ada peluang cara-cara pembelajaran yang lebih fleksibel. Menggali segala kemungkinan cara pembelajaran, bauran antara daring dan pembelajaran tatap muka (PTM), barangkali akan memudahkan proses belajar-mengajar, bahkan di sekolah-sekolah menengah kejuruan.
Salah satu janji Presiden Jokowi pada masa jabatannya yang kedua adalah menitikberatkan pembangunan sumber daya manusia. Di wilayah perdesaan, janji tersebut dapat dipenuhi antara lain dengan menunaikan program wajib belajar 12 tahun lewat penyediaan sekolah-sekolah menengah negeri yang dapat diakses secara gratis. Pekerjaan yang tidak hanya memerlukan kolaborasi antara kementerian dan lembaga pemerintah, tetapi juga antara pemerintah pusat dan daerah.
Tahun 2030-2035 Indonesia diperkirakan mencapai puncak bonus demografi. Sebuah momentum yang dapat tercapai jika penduduk usia produktifnya berkualitas. Pendidikan yang memadai adalah sarana penting untuk memanen manfaat bonus demografi, sehingga besarnya jumlah penduduk usia muda tidak justru menjadi bencana demografi.